Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Kamis, 10 Desember 2015

Separuh Iblis

Belakangan ini hatiku terasa berat. Yah, bukan hanya karena aku sedang UAS, namun beberapa hadir dalam pergaulanku. Aku memang dikelilingi oleh para orang aneh. Ga cuma satu-dua orang, yah, hampir benar-benar freak mereka semua. Aku memang dikenal sebagai penipu ulung. Bukan hanya dari keahlianku memalsukan raut wajah, namun juga karena aku pinter menipu hati orang. Apa pernah kau ditipu secara psikologis kawan baikku?
Menjadi seorang indigo adalah hal yang tidak mudah bagiku. Selain engkau dibuat pusing dengan apa yang kau lihat, kemampuan ini terkadang malah menggoncang imanmu. Yah, terkadang aku sadar bahwa dapat dikatakan bahwa aku ini separuh iblis. Di satu sisi, aku mematuhi hukum gereja, namun dilain hal, aku dapat menentangnya. Kurasa hakikat manusia memanglah menjadi parasit. Menjadikan orang lain menyetujui kebijaksanaan sepihak mungkin adalah bakat alami manusia. Aku merasa sih kalau dunia bergerak sebagai bentuk dari evolusi pikiran. Ah, aku memang iblis rupanya. “Manusia duniawi adalah musuh Allah”, demikian Kitab Mormon menyadarkanku tentang siapa diriku. Bahkan seorang malaikat dapat berlumur dosa dan tersandung ke pintu neraka. Bukankah itu menyenangkan? Mengetahui bahwa makhluk yang engkau takuti bisa merasa sakit juga kawanku? Sang Maha Pencipta memanglah luar biasa. Tiada yang sebanding dengannya, dan semua agama mengakui itu. Aku percaya bahwa Tuhan itu nyata dan mengasihi semua ciptaannya. Namun aku kembali bertanya, apakah ciptaan-Nya akan mengasihi sesamanya?
Harusnya kita tahu, bahwa kita memiliki anugerah yang luar biasa hanya dengan menjadi manusia. Kita adalah predator terkuat, tak memiliki musuh selain sesama jenis sendiri. Aku bertanya apa mungkin suatu saat nanti akan ada makhluk lain yang suatu saat menjadi pemusnah jenis kita? Aku berkaca, dan aku melihat seorang makhluk berakal budi, memakai pakaian terbaiknya. Pada akhirnya aku sadar, bahwa aku manusia. Aku sadar, bahwa takdir seorang manusia adalah mati. Ya, mati demi sesama jenisnya. Seorang bayi dilahirkan ke dunia fana, apakah dia tahu bahwa saat itu juga, dia adalah seorang penakluk dunia?

Pengetahuan di bumi tidak cukup untuk memori selama satu masa kehidupan. Aku bertanya, apakah ada orang gila di sana yang ingin tahu segalanya? Oh maaf, aku lupa bahwa akulah orang gila itu. Manusia memang serakah dalam segala hal, ia ingin kebahagiaan tertinggi di Surga dan mati-matian menjauhi neraka. Apakah iman itu sebuah ego? Apakah itu baik, apakah itu buruk? Ya Tuhanku, siapa aku sampai aku bisa berpikir seperti itu? Apa daya daku yang hina berlumur lumpur dosa ini?

Rabu, 18 November 2015

Kuntao + Kenpo

SWI "Shi Jie" OSZA
Sasana terbuka untuk umum gereja OSZA Yogyakarta
Semua orang bertanya-tanya tentang mimpiku. Aku hanya bisa bilang kalau aku sendiri bingung. Sebagai seorang pecinta beladiri, tentunya banyak orang berpikir aku ingin menjadi seorang pelatih, tapi aku berkata lain. Aku inngin membuka toko rotiku sendiri. Sebenarnya idenya simpel, aku ingin menjadi Kung Fu Baker, seperti tokoh Mui dalam film Kung Fu Hustle. Aku berimajinasi gila jika memang sebuah mantou dapat dibuat pakai gerakan Tai Ji Quan. Yah, mungkin demikian adanya.
Sabuk Hitam : Simbol Lama Latihan
Sebagai seorang remaja keturunan Cina dan Jepang, kupikir sudah ada dalam darahku jika aku memang mencintai seni bela diri. Aku berlatih wushu dan aikido. Bukan karena aku ingin sombong, namun karena satu hal sederhana, kecintaan. Sebagai seorang martial artist, tentu bukan hal yang lazim bila diriku asik berkelana ke berbagai jenis beladiri. Mereka berkata bahwa aku tidak serius. Bukan kawan, tidaklah demikian. Aku berlatih tidak untuk menjadi pendekar. Selama ini, seorang Indra hanya berlatih karena satu hal, kecintaanku kepada budaya klasik oriental.
Jika dilihat dari segi hobi, yang paling kucintai dari sebuah bela diri adalah keunikan tradisi yang ada dalam setiap jenis bela diri. Hal yang paling digandrungi semua bela diri Asia adalah pakaian latihan Judo dan sistem sabuk Jigoro Kano. Tentu saja aku sebagai penggemar pasti memilikinya. Keren juga jika melihat dirimu berbalut baju dan sabuk putih. Seperti mau ke Bait Suci saja.

Berlatih "Dui Lian"
Sekarang ini, aku berkesempatan melatih Wushu di gereja. Yah, secara umum, aku hanya mengajarkan Tai Ji Quan yang diajarkan Master Tan Kian Jun, pelatihku di kota Magelang. Namun karena basisku yang adalah Tang Lang Quan, aku melatih Sanda untuk para remaja. Dalam hal bela diri, bagiku tiada bela diri yang terhebat. Bagiku, sebuah bela diri merupakan tindakan yang dimuulai dari ketekunan melatih tubuh. Ajaran boleh sama, tapi tubuh kita akan merespon lebih dari itu. Setiap master punya keunikan sendiri dalam setiap gerakan yang diajarkan. Untuk itulah aku ingin menemukan sebuah gaya khusus yang hanya cocok untukku. Aku percaya bahwa setiap orang punya cara tersendiri dalam bela diri. Kapan aku menemukannya? Waktu daan ketekunan akan menjawab.


Jumat, 30 Oktober 2015

Pandangan Pribadi

Malam ini tepat pukul 20.00 kubaca sebuah tulisan di internet mengenai agama yang kuanut, Kristen Mormon. Temanku yang budiman, kadangkala aku bertanya kepada mereka tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu Kristus. Seorang kawanku bernama Alkitab berkata, “Mereka mengetahuinya melalui apa yang dipahat manusia di lembaran tubuhku”. Lalu aku bertanya kembali, siapa dan mengapa mereka menulisnya? Aku menemukan banyak kontradiksi kehidupan dalam setiap ajaran dogmatis di muka bumi ini. Aku seorang Mormon dan aku menulis ini berdasarkan apa yang aku alami sepanjang nafasku yang singkat ini.
Aku dilahirkan di keluarga yang beranekaragam dalam agama dan budaya. Aku menganggap diriku seorang Chinese karena aku mengemban sebuah marga warisan ayahku yang terkasih, Lo Peng Sen. Papa adalah seorang Chinese Melayu yang kebetulan memiliki darah Jepang dari neneknya. Hal ini tentu membuat papa menjadi penganut ajaran Taoisme dan Kong Hu Cu sejati. Mama di lain pihak adalah seorang Chinese Jawa yang merupakan keturunan dari Kesultanan Demak meski gelar kebangsawanan dirinya sudah putus puluhan tahun yang lalu. Mama, tentu saja, dilahirkan di keluarga Muslim meski dirinya adalah penganut Kristen pada kisah mudanya. Kedua hal ini menjadikan diriku sangat unik. Diantara kehebohan kisruh tahun 1998 yang masih segar di ingatan kedua orang tuaku, aku tumbuh diantara relung langit yang dikelilingi bangunan berkubah dengan bulan sabit di atas puncaknya. Ajaran Islam sudah lama kukenal meski aku tidak mendalaminya, aku menghargai dan kagum atas ketaatan kakek dan nenek dari mama yang sangat taat dalam urusan Shalat.
Hidup mudaku sendiri diisi kisah tawa dan tangis anak-anak berkulit gelap yang bermain sambil bergandeng tangan di bawah sinar purnama. Saat bermain hompimpa, aku tidak melihat perbedaan tanganku yang putih bagai daging nangka muda. Tumbuh di lingkungan Jawa membuat diriku menjadi orang yang akrab bergaul dengan golongan pribumi. Selain karena aku tumbuh bersama mereka, aku secara tidak langsung adalah bagian dari mereka. Satu pelajaran tentang kehidupan: “Ingatlah bahwa anak kecil terlalu lugu untuk memahami dogma rasisme milik orangtua mereka”.
Terlahir dalam keluarga Chinese, aku tumbuh dengan dikenyangkan oleh tradisi Tao dan Kong Hu Cu. Imlek, Barongsai, Liong, sembahyang leluhur, dan ribuan nama Dewa adalah hal yang sudah kudapat sedari mudaku. Saat aku pertama masuk TK, aku ingat bahwa dalam raporku tertulis Buddha. Saat kupinjam milik temanku, kulihat namanya Islam, ada yang Katolik, ada yang Kristen, namun sayang, aku tidak melihat yang Hindu. Aku bertanya kepada mama dan katanya, perbedaan itu namanya Agama. Sebuah hal yang tidak kumengerti, namun biarlah, mereka temanku dan masa kecilku dulu tidak pernah diisi dengan dogma dan kekonyolan manusia.
Sekolah kecilku itu belum memiliki agama. Namun, pada suatu hari seorang Saksi Yehuwa mengajar di sekolah kami. Senang betul rasanya memiliki seorang guru muda yang baik dan suka membagikan permen dan buku bergambar berjudul ALKITAB pada 15 anak kecil yang bodoh dan lugu bagai bayi. Sering kami mendengar dongeng mengenai cerita yang terjadi dalam buku tebal bergambar itu. Diantara temanku yang lebih menyukai cerita yang berakhir bahagia, aku mendapati diriku terbuai oleh cerita kematian seorang pria di atas sebuah tiang kayu. Setelah umurku yang ketujuh baru kuketahui nama pria itu, Yesus.
Diusiaku yang keenam aku menginjakkan kakiku di SD pertamaku. Selama 3 tahun, aku mempelajari ajaran Buddha Theravada, yang membuatku tahu mengenai Tripitaka. Memasuki kelas 4 SD, aku dipindahkan ke sebuah sekolah Katholik, dan kupelajari doa yang jarang kudengar, Salam Maria. Pada tahun kelima sekolah dasar, aku pindah kembali ke sekolah umum dan dipilihkan untuk mengikuti ajaran Buddha kembali. Diusiau yang ke-11, aku dikenalkan oleh temanku mengenai doktrin yang disebut Pentakosta dan Metodisme. Kutemukan diri mudaku tertarik pada ajaran Pentakosta dan kudapati diriku menjadi percaya pada Kristus di usia muda. Saat gonjang-ganjing agama sedang marak di Jakarta, mama membawaku ke sebuah Pura Hindu, dimana terdapat patung Ganesha di depannya, arca Trimurti di dalamnya, dan foto seorang pria tua bernama Sathya Sai Baba. Aku sempat tertarik dengan ajaran Hindu. Salah satu buku favoritku, Bhagavata Gita memiliki cerita yang mirip dengan yang ada di kitab Jataka. Namun arus kehiduupan menyeret mama dan diriku ke ajaran lain, Nichiren Syosyu. Banyak hal yang kulalui bersama ajaran ini, dan selama kehidupanku dalam ajaran itu. Aku ingat umurku saat kudapati diriku berada di tengah selusin agama.12 tahun, itulah umur Indra kecil yang sejak muda sudah kenyang akan pertikaian antar agama di depan mukanya.
Kuurungkan niatku menjadi seorang Kristen Pentakosta karena usia mudaku dan status jiwaku yang terguncang akan siapa itu kebenaran. Saat umurku yang ke-13, aku mulai mempelajari ajaran Gnostik, Satanisme, dan hal-hal mistik lainnya. Aku tertarik mengenai keadaan jiwa seseorang setelah kematian. Aku mendapati diriku cepat memahami Kartu Tarot dan aku mulai merasakan keberadaanku sebagai anak indigo. Tidak heran seorang anak yang belum genap berusia 14 tahun sangat piawai dalam membaca tumpukan kartu bergambar tersebut.
Aku sudah puas diajari alam mengenai agama dan aku memetik sebuah pelajaran baru: “Tidak ada kemutlakan dalam sebuah agama. Jika agama itu mutlak, maka tidak akan ada manusia yang berbicara dan berdebat mengenai Tuhan. Tidak ada agama yang sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta”. Aku sering berpikir kenapa manusia sering bertengkar mengenai sesuatu yang bahkan tidak mereka ketahui. Aku mendengar banyak manusia yang mengaum bagai singa dan dengan berkobar menjelaskan kebenaran mengenai Tuhan, yang secara harfiah, menurut pemahamannya sendiri. Demikianlah kulalui hidupku dikelilingi kebodohan manusia. Mereka berbicara tentang Tuhan menurut konsep mereka dan menutup mata-telinga mereka untuk berjaga. Orang-orang berbicara bagai mereka mengenal Tuhan secara utuh. Namun dari apa yang kudapat, mereka memahami Tuhan atas dasar kesaksian hidup mereka sendiri. Secara umum, mereka yang mengalami adalah mereka yang berani unjuk gigi. Banyak ajaran agama yang tersebar di muka bumi pertiwi. Namun diantara perang kalbu ini aku menemukan banyak penganut kepercayaan yang disiksa dan martabatnya diinjak oleh bangsa sendiri. Aku berpikir, kenapa Ahmadiyyah disebut sesat dan penganutnya disiksa macam kambing? Bukankah Islam sendiri memiliki beragam pendapat, ada yang Sunni, ada yang Shi’a. Islam yang berarti damai telah dinodai dengan sifat urakan manusia. Sekarang aku bertanya.
Aku ingat kembali tentang guru muda dari golongan Saksi Yehuwa, mereka dikecam karena mempertahankan dogmanya. Mereka dicemooh oleh orang Katolik dan Protestan. Aku bertanya, mengapa mereka memprotes keras kepercayaan Yehuwa, padahal mereka berbeda pendapat tentang takhta ke-Pausan? Aku hampir gila, ajaran Nichiren mengatakan bahwa ajaran Hinayana, Tantrayana, dan Mahayana adalah keliru. Aku berkata kepada papa mengenai hal ini:

“Papa ga usah pusingin masalah agama yang akan kuanut, aku seorang Chinese, dan aku tidak lupa siapa diriku dan leluhurku.”

Diantara kepiluan hati, aku berkaca kembali. Seseorang yang merasa benar akan bertahan sampai akhir. Kulihat, semua penganut agama sedang ‘berjuang’ untuk kelangsungan dogma mereka. Tidak pedul rintangannya, mereka tetap berusaha dan bertahan. Kutemukan benih kebaikan dalam setiap agama dan jalan yang pernah kupintas. Orang-orangnya baik semua, lalu mengapa mereka dibedakan? Saat ini banyak orang mengejek agama satu sama lain meskipun kodrat mereka adalah sama. Aku menghargai asas berpendapat, jadi aku tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Suatu ketika aku bertemu seorang Mormon, dan dengan perjuangan dan doa, aku mendapati diriku tergabung dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Meski demikian, aku kuliah di universitas Katholik, berteman dengan kawan Hindu, berceramah di perkumpulan Buddha, berdiskusi alkitab dengan sahabat Protestan, makan es krim dengan Saksi Yehuwa atau ketupat sayur bersama seorang muslim, dan yang lucunya, curhat sama Suster Katholik. Aku berkata kepada mama mengenai kehidupanku yang beranjak menuju usia yang ke-20:

“Ma, aku menemukan keganjilan dalam semua agama, bahkan yang sedang kuanut. Namun mama, siapa itu Tuhan? Aku mengenalnya dari usahaku untuk mengerti akan keilahian-Nya. Aku menangis untuk mendapat restu-Nya. Tapi ma, aku bertanya, apakah pengertianku yang sederhana dan bodoh ini cukup untuk mengetahui siapa Tuhan dalam arti yang sesuai menurut pengertian-Nya? Apakah aku mengerti akan diri-Nya sesuai apa yang Dia inginkan? Pengertianku sangatlah terbatas, aku mengenal cinta dari kasih tulus seorang ibu dan kebijaksanaan dari tindakan seorang ayah. Mama mengenal diriku, siapa aku, dan akan jadi apa diriku. Menurut mama, akankah aku dapat bertemu dengan Tuhan? Bersenda gurau dengan-Nya sambil minum air kelapa muda? Aku ingin mengenal dirinya dengan sederhana dan apa adanya. Layaknya seorang anak kecil yang bertanya kepada bapanya mengapa ia harus memakai alas kaki. Aku masih diliputi oleh kekalutan dan ketakutan akan kegagalan, mama tolong bantu aku ya?”

Pengertian manusia akan Tuhan sangatlah beragam dan bahkan tidak menyentuh kebijaksanaan Tuhan. Bukan karena mereka bodoh, namun mereka ingin melewati batasan akal pikiran mereka. Aku yakin dari lubuk hati bahwa tidak ada agama yang salah. Mereka semua adalah benar menurut pengertian manusia. Hanya yang Maha Bijaksana yang mengetahui kebenaran di balik tabir besar yang disebut agama. Ah! Aku terlalu bodoh untuk memikirkannya. Dari sebuah buku yang pernah kubaca, seorang filsuf Yunani berkata, “Keberuntungan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua lahir tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur panjang,” rasanya benar juga kata filsuf tersebut. Aku yang baru genap berusia 19 tahun pada bulan September kemarin berkata pada langit-langit kamarku bahwa aku ingin tidur dan tak bangun kembali. Kadang aku lelah juga terbangun setiap pagi dan mendapati diriku terbawa arus kehidupan. Yah, rasanya memang menyebalkan, namun harus dijalani. Pernah kau bayangkan seorang Mormon yang gila macam diriku? Rasa-rasanya aku menjadi bagian dalam perang dogma ini. Biarlah orang berkata tentang aku dan kepercayaanku. Tuhan ada bagi setiap manusia yang berseru dan bertindak menurut kebijaksanaan-Nya. Ya sudahlah, aku muak dengan tulisan gila di internet mengenai percekcokan antar dogma. Aku mau tidur.

Selasa, 13 Oktober 2015

Negeri di Atas Awan

Belakangan ini aku sering menatap kembali buku tua dari masa kecilku, Jack & Kacang Polong. Sebuah cerita klasik dimana Jack menanam kacang polong yang tumbuh menyentuh langit, membawa dirinya ke petualangan di sebuah negeri dibalik awan. Aku membawa buku itu kedepan layar kecil televisi berukuran 16 inchi yang sudah selusin umurnya di kamar mama. Nun jauh di negeri yang konon disebut sebagai “Zamrud Khatulistiwa” terdapat sebuah negeri yang hidupnya diselimuti awan abadi. Awan tersebut begitu nista dan licik. Banyak anak yang bahkan belum bisa mengingat tidak berhasil membuka matanya. Sang ayah mengelus pipi kecil yang lugu itu dengan mata yang sembab. Aku melihat sang ibu mengambil air hangat untuk mendandani gadis kecilnya untuk menghadiri pesta yang meriah. Ya, pesta yang kemeriahan dan gemerlapnya mengalahkan seluruh pesta di bumi. Pesta yang bahkan dihadiri langsung oleh Maharaja Semesta yang kami panggil sebagai Tuhan. Ya, sebuah pesta yang dijaga ribuan malaikat terang. Sebuah pesta di negeri dongeng yang kita sebut Surga.
Di negeri itu, terdapat seorang raja. Badannya kecil, namun dandanannya mewah. Wajahnya penuh senyum, namun matanya menunjukkan dusta. Raja kecil itu terlihat seperti manusia, namun bayangannya bagaikan kera. Sang raja mahir dalam meniup sangkakala di negeri itu. Dalam satu hembusan sangkakala, api akan berkobar menyelimuti tanah lapang. Bagaikan dewa yang tidak tahu diri, ia melahap semua yang ada di hadapannya. Setelah api tersebut padam, ia mulai berlaga. Bagai malaikat tak bersayap ia mulai menyebar benih pohon. Buahnya kecil, namun berminyak dan harganya mengalahkan permata. Buahnya bulat berinti putih. Sawit namanya. Nama eksotis yang lahir dari nyawa segelintir manusia tak berdaya.
Raja zaman sekarang memang edan! Ia menambbah kekayaan negerinya dengan menggunakan tumbal. Demi segudang emas, satu nyawa manusia menjadi taruhan. Bagaikan nyamuk, manusia di negeri itu dibunuh satu persatu dengan cara menghisap asap hasil kobaran api sangkakala gila itu. Semakin sedikit penduduk negeri itu. Anak bayi tidak pernah bisa bertahan hidup karena menghirup kabut hitam itu. Celakalah! Celakalah sang raja! Suatu ketika ia meniup sangkakala terlalu lama hingga api tak kunjung padam. Celakalah! Seluruh umat manusia direnggut kehidupannya!
Kini sang raja pergi mengungsi. Ia tersenyum girang. Meski negerinya terbakar tanpa penduduk, ia tetap akan kaya. Ya, karena lahan yang hangus akan menjadi tanah terbaik tanaman Sawit. Negerinya kini dibalut oleh awan yang tak kunjung hilang. Negeri itu tenggelam dalam kesendirian daan kegelapan. Negeri itu menjadi saksi bahwa manusia adalah iblis sejati di muka bumi. Sang raja kini tinggal di negeri orang, dan ia bertemu dengan seorang penyair kumal. Sang penyair ini bersenandung girang saat ia melihat sang raja kecil nan gila.

“Wahai raja yang kaya, lihatlah mahkota emas bertabur berlian di atas tengkorak itu, bersinar bagai sinar pintu neraka. Hai raja yang dusta, tengoklah jubah ungu bersulam intan itu, menempel di dada yang penuh lubang dan darah. Hai raja yang licik, lihatlah pohon Sawit yang kau tanam di atas belulang. Hai raja yang buruk budinya, lihatlah kini Sawit menyerap darah. Dahulu putih intinya, sekaram legam bagai batu rubi yang menyala. Hai engkau raja bodoh berbalut darah kirmizi, hiduplah engkau dengan memakan derita. Minumlah engkau dengan cawan air mata. Pada akhirnya ketika engkau meniup sangkakala kembali, lidah api akan membakar jiwamu tanpa menghanguskan tubuhmu.”

Sebuah syair kejam bagai cenayang gila.Sang penyair kumal bernama Karma, yang rupanya dilahirkan di negeri sang raja. Kini ia sebatang kara. Keluarganya menjadi tumbal bagi emas sang raja durjana. Dendam membawanya mengikuti sang raja demi mengikatnya dan melemparkannya kedalam lidah api neraka. Sang raja kecil tertegun. Hendaklah ia bertanya kepada sang penyair. Namun sang penyair kumal menghilang, meninggalkan sebuah pesan bertulisan.

“Senandung sedihku untuk negeriku tercinta. Sebuah negeri yang berwarna Zamrud di bagian tengah Khatulitiwa. Ia berteriak kejam. Negeri kecilku berwarna Kirmizi. Ia membentang diantara Lazuardi. Negeri kecilku berdiri diatas belulang dan air mata. Merahlah ia bagai darah dan kelabu menyelimutinya. Kutukan kejam kami yang mati sia-sia bagi emas sang raja durjana yang penuh nista. Matilah engkau dengan paru-paru penuh darah. Dengan dada tercekik dan napas sengal engkau akan meminta pertobatan. Siaplah engkau menerima penghakiman. Raja Surga mencatat namamu dalam buku diari kecilnya. Menyiapkan dongeng baru bagi kehidupan manusia yang mati tak berdaya. Engkau akan mati tanpa air mata bercucuran. Dengan senyuman orang akan menguburmu. Hai engkau daging bernyawa, ingatlah kepada siapa engkau berpunya. Terlahir dari tanah, engkau mengorbankan tanah. Kembalilah engkau diantara tanah penuh darah bernoda. Sampai sangkakalamu bertiup dengan sendirinya. Aku Karma, putra sang waktu. Aku akan mengikuti engkau, menyaksikan kematianmu yang dipenuhi teriakan karena kebodohanmu sendiri. Sampai pada akhirnya jiwamu sendiri akan tersesat di sebuah negeri antah berantah, dimana kami menyebutnya sebagai Negeri di Balik Awan.”


Dongeng yang memuakkan namun penuh kejujuran. Sebuah cerita sedih yang aku temukan memang. “Negeri di Balik Awan”, sebuah nama yang penuh air mata. 

Kamis, 08 Oktober 2015

Dendam Bertabur Gula

Belum lama ini aku membaca sebuah kisah yang tajam, Hamlet. Pernahkah kalian membaca tragedi legendaris ini? Sebuah romansa penuh tragedi dimana balas dendam adalah maut yang membahagiakan?
Alkisah, ada sebuah keluarga kecil yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sang ayah memiliki 4 orang saudara, 1 perempuan dan 3 lelaki. Sang ayah adalah orang yang hanya bisa berjuanng keras demi memberi makan saudara dan keluarganya. Sang kakak perempuan adalah orang yang miskin sehingga dipinjamkan sang ayah peti emas yang sangat mahal agar sang kakak perempuan tidak diusir dari rumahnya. Namun naas, uang sang ayah tidak dikembalikan dan sang kakak perempuan tidak mau membayarnya dengan alasan tidak ada surat perjanjian. Kini, sang kakak perempuan hidup berkecukupan.
Kakak lelaki sang ayah yang kaya menitipkan putranya yang sulung padanya. Anak itu dibesarkan dengan baik, namun naas karena sikap anak itu yang rusak, ia meminta untuk dikembalikan pada keluarga aslinya. Anak yang keras kepala tersebut mengatakan hal yang buruk mengenai sang ayah. Kini, sang ayah harus menanggung malu akibat dusta yang kejam.
Ayah satu ini sangatlah baik, dipinjamkannya sebuah rumah untuk adiknya lelaki untuk memulai usaha. Namun karena sang adik sangat bodoh, ia membuat usaha ilegal tanpa sepengetahuan kakaknya. Saat usaha busuk itu tercium polisi, sang ayah menanggung beban lebih berat karena ketidaktahuannya akan kebodohan adiknya. Ia mendekam 9 bulan dibalik jeruji hingga keluarganya cukup sekarat.
Kakak lelaki kedua sang ayah hanyalah pemabuk dan penjudi. Ia adalah tanaman merambat yang membunuh pohon tempat hidupnya. Dia ditampung hidup oleh sang ayah sehingga memberatkan kehidupan dirinya dan keluarganya.
Karena kebaikan dan ketulusan hatinya, sang ayah hidup penuh derita. Anaknya yang sulung harus terseok-seok dalam pendidikannya. Anaknya yang wanita kini hidup dalam kesederhanaan yang memprihatinkan. Sang istri kini mau tidak mau harus pergi dan tinggal di pinggiran kota bersama kedua anaknya agar biaya makan lebih murah. Usia tua sang ayah mulai menjadi penghalang. Setelah dipisahkan hidupnya dari istrinya, ia mulai sakit-sakitan karena pola hidup dan tempat tinggal yang tidak layak di kota. 3 bulan sekali ia mengunjungi keluarga kecilnya hanya untuk melepas rindu selama seminggu.
Sang anak lelaki adalah orang yang pendendam. Ia dendam akan ulah orangtua sepupunya yang tidak tahu malu dan amoral. Namun sang ayah berkata pada anaknya.

“Benih kebajikan ini kutanam untukmu, putra dan putri kecilku. Buahnya yang begitu manis akan menghidupimu kelak.’”

Sang anak lelaki kini hanya menatap nanar tanpa emosi. Dilihatnya kini, sang kakak perempuan terkena penyakit hingga tidak bisa menikmati harta kekayaannya. Lihatlah kedua anaknya berjuang bagai primata yang tau induknya sekarat. Adalagi sang adik lelaki yang kini dirundung hutang dan tak memiliki anak dari istri yang mandul dan cabul. Belum lagi sang kakak yang kini menjadi miskin karena ulah anak lelakinya yang rusak moral dan hidupnya. Kakaknya yang lain, kini sudah berada di dalam sebuah peti.
Kebajikan sang ayah adalah benih buah surga bagi anaknya. Sang anak yang dendam hatinya kini tahu, bahwa dunia ini penuh keanehan. Dalam kesusahan orang lain, ia menemukan kesenangan. Manusia memang tidak sempurna, lemah dan banyak kekurangan. Kadang mereka tidak perlu membalas dendam. Sang waktu yang tak berujung membuat dendam bertabur gula. Sang anak tahu bahwa dendam adalah hal yang salah. Namun alangkah susahnya, bahkan bagi orang beriman untuk melupakan rasa pahit kopi di dasar lidah.

Kupikir William Shakespeare adalah seorang filsuf yang baik. Dia tidak mendongeng laiknya penulis lain. Dalam tulisannya yang dingin ia berteriak. Sang Khalik tidaklah munafik. Dia yang Maha Tahu menulis semuua cerita dalam diari, menunggu waktu untuk terjadi. Hamlet, tidak ada kebahagiaan dalam sebuah dendam. Gula hanya menaburi dendam, menyembunyikan kisahnya diantara bulir salju semesta alam.

Ice Cream

“Ice Cream” sebuah makanan manis yang sangat digandrungi jutaan orang dari segala usia. Adalah suatu kali aku membaca dari buku novel Jepang, dimana kata ini menjadi lelucon yang menyakitkan. Sesuatu yang terbilang manis dan membahagiakan memiliki makna tersirat di dalamnya. Apalah hal itu?
Ice Cream - I Scream
Indra kecil sangatlah penyendiri. Ia anak yang bawel, periang, keras kepala, dan mau menang  sendiri. Dalam beberapa hal, lidahnya yang tajam bahkan dapat membuat burung menangis. Sebagai pelajar di sekolah usang itu, ia dijauhi oleh temannya. Banyak hal yang membuatnya mendapat puluhan mata yang tajam. Hatinya sekeras batu hingga ia tidak peduli dengan manusia di sekitarnya.

“Jika orang bodoh memiliki otak di dengkul, maka otak kalian ada di telapak kaki,” jawabku pada setiap mata tajam itu. “Kalian menatap nanar saat kalian tidak menyadari kebodohan kalian sendiri”.

“Apa maksudmu? Kau mengatakan kami orang tak berotak?”, sahut seniorku.

“Ya, hanya manusia berotak kera yang mengandalkan tubuh besarnya. Hanya manusia berotak monyet yang mengancam adik kelasnya.”

Sebagai korban school bullying, aku sudah tahan banting dengan ancaman manusia. Jika kuingat kembali, kakak kelasku di SMA sangat mudah ditipu. Ya, bahkan dengan muslihat sekecil apapun. Dapat kukatakan bahwa aku hidup diantara belalang sembah yang siap menerkam bahkan pasangannya sendiri. Aku berkaca kembali pada lingkungan tempatku tumbuh. Aku hidup di tanah gersang yang kekurangan air meskipun angin kencang selalu menyelimuti diantara terik matahari.
Okelah kalau secara ekonomi aku kalah dari banyak orang di sekolah bobrok moral itu. Namun dalam hal filsafat dan sastra, kupikir aku jauh melampaui mereka. Manusia menjadi dewasa oleh asahan pisau kebohongan dan nista, sedangkan mereka yang diasah dengan minyak jelantah selalu ditutupi jelaga dusta. Sebuah ironi dimana aku menemukan bahwa manusia hidup diatas ego manusia lain. Lihatlah mereka yang dengan otak tumpulnya berkata bisa membeli sekolah padahal usaha saja masih tersendat. Mulut manis memang mengandung kebohongan, karena itulah aku memiliki lidah bagaikan pedang, yang penuh keterus-terangan dan tanpa muslihat.

“Ice Cream”, sebuah nama yang manis saat kubaca, namun kau tahu apa yang kudengar? “I Scream”

Senin, 05 Oktober 2015

Kabut Putih

Tangan yang gemetar menyembunyikan hal yang ia sayangi dalam saku celana. Yah, untuk beberapa hal, kalimat tersebut sangatlah benar. Hai kawan, tahukah dirimu bahwa langit malam kota Magelang sangat kurindukan? Malam di kota sunyi ini sangat kurindukan. Aku masih ingat bulan Agustus 2012, bulan pertamaku di kota kecil yang tenang ini. Saat itu masih kutemukan ikan cupang berwarna pelangi bersenda gurau di antara tanaman semanggi di dasar sungai Kali Bening. Masih jelas dalam benakku saat aku mencelupkan kakiku ke dalamnya diantara kerimbunan nyiur sambil menatap lembah Sumbing. Ingatlah mereka mengenai wangi angin dan kabut di senja bukit. Jelaslah diantara mereka deras Kali Progo yang membelah kota kecil itu.
Di kota kecil ini aku menemukan diriku, manusia biasa. Aku tidak pernah peduli dengan persoalan agama. Bagiku tidak ada kebenaran yang mutlak dalam doktrin apapun. Aku berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kesempurnaan Tuhan hanya dijadikan bahan olok-olok manusia demi mendapatkan koin berwarna keemasan. Dalam beberapa hal, aku berkaca, kalau aku bisa duduk bersama Tuhan dan bersenda gurau mengenai dunia, apa tanggapannya mengenai perang dogmatis ini?

Kabut Putih
“Ayahanda di Surga, apa pendapatmu mengenai kami? Yang penuh kelemahan dan sangat mengecewakan ini?”

“Kau tahu anak-Ku, kalian lebih penting dari Perjamuan Kudus, lebih berharga dari kobaran Lembar Kertas Kuning, tidak bisa digantikan”, jawab-Nya padaku.

“Bapa, semua orang menganggap dirimu sebagai pemulung! Mengapa Engkau menodai tangan-Mu yang agung dengan lumpur dan debu dosa manusia?”

“Hai anak-Ku, tahukah dirimu bahwa Aku ini pendaur ulang terbaik di alam semesta? Tahukah kamu bahwa Aku dapat membuat sampah menjadi permata?”, tambah-Nya.

“Papa Agung, siapakah kami ini? Sehingga kami begitu berharga?”, bingungku.

“Anak-Ku, ingatkah kamu bahwa ada tertulis dalam buku bacaanmu itu bahwa satu nyawa manusia sangat berharga di hadapan-Ku?”, tanya-Nya padaku.

Kupikir aku ini seorang ateis pada mulanya. Ada hal yang lucu dimana aku ingin hidup sesuai keinginanku tetapi masih memiliki rumah untuk kusinggahi. Di pinggir Kali Bening aku sering sekali melamun, menghadap hamparan sawah hijau yang menari menghiburku. Tahun 2012, di masa ini masih kuingat bahwa ikan cupang bermain di sela kaki yang pucat ini. Air ini bening, mengalir dingin melewati sela jari. Rumput ilalang gemerisik mencoba mengajakku terlelap dalam mimpi. Dibuai dalam ilusi, surya memancarkan sinar hangat berwarna jingga dengan awan putih sebagai kencana. Aku ingat senja itu, dimana batu cadas tempatku duduk di pinggir sungai masih kelabu. Aku ingat mega di langit begitu menggodaku. Aku hanya seonggok debu yang memiliki kehendak. Tak ayal ketika seorang mati kembali bersatu dengan bumi.

Aku seorang ateis yang sangat religius. Namaku Indra, diperanakkan langit dan dibesarkan bumi diantara kabut putih senja hari.

Jumat, 25 September 2015

Dunia Paralel

Pernah kalian berpikir mengenai malaikat dan iblis? Apakah mereka nyata? Apa kebenaran yang ingin mereka ungkap?

Bagi kita kaum beragama, tahulah kita mengenai kedua persona tersebut. Malaikat, sang hamba Tuhan dan iblis, hamba Setan. Namun kawanku tidakkah kalian berpikir bahwa kedua hal tersebut membuat pusing berbagai orang? Percayakah kalian mengenai kedua hal tersebut? Tahukah kalian tanda apa yang dibawa mereka?

Hitam putih kehidupan seringkali membuatku berpikir apakah diriku ini hanyalah bidak catur yang dimainkan kuasa yang lebih besar. Kadang aku mengira bahwa dunia ini tidak nyata dan ada alam lain di seberang mata. Kadang kutatap langit dan daun sambil mengira bahwa mereka senang menipu mata. Kau bayangkan kawan. Apakah hitam apakah putih? Apakah malaikat, apakah setan? Apakah baik, apakah buruk? Apakah benar, apakah salah? Coba kalian renungkan.

Diriku muda sering berpikir bahwa segala sesuatu tidaklah absolut. Ditemukannya bahwa putih tidaklah putih dan hitam tidaklah selalu hitam. Kadang benar dan salah hanyalah ilusi. Pernahkah kalian berpikir bahwa benar dan salah hanyalah sebagian kecil dari keegoisan manusia? Aku pernah berpikir bahwa sesuatu itu dapat dibilang baik ataupun benar menurut kehendak seseorang. Kuberi kamu contoh lucu. Pernahkah kalian mendengar cerita "Perang Surgawi"? Indra, sang raja dewata bertempur dengan Asura, raja iblis. Mereka memperebutkan kahyangan. Menurut Indra, kahyangan adalah rumah makhluk yang berkuasa. Namun, Asura juga memiliki kuasa, lalu mengapa mereka mendiami neraka? Bagi Indra, iblis adalah jahat, namun bagi Asura, dewa adalah jahat. Mana yang jahat, mana yang baik? Asura ingin agar iblis diperlakukan secara adil seperti dewa, namun dewa tidak ingin disamakan dengan iblis. Apakah baik, apakah buruk? Beritahu aku.

Manusia kukira hidup di dunia yang penuh dengan ilusi dan kebohongan pikiran. Mereka egois sekali saat menentukan segala sesuatu. Sama seperti diriku yang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa aku adalah salah satu dari mereka. Lucu bukan?

Sepucuk Romansa di Langit Kota Salatiga

Aku adalah sebuah cerita, dimana aku hidup dalam drama. Beberapa kali kata itu tersirat dalam pikiranku yang kacau tak menentu. Aku sedang jatuh cinta, dan melodi bersenandung di udara. Kadang aku bertanya, apa itu cinta? Aku dibesarkan dan dibutakan olehnya. Aku merindukan dirimu bagai ilalang menanti hujan di kemarau panjang. Aku tidak tahu mengapa aku sangat rindu padanya. Aku tahu bahwa aku tidak berharga dan berarti baginya. Aku hanyalah sebuah pion catur dalam permainannya. Siap dikorbankan. Siap dihempas arus kehidupan.

Kurasa aku belum begitu sabar menghadapi gadis berkacamata yang satu ini. Sering aku marah dengan tindakannya yang sangat mengacuhkan diriku. Sering aku ingin memaki dirinya yang selalu memandangku sebelah mata, seakan tak percaya kalau aku menyayanginya. Hai kawanku, inikah buah sebuah kerinduan? Hanya karena diriku yang tidak dapat bertemu dengan pujaan hatiku? Hai awan, bagaimana pendapatmu? Aku berdiri diantara pot bunga yang ditempatkan mengambang, ingin aku menyapa mereka dengan siraman air surga. Namun sayang, ia kembali mengacuhkanku.


Aku menyayanginya bagai langit malam merindukan purnama. Namun sayang, cintaku tidak ada harganya. Tidak berarti, dan baginya, sebuah ilusi. Langit beku kota Salatiga mengejekku hari ini. Dalam tenda sempit dan panas itu, langit meniup angin sejuk kedalamnya seraya mengantarkan khayalku pada puncaknya. Aku menutup mataku. Aku bermimpi dalam benak jiwaku. Aku berdiri beralaskan butiran bumi. Sambil menggenggam tangannya, aku berlari menyusuri kecupan ombak. Rasanya dingin di kaki, dan aku merasakan hangat senyum dan peluknya. Gadisku ini memiliki bibir bagai jambu air. Aku ingat kesegaran yang terpancar dalam senyumnya.


Aku terbangun. Aku sadar, inilah buah sebuah kerinduan, sebuah potret jiwa yang hanyut dan hancur dalam deru ombak. Tapi aku yakin, benih yang disiram pastilah tumbuh. Entah menjadi pohon menjulang atau semak berduri. Cinta memang kadang tidak berarti, tidak terbalas, namun aku akan tetap mengejek awan. Kita seri lagi, wahai awan kawanku. Kau menangis di saat sedih, untuk menghidupi dunia, dan aku menangis hanya untuk kebahagiaan dirinya. Cinta itu sepucuk harapan. Engkau dapat melukis dan mewarnainya untuk engkau lemparkan ke atas mosaik bintang bercahaya.
Malam ini hangat ditemani kobaran unggun kota Salatiga. Ada bintang kecil yang mengedip padaku. Ia berkata sambil tersenyum. Cinta tidak bagai bintang yang bercahaya. Ia bagai bulan, yang kadang redup dan kadang bersinar. Ia sering ditutup awan. Tapi bagaikan langit yang sabar menunggu cahayanya, kau harus sabar menunggunya Indra.

Aku mengangguk, alam memang guru terbaik. Dibawah pohon kembang aku duduk sendiri. Bersembunyi diantara hiruk pikuk dunia. Tenggelam di antara buana cinta. Dan aku menulis sebuah nama di bumi yang kupijak. Nama gadis berkacamata nan acuh yang sangat kudamba.

Sabtu, 05 September 2015

3rd IESS 2015

Melia - Nico - Stefanus - Rico
Hellooooww.... Ok, baru-baru ini UAJY (Kampus gw) bekerja sama dengan ITS menjadi Host University dari 3rd International Conference On Industrial Engineering and Service Science yang diadakan di hotel Melia Purosani, Yogyakarta! Sedikit cerita kalo gw cuma jadi timekeeper buat acara ini. Bertugas di pagi cerah tanggal 2 September 2015 kemarin, cukup ngantuk, untungnya ada teman seperjuangan yang hadir juga. Angkatan 2014 yang tugas hari ini.

Kegilaan dimulai di ruangan dingin beku dimana CEO Garuda Indonesia Airways memberikan presentasi singkat. Ngantuk memang, tapi paling nggak gw cukup liat lah gambar- gambar pesawat yang menarik. Pembicara kedua datang dari Prof. Pervaiz K. Ahmed dari Monash University. Acara ini rupanya isinya para edukator bro! Sumpah, uda kayak kuliah umum, cuman yang liat ya orang penting dan sukses. HAHAHAHA! Gw ketemu beberapa edukator di sini, Prof. Stewart Robinson dari Loughborough University, Prof. Pervaiz K. Ahmed dari Monash University, dan Ms. Araya Uengpaiboonkit dari Rajamangala University of Technology Suvarnabhumi. Banyak banget bulenya!

Paralel session mungkin acara yang paling bikin gue sibuk. Dari jadi timekeeper sampai jadi pengurus PPT. Man! Ternyata orang pintar jarang menggunakan komputer. Mereka lebih mencintai kertas dan pena! Sebuah pelajaran baru tentang kehidupan. Percayalah pada pena, lebih dari keyboard!
Timekeeper Crew
Ms. Araya Uengpaiboonkit
Rajamangala University of Technology Suvarnabhumi


Gala Dinner









Selfie?








Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Just Kidding!

Registration Desk






Bye-Bye!























           See you in the next IESS!!!!

Catatan Seorang Kawan

Sebuah catatan hanyalah kumpulan sebuah memori. Langit dan bumi sebagai saksi lika-liku kehidupan. Ada seorang muda yang selalu berpikir apakah dunia sebuah kesalahan? Ada cerita dimana seorang pemuda dibesarkan dalam dunia penuh muslihat. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dibesarkan oleh makian dan kekejaman kenyataan. Kadang ia ditanya orang, apa yang bisa lakukan? Ia hanya menunduk diam. Semua hal adalah muslihat. Ketika ia belajar dengan tekun, tak mendapat pujian. Saat ia mendapat medali, diberitahu kepadanya bahwa ia hanya membuang waktu. Ketika dia ingin melakukan hal yang ia inginkan, diteriaki bahwa yang dia lakukan tak ada gunanya.
Semua orang dalam hidupnya bertanya apa yang harus dia lakukan. Dia hanya terdiam. Mendengar alam membisikkan ketenangan. Tak ingin mempedulikan apapun. Mungkin satu hal yang dapat ia lakukan. Menjadi dirinya sendiri. Kuberitahu padamu kawan, ketika kamu melihat pemuda ini, kau akan tau bagaimana rasanya menjadi manusia tak bertopeng. Penuh dengan kejujuran dan apa adanya. Menjadi dirinya sendiri. Tidak meninggikan dirinya, tidak pula merendahkannya. Ia tahu bahwa ia diikat oleh kekejaman di sekelilingnya. Bagaimana ia berusaha dan kadang tidak mendapat buahnya. Sebuah ironi yang menjadi bahan tertawaan dunia. Lihatlah dirinya. Tatap mata tajam itu. Puaskan dirimu dengan tatapan senyap kalbu.
Jiwa yang menjerit sudah menjadi sahabat lamanya. Dimanapun tempatnya, harga diri tanpa uang tidak ada artinya. Lihat betapa ia tersenyum, dengan jutaan beban di benaknya. Seorang pemuda berusia muda dan bertubuh kecil ini senang tertawa. Ya, bahkan kepada dirinya. Ketidakberuntungan sangat senang menempel pada dirinya. Kenyanglah dirinya akan buah kebaika
n, kejahatan. Buah yang menjadi racun dalam kehidupan jiwanya. Siapa yang mau disalahkan, siapa yang patut disalahkan? Hai kawan, beritahu aku siapa sang penjahat dalam cerita ini?
Deep Blue
Ketika mendapat nilai bagus, tidak ada pujian. Ketika nilai jelek, dapat makian. Sebenarnya apa gunanya? Ketika dirumah tidak bekerja, ia dibilang tidak berguna. Ketika ia sibukkan dirinya dengan kegiatan, diberitahukan padanya bahwa hal demikian tidaklah berguna. Siapa sang penjahat? Tentu saja hidupnya. Terkadang dalam hati ia menertawakan dirinya, dimarahi dia ketika bangun siang karena belajar hingga larut malam. Terkadang tawanya semakin menjadi, ketika dimaki kalau dibilang malas di pagi hari, padahal dia bekerja semalam suntuk. Dimaki dirinya ketika dia tidak pernah olahraga pagi, padahal ia sudah berolahraga pada malam harinya. Dinyatakan kepada dirinya bahwa dia hanya seonggok daging tanpa kemampuan. Siapa yang mau disalahkan? Hidupnya atau kebodohan orang yang selalu memaki ketidakmampuan dirinya?

Bukan pemabuk, bukan perokok, bukan penjudi, hanya pelajar. Kisah seorang terpelajar yang harga dirinya tidak berarti karena kekosongan emas perak. Sebuah kisah yang selalu menjadi rahasia dunia yang berputar. Kulihat anak itu sekali lagi. Kulihat ia menari. Kulihat indah hidupnya yang penuh berlian yang terbuat dari keringat dan air mata. Segala sesuatu tidaklah sia-sia. Pemuda itu tersenyum, mengangkat tangannya menengadah langit gelap bertabur bintang dibawah sinar bulan. Ia berlari, tak tau kapan harus berhenti. Namun satu hal yang kusadari, bahwa perjalanan anak tersebut akan berhenti. Ya, suatu saat nanti. Saat dia terlelap dalam mimpi hingga tak mampu bangun kembali.

Selasa, 25 Agustus 2015

Catatan Tak Berujung

Seperti yang kalian sudah tau kawan, menjadi anak kuliahan memang memiliki suka dan duka tersendiri. Masa kuliahku sudah berjalan selama setahun lamanya dan kudapati diriku berdiri diantara lintang. Mereka bersinar cerah. Berbeda warnanya, berbeda bentuknya, namun mereka adalah bintang yang bersinar bagai cerahnya mentari di kegelapan malam. Berbinar diantara kehampaan ruang dan waktu. Kelas kecilku, galaksi cerah tempat para sinar bertemu dan melukis dunia.

Keseharianku biasa dimulai dengan sesi main kartu pagi bersama Freddy, Rico, Vincent, Melia, Nico, dan Tuti. Pagi beku yang menyelimuti depan ruang kelas 3218 memang sahabat kami seraya melempar berlian dan hati. Kuingat keceriaan kami yang semakin rusuh apabila Freddy menantang, atau saat Melia tak terkalahkan sepanjang permainan. Kami sangat pandai dalam hal ini. Statistika kami mungkin bagus karena permainan mendidik yang satu ini. Kadang mataku melirik Melli, avant garde kami ini mungkin tidak bisa bermain kartu, namun melihatnya saja membuatku heran. Apa yang dilakukan gadis negeri seberang di kota ini? Sempat aku tertarik gadis bawel ini karena body-nya. Kalau gadis cantik itu bagai Gitar Spanyol, maka Melli mirip dengan Cello Jerman. Hal ini berbeda dengan Melia. Gadis mungil berbadan petite ini sangat mirip dengan alat musik pujaan hatiku, biola. Ya, kutemukan sebuah mahakarya kehidupan yang lahir dari ketidaksempurnaan dan perjuangan manusia dalam dirinya. Seringkali kita meremehkan seseorang karena yang kurang darinya sehingga kita menutup mata dan telinga dari rahasia dunia. Pertama aku melihat gambar yang Melia buat, bisa kubilang kawan, aku tercengang. Sebuah mahakarya dalam selembar kertas pink selalu membuatku takjub. Hasil pekerjaan Melia yang kuanggap sebuah mahakarya mahasiswa baru.

Menggambar Teknik - Derita para MaBa FTI
 Hidupku di kelas mungkin tidak bertahan lama bila tidak ada Tina. Gadis bersuara indah ini adalah favoritku dalam hal mencontek pekerjaan atau guyonan. Kekocakan suara Tina membuat semua orang merasa hidup dibalik air mata saat mendapat nilai C di Kartu Hasil Studi. Berhutang banyak aku padanya yang sering mengantarku pulang kerumah. Kuakui bahwa mungkin aku tidak begitu dekat dengan Bayu, Rea dan Bryan. 3 sekawan konyol ini memang jarang muncul di kelas. Hal lain yang membuatku kurang mengenal mereka karena aku ga pernah nongkrong di payungan kampus. Namun kawan, untuk mengerti siapa seseorang, sebenarnya tak perlulah kau mengenal mereka sampai akarnya. Kuakui 3 orang yang senang bercanda denganku ini membuat duniaku yang membosankan jadi penuh cerita. Tak pernah terbayang dalam benak bahwa mereka orang paling friendly di kelas kami. Sebuah kejutan yang tak pernah terbayang.

Tuti, Tira, dan Angel, bidadari eksotis kelas yang memang jarang ngobrol denganku. Dibalik kediaman diantara kami, kurasakan hal yang menyentuh bahwa memperccayai seorang teman memang berarti besar. Kami yang jarang bercanda ternyata sangat jujur dengan perasaan. Kuingat beberapa waktu lalu aku curhat sama Tira, bikin deadline sama Tuti, atau pergi ke bioskop bareng Angel dan anak-anak lain. Dibalik kediaman, sebuah cerita selalu saja terjalin, kawan. Pernahkah kau berpikir kalau kau beruntung dengan semua kegilaan ini?

Freddy, Rico, Nico, Vincent, dan Stefanus, temanku melewati kerasnya dunia diantara kaum wanita. Diantara kami berenam mungkin Rico adalah panutan kami dalam urusan wanita. Sesepuh kami ini setia sekali dengan pacarnya. Lain lagi dengan Nico dan Stefanus, tokoh agama yang selalu mendorong iman kami untuk menghindari kejahatan dunia. Jika kalian bertanya apa yang aku, Freddy, dan Vincent lakukan, seharusnya kalian sudah tau. Memburu gadis cantik di fakultas sini dan seberang. Tolong dimaklumi saja kejombloan kami. Tapi kurasa kedua sahabatku pasti mendapat gadis impian mereka. Freddy dengan kakak tingkat kami, dan Vincent dengan gadis negeri seberang. Amin!

Pagi beku sahabat kami tiap Sesi 1
Sebuah dunia kecil yang diwarnai dengan tawa, tangis, derita, dan kebahagiaan. Lengkap sudah bagian hidupku di kampus karena mereka. Mungkin memiliki sedikit sahabat yang dapat kupercaya daripada 1000 teman dengan jutaan topeng. Angin dingin kadang membuat tanganku yang gemetar untuk menyimpan hal yang berharga dalam saku celana. Ingin aku menyapa Shangri-La kecilku ini setiap saat. Sebuah utopia yang menjadi nyata sudah lengkap. 16 benih yang mulai bertunas berdekatan ini tumbuh bersama dengan senda gurau mereka. Kelas kecil yang kutempat selama 3 tahun kedepan bersinar bagai Lintang Kemukus. Terhampar luas dan melukis kanvas gelap di langit berawan dengan teman sang rembulan. Kami hanya anak-anak kecil alam yang tumbuh bersama dan ingin menyapa dunia. Kupikir Bapa Surgawi senang menulis cerita konyol yang kami alami dalam buku hariannya pula. Kalau tidak, bagaimana hidup kami dapat selalu berwarna setiap gulir waktu?


Keenam belas tunas kecil ini suatu saat akan berdiri dan bersinar. Layaknya jutaan titik bintang dilangit, menggambarkan mimpi kami yang tidak terhitung jumlahnya. Kami berbeda, kami berwarna. Kami tumbuh, kami bersinar. Kamilah ke 16 Tunas Bintang manusia. Mahakarya alam yang disatukan dalam sebuah kelas kecil yang dipenuhi memori dan deru langkah kaki. Kami melangkah dengan sejuta cerita yang tidak dapat dikumpulkan. Ingatan buah hati dunia tidak muat dalam sebuah catatan. Semester awal dimana kami bertemu hanyalah permulaan. Kadang kuejek bunga lili yang tumbuh liar di jalanan. Cerita kami akan memenuhi buku sejarah kehidupan. Sebuah catatan yang tidak berujung, bagai ujung pelangi.

Senin, 24 Agustus 2015

Gadis Bekisar dan Anak Rambutan

Sejauh ingatan masa kecilku, Hari Raya Idul Fitri atau yang selama ini disebut Lebaran selalu terjadi pada saat rambutan mulai memerah. Indra kecil yang hidup diantara keragaman masyarakat Jawa ingat betul semua rumah yang ia kunjungi di desa kecil itu memiliki sebatang rambutan di setiap rumah. Rumah masa kecilnya yang masih dibangun dengan semen dan sedikit anyaman itu tersembunyi diantara rindangnya pohon berbuah merah itu. Dari jendela kayu tak berkaca, buah bulat berair manis itu sangat mudah diraih tangan kecilnya.

“Ternyata, pohon juga memiliki rambut,” ia bergumam, ”apa semua buah berambut merah?”

Kuingat seorang gadis belia berlari kearahku, Santi namanya. Kulit seputih kapuk randu, dengan senyum manja di wajahnya. Kuingat jelas teman masa kecilku itu senang bermain di halaman depan rumahku yang beralaskan tanah dan pasir lembut itu. Santi adalah satu-satunya gadis keturunan di kampung kecil itu. Bisa kubilang dia adalah bekisar tercantik yang pernah kutemui.
Bekisar, ungkapan ini sering ditujukan pada gadis berdarah campuran. Santi yang berwajah Jawa itu memiliki mata coklat yang sipit dan pipi berlesung bagai buah jambu air. Seperti orang-orang lain yang menyembunyikan darah campurannya pada masa Orde Baru, Santi terus mendapat ejekan karena kulit kapuk randunya. Ya, bekisar cantik ini sering merasa tertekan setiap bertemu dengan gadis sebayanya yang berkulit sawo. Mungkin masa yang menyenangkan baginya adalah saat lebaran. Bukan karena hari libur terpanjang di sekolahnya, namun karena aku si anak rambutan ini datang dan mengobati kebenciannya akan kulit dan mata itu. Kami sangat sering bermain bersama. Kedekatan kami sudah bagai kakak perempuan dan adiknya. Maklum saja, Santi berusia 3 tahun lebih tua dari diriku.

Santi dan hamparan Krisan Kuning
Sinar rembulan adalah teman kami berdua. Diantara lingkaran kecil itu sering aku dan Santi duduk diantara kerimbunan rambutan sambil bercerita mengenai apa yang kami lalui tahun itu. Kuceritakan padanya tentang tombak besar dengan pucuk emas yang dapat dimasuki oleh manusia dan kudengarkan ceritanya ketika pertama kali belajar membuat gula kelapa. Sungguh perbedaan besar yang kami miliki. Bekisar belia itu belum pernah keluar dari kota kecil itu. Ia dikurung oleh kekejaman zaman dan ketakutan manusia. Kutunjukkan fotoku di Jakarta diantara kelap-kelip kunang. Dapat dengan jelas 2 kelereng cokelat dimatanya berbinar takjub melihat foto yang dicetak dari film itu. Kutatap langit malam sejuk itu, dan kudapati bulan tersenyum melihat dua orang anak ingusan tertawa dan berbagi cerita. Malam yang semakin kelam malah semakin terang. Kuingat kebiasaan manjaku untuk membaringkan kepalaku di pangkuannya. Dibawah rambutan yang kadang jatuh mendadak, kami menatap bintang yang berjumlah ribuan, tak terhitung jumlahnya. Angin sejuk yang berhembus menusuk kalbu mengingatkanku bagaimana Santi dengan lembut mengusap lembut pipiku malam itu. Rembulan semakin merekah dengan warnanya yang semakin jingga. Hembusan angin yang membuat rambut mengantarkan mimpi kami berdua untuk tetap terjaga menjadi nyata. Kulihat bekisar cantik itu membukakan rambutan dan memasukkannya ke mulut kecilku. Manis, sangat manis wajahnya malam itu. Ya, ia memang semanis rambutan masak, bekisar merah itulah Santi. Bekisar yang nantinya menjadi pujaan setiap lelaki di masa depannya. Kembang tercantik yang tumbuh diantara padi dan nyiur hijau menguning.

Suasana alam membuat kami melantunkan tawa. Awan bergerak tanpa mengurangi sinar rembulan. Tidak akan lagi kudapati malam seperti itu kawan. Malam indah itu terjadi ketika umurku 5 tahun. Sejauh yang kuingat saat itu kudapati petani masih menumbuk padi yang dipanen dan kerbau yang membajak sawah dengan kakinya. Suatu masa dimana orang-orang bercaping masih menaiki sepeda onthel dan anak kecil bermain kelereng.

Senin, 17 Agustus 2015

Gambar Ravika

Ravika mungkin adalah gadis yang paling berkesan dalam hidupku. Kami bertemu di acara tahunan remaja Nichiren Syosyu, REACH. Pertemuan kami cukup lucu. Saat aku ingin mandi, kuingat wajah kagetnya ketika membuka pintu. Yah, kan kamar mandi umum segala gender. Wajar aja kurasa. Kami berkenalan sejak itu dan kadang menyapa. Aku hanya menganggap gadis Batam itu sebagai kenalan. Hal menjadi cukup serius ketika acara itu selesai. Pacarnya yang satu kontingen merasa cemburu padaku. Aku memang SMS-an sama Vika beberapa kali. Kujelaskan semua itu dan mereka baikan lagi.

Setelah 3 bulan, kudengar mereka putus, dan hatiku jatuh padanya. Ya kawan, kami pacaran. Saat itu adalah masa ketika aku masih berseragam putih-biru. Ravika sangat gemar menggambar jadi dia membuatkan beberapa gambar yang membuatku terpana. Aku sayang padanya. Hubungan kami berjalan setahun lamanya. Semua baik-baik saja sebelum pada akhirnya aku gagal bertemu dengannya di acara yang sama tahun itu. Aku tidak menepati janjiku untuk bertemuu dengannya. Yah, salahku juga pindah ke Magelang. Tapi aku tahu, bahwa Ravika bukan untukku. Bapa Surgawi punya seseorang untuknya.

Buat Ravika, ini bentuk terima kasih dan permohonan maafku karena tidak bisa menemuimu selama 7 tahun. Kuharap kamu sehat, dan menjadi kebanggaan orang tua. Salamku untuk Mamah dan Pundarika kecil.
                                 

Perbedaan

Masa SMA adalah masa kelabu bagi setiap remaja. Masa peralihan katanya. Indra muda terkenal akan kepiawaiannya dalam menjadi dingin di SMA-nya. 

"Siapa yang tidak mengenal Cina angkuh yang tidak memiliki teman itu," tandas seorang pemuda, "siapa juga yang tidak tahu si Indra itu?"

Aku sudah kebal dengan berbagai hinaan dari orang pribumi yang rasis begini. Kuakui beberapa dari mereka sangat tidak menyukai tingkahku yang terbawa dari Jakarta. Mereka ingin aku menjadi orang lain. Mereka ingin aku memakai topeng untuk menutupi siapa diriku. Itu yang mereka inginkan. Kau tahu kawan? Aku muak dengan masa SMA-ku. Kukira sikap dingin dan tidak peduliku akan segala urusan payah dan sok dewasa remaja membuatku menjadi pribadi yang baik. Berhasil kupertahankan diriku yang tidak pernah menyentuh rokok, alkohol, maupun benda laknat lainnya. Aku puas menjadi diriku yang dewasa sepenuhnya daripada separuh matang seperti mereka yang ada di sekolahku itu.

Kenangan menyenangkan semasa SMA sepertinya tidak pernah kumiliki. Tahun pertamaku di SMA membuatku membenci siapapun. Kehidupan Jakarta memang kejam. Bahkan diantara orang keturunan. Aku yang terkenal cukup pandai di kelas hanya dimanfaatkan orang sekelas. Manusia berkulit putih memang kejam dan licik. Kuakui kekurangan dari keturunanku. Kelas 1 SMA kulalui dengan penuh amarah. Ya, aku bahkan mencari musuh. Bahkan kakak tingkatku sempat mengancamku. Lihatlah tingkah bodoh primata tak berekor itu. Hanya karena usia lebih tua, tingkahnya sudah seperti dewa. Kusebutkan satu persatu juga tidak ada habisnya. Aku membenci mereka semua. Ya, bahkan mereka yang berada di kelasku.

Magelang - Oktober 2012
Tidak ayal dengan tahun kedua dan ketigaku di Magelang. Semua sama saja. Bisa dibilang bahwa aku dikelilingi oleh orang aneh dan tak berpendirian seperti itu. Kuakui bahwa aku memang mudah tersinggung dan tidak suka banyak omong. Mungkin hal inilah yang membuatku dapat menjadi sahabat baik semua guru. 3 tahun di SMA, dan kudapat banyak teman dari mereka yang sudah berumah tangga, pensiunan, bahkan veteran. Indra yang berumur tanggung terkenal diantara orang berusia 30 tahunan. Ya, dikenal bahkan segala keluh-kesahnya, kekecewaannya terhadap dunia. Berteman dengan orang dewasa memang lebih menyenangkan kawan. Ketika temanku sibuk balapan di jalan hingga kecelakaan, kau bisa melihatku berbicara hangat bersama sekelompok veteran renta sambil mengunyah singkong rebus. Aku menyukai cerita mereka yang penuh kejujuran. Lihat mata mereka yang berkaca. Aku menangis duluan rupanya.

Bila kau bertanya padaku siapa kawanku. Akan kujawab mereka adalah orang-orang dengan keriput di wajahnya. Mereka adalah orang kedua yang mengerti siapa diriku setelah keluargaku sendiri. Kuingat jelas ketika aku tidak ikut corat-coret baju SMA. Aku sadar bahwa aku melupakan momen yang mungkin paling ditunggu setiap anak SMA. Kuurungkan niat itu setelah kuingat temanku, seorang yatim piatu yang kukenal karena sering kutemui dia setelah menggarap ladang pamannya. Dia batal masuk sekolah karena tidak memiliki seragam. Kusumbangkan seragam lamaku ke sekolah. Aku puas, aku sadar bahwa nuraniku masih ada. Hampir separuh remaja Indonesia bersekolah tanpa menggenakan kemeja putih dan celana abu. Kenapa dicorat-coret baju yang masih bagus dan layak itu? Aku bertanya pada ikan yang kutemui di sela-sela batu. Mereka hanya memalingkan badan mereka rupanya.

Aku berbeda. Kuakui itu. Berteman dengan golongan bawah, bersenda gurau dengan orang berkulit sawo matang yang keriput dan renta. Ah, aku memang berbeda.Apakah aneh bila seorang pemuda keturunan Cina melakukan hal ini? Hai alam, beritahu aku. Siapakah aku? Harus jadi apa diriku? Sehingga mereka yang seumur denganku dapat mengerti aku?

Hujan

Sebagai seorang anak kecil, siapa yang tidak menyukai hujan? Bisa kubilang bahwa aku dilahirkan untuk fenomena alam yang satu ini. Diperanakkan di sebuah desa terpencil di pelosok Jawa Timur membesarkanku menjadi “hijau”. Dulu sekali, kalian bisa melihat anak berkulit putih berlarian di pinggir sawah becek bernaungan nyiur hijau. Dia tertawa menikmati kehijauan di sekitarnya. Kadang dia berlari di sekitar rumpun bambu hijau dan mengganggu sapi mengunyah rumput. Ya, anak ini nakal sekali. Lihatlah betapa lihainya dia mencuri kelapa muda dan rambutan tetangga. Tataplah mata bersinar anak berkulit putih ini ketika berlari memeluk kakek-nenek renta berkulit gelap itu.
Kompleks Candi Sewu - Prambanan
Indra kecil terbiasa bermain di sungai belakang rumah. Alirannya yang jernih dari Gunung Kelud tidak mungkin membuat anak kecil berusia 5 tahun tidak ingin bermain di dalamnya. Tengok keisengan mereka mencari yuyu dan ikan cupang. Dengar pula teriakan mereka saat melihat ular pohon hijau merayap di rumpun bambu. Masa kecilku kuhabiskan dengan teman-teman berkulit cokelat. Ada yang laki, ada yang gadis. Mereka bermain dengan Indra kecil, tanpa peduli warna kulitnya yang bersinar bagai kilat di bawah sinar rembulan.
Desa kecil ini sangat terpencil. Bisa kubilang di pinggiran kota. Orangnya yang ramah kadang membuatku kangen dunia sempit ini. Setahun sekali, setiap libur lebaran aku selalu berada di tempat ini. Dibesarkan di Jakarta membuatku yang anak singkong ini kangen kampung halamannya. Hujan adalah salah satu hal yang paling ia rindukan. Hujan di desa kecilku ini sangat menyenangkan. Airnya bersih tak berdebu. Segar, dingin, dan dapat diminum. Aku yang punya alergi dingin bahkan tak peduli ketika harus sakit setelah bermain hujan. Jelas benar dibenakku ketika Mama marah-marah ketika aku demam. Masa kecil tidak datang dua kali. Yah, sayang sekali aku baru sadar.
Kegilaanku yang gemar bermain di sawah sangat dikenal tetanggaku. Bila kedapatan mencuri jagung muda atau singkong, mungkin malah bisa diberi sekantung. Jika aku kedapatan mencuri telur, mungkin malah diajarkan cara memasaknya dengan abu panas. Ya kawan, kegilaan mudaku ini terjadi ketika masa-masa dimana sepeda onthel merajalela disaat wanita muda menanak nasi dengan kayu bakar. Sebuah zaman ketika kau masih menemukan gerobak padi yang ditarik oleh sapi di jalan berdebu tanpa aspal.

Selasa, 11 Agustus 2015

Buah dari Pengetahuan

Aku sangat menyukai apel, buah eksotis ini menjadi pilihanku karena rasa dan warnanya yang bervariasi. Kau tau kawan? Dongeng mengatakan bahwa apel adalah buah pengetahuan dalam dongeng yang sering kubaca. Aku tertarik sekali dengan hal-hal religius. Banyak sekali aku belajar mengenai penyakit doktrin yang didera manusia masa kini.

“Jam 10 malam,” pikirku, “nongkrong di depan rumah lah.”

Setiap jam 10 malam aku terbiasa duduk diluar menikmati ketenangan alam. Pada jam dimana semua orang terlelap adalah masa yang paling indah bagiku. Alam Magelang memang sangat lekat di benakku. Tak pernah kusangka di kota kecil ini kutemukan siapa diriku. Kenangan akan pagi pertama aku menghirup udara kota ini seakan cuma ilusi sekarang ini. Hembusan angin dan tarian awan yang biasa kurasakan di pinggir sawah belakang rumah mungkin paling kurindukan. Malam semakin gelap dan tak kusangka malam ini aku terlelap di depan rumah.

Dibesarkan dalam keluarga Chinese kadang cukup menyulitkan. Banyak tradisi yang diemban, terutama bagi anak laki-laki penerus nama keluarga. Bisa kubilang bahwa keluargaku cukup keras dalam hal mempertahankan tradisi. Ada orang berkata bahwa orang Chinese tidak bisa disebut beragama. Ya kawan, memang begitu adanya. Sejauh apapun agama melarang tradisi, kami  tetap melakukan tradisi warisan nenek moyang kami.

Pernah dulu ketika masa mudaku, aku berkeinginan untuk menjadi seorang Buddhis. Ya, aku  yang berapi-api sempat menggilai ajaran sekte Nichiren Shoshu. Kutemukan ketenangan dalam ibadahku. Namun aku dihadapkan pada kenyataan pahit dimana bila aku memilih agama, kutinggalkan tradisi terlebih dahulu. Aku seorang Chinese, dan sudah jelas aku memilih tradisi lebih dari apapun. Kekecewaanku cukup besar pada ajaran ini hingga sampai pada titik aku tidak mau terikat dogma gila itu. Kutemukan kembali diriku menjadi bagian dari kehidupan agnostik. Kuikuti kegiatan-kegiatan yang lebih tradisional seperti wushu dan barongsai. Anggaplah sebagai pelarian. Aku tidak peduli.

Diriku yang agnostik cenderung membuatku seperti orang rasis. Kutemukan kejanggalan dimana aku sangat membanggakan apapun yang kumiliki dan kuketahui. Kujadikan diriku sebagai seorang Chinese sejati yang anti dengan budaya luar. Hal yang akhirnya runtuh ketika kuketahui bahwa aku juga mewarisi darah Jepang nenek buyutku. Ya kawan, pernahkah kalian bingung dengan hal apa yang harus kalian lakukan? Pernahkah kalian ragu tentang siapa diri kalian?


Apakah buah dari pengetahuan adalah kebingungan? Apakah pengetahuan selalu menggoyahkan? Apakah buah pengetahuan itu baik dan benar? Kadang adakalanya kita terjebak dengan pemikiran kita sendiri. Terkunci dalam lingkaran yang tak pasti. Apakah kebaikan? Apakah kejahatan? Apakah mereka layak disebut demikian? Apakah selalu demikian?

Senin, 10 Agustus 2015

Indra's Coversion Story

In 2012 Lo Peng Sen and Lo Mei Shia moved their family from Jakarta to Magelang, Central Java.  Their son, Indra was old enough to start college and they wanted him to attend a good school.  They chose an international school in Yogyakarta, Atma Jaya.  Magelang is about an hour away from the school on a good traffic day, of which there is possibly one per month.  When they actually made the move though, they realized that a daily commute from Magelang to Yogya wasn't going to work, so Indra found an apartment near the school.  He stays in Jogja by himself but he goes home every weekend and holiday.

The Lo family are Buddhist by heritage and for them, family life is important, particularly respect for parents and older generations.  Unfortunately in order to support this move, Lo Peng Sen had to continue working in Jakarta and only makes it home to Magelang regularly once a month.  He does also come home for special occasions too.   Indra has flourished in the international school and plans are on the horizon for an advanced degree, preferably at an American school.

Although the family is Buddhist, from the start they enrolled Indra in a Christian school. That’s one of the reasons why even as a boy he knew Christianity better than Buddhism. At age 3, he began his education in Christianity with Jehovah’s Witnesses, as most of his kindergarten teachers were JW's.  A portrayal of Christ entered Indra’s life, but gradually the foundation lapsed as he was forced to move to a Buddhist Primary School. Within three years, he actually mastered the minimum requirements of Buddhism. It was surprising, even for his teachers at primary school. But economic problems forced Indra to move again this time to a Catholic school. 

Over the years in this Catholic school, Indra always questioned who God is. He asked the priests and hierophants there every time he got a chance. The answers did not satisfy him, so he decided to stop asking and wait.  He believed that there is an answer for each questions he had but he'd have to wait to find it.  

At some point in his youth, near age 10, Indra became interested in Christianity again. During his years in junior high, he began to observe and look for a religion he should follow.  He was  curious  about religious differences and denominations, especially within Christianity.  Although he was Buddhist at that time, he studied Christianity with people from the Pentecostal Church which sponsored school he attended.  At this young age, he tried to choose a religion, but when he told his parents of his interest and expressed a desire to be baptized a Christian, they first objected. Then they discontinued talking to him for a period of 3 months. Because of this, Indra’s perception about God was changed. A deep scar was carved in his heart. He felt like he was betrayed by God because he couldn't join the Pentecostal Church. He got the message, “they don't want me to get baptized a Christian and I am supposed to support my parents.” 

As time went by, Indra began to think that there is no God, and he viewed religions as nothing but strange communities. These days were probably the darkest years he faced. He began to look down on every religion, as he viewed them as nothing. He began studying metaphysics, mystic cults, and cosmologies. One question remained, "Does God really exist?" However, the curiosity and desire to join a Christian church stayed in the back of Indra's mind.

In 2014 when Indra was 18, a teacher in his university religion class assigned the class to do a major research project about a world religion then present their findings near the end of the year.  As the school follows Lutheranism, Calvinism and Wesleyan doctrines, the religion that Indra felt he should research must be Christian. Near the close of making the assignment, his teacher presented a short description of the Mormon Church.  One which mentioned the Book of Mormon, a false prophet, use of non-approved scriptures, and strange behaviors.  The negative portrayal intrigued Indra, so he decided to investigate the Mormon Church.

He started his research by looking up what the Book of Mormon is. He began asking people around him, but every time he asked, the answer was always the same. They told Indra not to follow any of the Mormon Church teachings and that he may be cursed if he did.  Since Indra didn’t really care about religion at that time, he just let it go.  He continued his personal searching. Indra found a website with information about this religion, lds.org.  He actually downloaded a portion of the scriptures and started reading from it every day just like reading novels.  He wasn't aware at the time that Magelang has a branch of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints and he kept going on without caring or noticing.  In 2015, he had seen young men in white shirts riding around on bicycles and asked his friends if they knew them.  They said that those people are Mormons.  This intrigued him and he browse the web again and for curiosity, requested a copy for a Book of Mormon that brought him face to face with them.

The request was routed through the Mission headquarters in Jakarta where Elder Lieske saw it and forwarded the contact information first to Yogyakarta. then to Elder Lie serving in Magelang.  When he called, Indra the 18 year old investigator asked if they could meet at a neutral location as he truly didn't want his parents to know that he was looking into a Christian religion.  They arranged to meet at the storefront building where the Church branch holds it's meetings in Magelang.  Indra truly did want to talk to them as he insisted to know their teachings for  himself.  

As Elder Lie and Elder Gartz met with this young man they felt his desire to make changes in his life and set himself on a path towards righteousness.  Indra studied the Church, its teachings, and the Book of Mormon for just a month, during which time he attended the Church’s sacrament meeting regularly.  Many other spiritual lessons with the Elders confirmed to Indra his desire to be baptized. Indra faced much opposition during these moments and a few even made him question what was actually the right thing to be done. Through reading the Book of Mormon and feeling the Holy Ghost, Indra received a strong testimony of the Church.  Ultimately he decided he wanted and needed to be baptized, but he was afraid to discuss it with his parents.


On Sunday March 15, 2015, Indra Cipta Lokatama, was baptized at the Hotel Trio pool in Magelang Indonesia.  Despite the hubbub of the pool, the angels rejoiced at that time with the commitment of another of God's sons to a path of righteousness.  Those in attendance felt the witness of the Holy Ghost.

The next Wednesday the whole zone of missionaries was fasting for help with missionary work in Central Java.  Obviously for Elders Zollinger and Lie, Indra's predicament was on their minds and in their prayers.  As they neared the end of their fast they received a call from Indra.  He had decided to test the waters again with his mother regarding religion, so he'd mentioned that he'd been studying Mormonism.  He explained that he'd like to attend Brigham Young University.  She thought that's not a bad idea.  With that encouragement he pushed on and said that attendance there would be best if he was a member of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints.  Miraculously she didn't object to that or start any silent treatment.  So, Indra persevered and explained about missionary work, that mission service was a good prerequisite for BYU attendance.  He then asked his mother if the missionaries could visit Saturday night when Lo Peng Sen was home from Jakarta.  She agreed.

The Elders knew this was an answer to their prayers for Indra.  Recently a missionary couple, the Jefferys, had moved into the area.  That week at the missionary district meeting they'd volunteered to accompany missionaries to visit parents of investigators with questions.  President Donald of the Indonesian mission had patterned such a visit for them and they want to serve.  So they too were invited to attend the Saturday summit, but only on condition that they didn't tell the Lo's of Indra's baptism.

When 2 missionaries, the Jefferys, and their driver, coincidentally the branch president, Ariyanto arrived they were graciously greeted. As the Elders explained the Church to the Lo family things seemed to warm up well. Mr. Lo seemed to like what he was hearing. Indra eventually asked his father for permission to join the Church of Jesus Christ of Latter Day Saints. His father had no objections to the desire, but warned his son that he couldn't forget his family responsibilities as he became closer to this church. Elder Jeffery showed his “My Family” booklet which contained the 4 generations of his family history.  That confirmed for the Lo's that the Church reinforces loyalty to family.  

Indra felt comfortable with the discussion so he told his father that he'd already been baptized the prior Sunday.  Suddenly the room got chilly.  Mr. Lo stated that his disappointment bordered on rage as he struggled to control his emotions.  Although he liked what he'd heard about the Church, he was upset because hiding this big decision from his parents was disgraceful and offensive.  As others began to express their opinions the emotional tenor of the room calmed down.  

Everyone recognized that open communication would have been better.  A feeling of trust needs to be developed and this discussion was a step that way.  Elder Jeffery explained that he had many children who'd sometimes made life changing decisions without consulting him.  Although this was uncomfortable, often the children had made better decisions than Elder Jeffery would likely have counseled them to make.  Somehow this comment seemed to ring true to Lo Peng Shen.

President Ariyanto explained that baptism is the first of a two part process of ordinances for a person to enter the Church.  The second ordinance was to be performed the following day, confirmation as a church member.  He invited the Po family to attend the ordinance and asked for the father's permission for Indra to receive the ordinance of confirmation.  After some discussion Lo Peng Shen agreed that perhaps this was one of those situations where Indra had made the better decision.  He gave his permission.

The next day all four Lo family members attended sacrament meeting where Indra was confirmed a member of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints.  Two weeks later Indra was ordained a Priest.  

Meanwhile Indra's research of his new religion has continued.  In early April 2015, when his time came to report to his college religion class of his research and views about his chosen religion he told of his personal religious experience.  This created a huge commotion in the class.  The teacher of the class was more than surprised by Indra, as he had changed from a bitter-logic minded person to a religious one.  The change so affected the teacher that he asked for a copy of the Book of Mormon, because Indra had said that reading the book had changed his life.  

Almost all of Indra's friends began to reject his friendship and keep him apart from campus’ life. A lot of challenges are still coming as Indra's friends are trying to make him leave his new faith by showing negative videos about Mormonism, some with ex-Mormon's testimonies, and accusing him of being fooled as they bring proof that Joseph Smith was a polygamist.  Indra endures the pain he faces with faith and as he does so he manages to change other’s perception about him.  Much to his surprise, two of his friends are interested in learning more about his new faith.  Because of this huge commotion, complaints, and uncertainty, the religion class’ lecturer asked Indra to give a followup presentation about The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints in 4 weeks.  Indra sees this presentation as a great opportunity to tell the world that he is, in fact, a Mormon.  He continues his studies with the missionaries and plans to serve a mission in America. Recently, he hasn't been coming home to Magelang because of his school duties, so he attends church in Yogyakarta.  From the day he got baptized, he has not missed partaking of the sacrament each week.  


Two weeks after Indra's confirmation at a meal in her home, Sister Jeffery presented Lo Peng Shen with a framed artwork of “Keluarga Dapat Kekal Selamanya”, meaning “Families Can Be Together Forever.”  Hopefully, someday with this hanging in their home the Lo family – Peng Sen, Mei Shia, Indra, and Indra's younger sister, Anita- can be sealed together forever in a temple of God.