Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Senin, 05 Oktober 2015

Kabut Putih

Tangan yang gemetar menyembunyikan hal yang ia sayangi dalam saku celana. Yah, untuk beberapa hal, kalimat tersebut sangatlah benar. Hai kawan, tahukah dirimu bahwa langit malam kota Magelang sangat kurindukan? Malam di kota sunyi ini sangat kurindukan. Aku masih ingat bulan Agustus 2012, bulan pertamaku di kota kecil yang tenang ini. Saat itu masih kutemukan ikan cupang berwarna pelangi bersenda gurau di antara tanaman semanggi di dasar sungai Kali Bening. Masih jelas dalam benakku saat aku mencelupkan kakiku ke dalamnya diantara kerimbunan nyiur sambil menatap lembah Sumbing. Ingatlah mereka mengenai wangi angin dan kabut di senja bukit. Jelaslah diantara mereka deras Kali Progo yang membelah kota kecil itu.
Di kota kecil ini aku menemukan diriku, manusia biasa. Aku tidak pernah peduli dengan persoalan agama. Bagiku tidak ada kebenaran yang mutlak dalam doktrin apapun. Aku berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kesempurnaan Tuhan hanya dijadikan bahan olok-olok manusia demi mendapatkan koin berwarna keemasan. Dalam beberapa hal, aku berkaca, kalau aku bisa duduk bersama Tuhan dan bersenda gurau mengenai dunia, apa tanggapannya mengenai perang dogmatis ini?

Kabut Putih
“Ayahanda di Surga, apa pendapatmu mengenai kami? Yang penuh kelemahan dan sangat mengecewakan ini?”

“Kau tahu anak-Ku, kalian lebih penting dari Perjamuan Kudus, lebih berharga dari kobaran Lembar Kertas Kuning, tidak bisa digantikan”, jawab-Nya padaku.

“Bapa, semua orang menganggap dirimu sebagai pemulung! Mengapa Engkau menodai tangan-Mu yang agung dengan lumpur dan debu dosa manusia?”

“Hai anak-Ku, tahukah dirimu bahwa Aku ini pendaur ulang terbaik di alam semesta? Tahukah kamu bahwa Aku dapat membuat sampah menjadi permata?”, tambah-Nya.

“Papa Agung, siapakah kami ini? Sehingga kami begitu berharga?”, bingungku.

“Anak-Ku, ingatkah kamu bahwa ada tertulis dalam buku bacaanmu itu bahwa satu nyawa manusia sangat berharga di hadapan-Ku?”, tanya-Nya padaku.

Kupikir aku ini seorang ateis pada mulanya. Ada hal yang lucu dimana aku ingin hidup sesuai keinginanku tetapi masih memiliki rumah untuk kusinggahi. Di pinggir Kali Bening aku sering sekali melamun, menghadap hamparan sawah hijau yang menari menghiburku. Tahun 2012, di masa ini masih kuingat bahwa ikan cupang bermain di sela kaki yang pucat ini. Air ini bening, mengalir dingin melewati sela jari. Rumput ilalang gemerisik mencoba mengajakku terlelap dalam mimpi. Dibuai dalam ilusi, surya memancarkan sinar hangat berwarna jingga dengan awan putih sebagai kencana. Aku ingat senja itu, dimana batu cadas tempatku duduk di pinggir sungai masih kelabu. Aku ingat mega di langit begitu menggodaku. Aku hanya seonggok debu yang memiliki kehendak. Tak ayal ketika seorang mati kembali bersatu dengan bumi.

Aku seorang ateis yang sangat religius. Namaku Indra, diperanakkan langit dan dibesarkan bumi diantara kabut putih senja hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar