Tangan yang gemetar
menyembunyikan hal yang ia sayangi dalam saku celana. Yah, untuk beberapa hal,
kalimat tersebut sangatlah benar. Hai kawan, tahukah dirimu bahwa langit malam
kota Magelang sangat kurindukan? Malam di kota sunyi ini sangat kurindukan. Aku
masih ingat bulan Agustus 2012, bulan pertamaku di kota kecil yang tenang ini.
Saat itu masih kutemukan ikan cupang berwarna pelangi bersenda gurau di antara
tanaman semanggi di dasar sungai Kali Bening. Masih jelas dalam benakku saat
aku mencelupkan kakiku ke dalamnya diantara kerimbunan nyiur sambil menatap
lembah Sumbing. Ingatlah mereka mengenai wangi angin dan kabut di senja bukit.
Jelaslah diantara mereka deras Kali Progo yang membelah kota kecil itu.
Di kota kecil ini
aku menemukan diriku, manusia biasa. Aku tidak pernah peduli dengan persoalan
agama. Bagiku tidak ada kebenaran yang mutlak dalam doktrin apapun. Aku
berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kesempurnaan Tuhan hanya dijadikan bahan
olok-olok manusia demi mendapatkan koin berwarna keemasan. Dalam beberapa hal,
aku berkaca, kalau aku bisa duduk bersama Tuhan dan bersenda gurau mengenai
dunia, apa tanggapannya mengenai perang dogmatis ini?
Kabut Putih |
“Ayahanda di Surga,
apa pendapatmu mengenai kami? Yang penuh kelemahan dan sangat mengecewakan
ini?”
“Kau tahu anak-Ku,
kalian lebih penting dari Perjamuan Kudus, lebih berharga dari kobaran Lembar Kertas Kuning,
tidak bisa digantikan”, jawab-Nya padaku.
“Bapa, semua orang
menganggap dirimu sebagai pemulung! Mengapa Engkau menodai tangan-Mu yang agung
dengan lumpur dan debu dosa manusia?”
“Hai anak-Ku,
tahukah dirimu bahwa Aku ini pendaur ulang terbaik di alam semesta? Tahukah
kamu bahwa Aku dapat membuat sampah menjadi permata?”, tambah-Nya.
“Papa Agung,
siapakah kami ini? Sehingga kami begitu berharga?”, bingungku.
“Anak-Ku, ingatkah
kamu bahwa ada tertulis dalam buku bacaanmu itu bahwa satu nyawa manusia sangat
berharga di hadapan-Ku?”, tanya-Nya padaku.
Kupikir aku ini
seorang ateis pada mulanya. Ada hal yang lucu dimana aku ingin hidup sesuai
keinginanku tetapi masih memiliki rumah untuk kusinggahi. Di pinggir Kali
Bening aku sering sekali melamun, menghadap hamparan sawah hijau yang menari
menghiburku. Tahun 2012, di masa ini masih kuingat bahwa ikan cupang bermain di
sela kaki yang pucat ini. Air ini bening, mengalir dingin melewati sela jari.
Rumput ilalang gemerisik mencoba mengajakku terlelap dalam mimpi. Dibuai dalam
ilusi, surya memancarkan sinar hangat berwarna jingga dengan awan putih sebagai
kencana. Aku ingat senja itu, dimana batu cadas tempatku duduk di pinggir
sungai masih kelabu. Aku ingat mega di langit begitu menggodaku. Aku hanya seonggok
debu yang memiliki kehendak. Tak ayal ketika seorang mati kembali bersatu
dengan bumi.
Aku seorang ateis
yang sangat religius. Namaku Indra, diperanakkan langit dan dibesarkan bumi
diantara kabut putih senja hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar