Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Jumat, 30 Oktober 2015

Pandangan Pribadi

Malam ini tepat pukul 20.00 kubaca sebuah tulisan di internet mengenai agama yang kuanut, Kristen Mormon. Temanku yang budiman, kadangkala aku bertanya kepada mereka tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu Kristus. Seorang kawanku bernama Alkitab berkata, “Mereka mengetahuinya melalui apa yang dipahat manusia di lembaran tubuhku”. Lalu aku bertanya kembali, siapa dan mengapa mereka menulisnya? Aku menemukan banyak kontradiksi kehidupan dalam setiap ajaran dogmatis di muka bumi ini. Aku seorang Mormon dan aku menulis ini berdasarkan apa yang aku alami sepanjang nafasku yang singkat ini.
Aku dilahirkan di keluarga yang beranekaragam dalam agama dan budaya. Aku menganggap diriku seorang Chinese karena aku mengemban sebuah marga warisan ayahku yang terkasih, Lo Peng Sen. Papa adalah seorang Chinese Melayu yang kebetulan memiliki darah Jepang dari neneknya. Hal ini tentu membuat papa menjadi penganut ajaran Taoisme dan Kong Hu Cu sejati. Mama di lain pihak adalah seorang Chinese Jawa yang merupakan keturunan dari Kesultanan Demak meski gelar kebangsawanan dirinya sudah putus puluhan tahun yang lalu. Mama, tentu saja, dilahirkan di keluarga Muslim meski dirinya adalah penganut Kristen pada kisah mudanya. Kedua hal ini menjadikan diriku sangat unik. Diantara kehebohan kisruh tahun 1998 yang masih segar di ingatan kedua orang tuaku, aku tumbuh diantara relung langit yang dikelilingi bangunan berkubah dengan bulan sabit di atas puncaknya. Ajaran Islam sudah lama kukenal meski aku tidak mendalaminya, aku menghargai dan kagum atas ketaatan kakek dan nenek dari mama yang sangat taat dalam urusan Shalat.
Hidup mudaku sendiri diisi kisah tawa dan tangis anak-anak berkulit gelap yang bermain sambil bergandeng tangan di bawah sinar purnama. Saat bermain hompimpa, aku tidak melihat perbedaan tanganku yang putih bagai daging nangka muda. Tumbuh di lingkungan Jawa membuat diriku menjadi orang yang akrab bergaul dengan golongan pribumi. Selain karena aku tumbuh bersama mereka, aku secara tidak langsung adalah bagian dari mereka. Satu pelajaran tentang kehidupan: “Ingatlah bahwa anak kecil terlalu lugu untuk memahami dogma rasisme milik orangtua mereka”.
Terlahir dalam keluarga Chinese, aku tumbuh dengan dikenyangkan oleh tradisi Tao dan Kong Hu Cu. Imlek, Barongsai, Liong, sembahyang leluhur, dan ribuan nama Dewa adalah hal yang sudah kudapat sedari mudaku. Saat aku pertama masuk TK, aku ingat bahwa dalam raporku tertulis Buddha. Saat kupinjam milik temanku, kulihat namanya Islam, ada yang Katolik, ada yang Kristen, namun sayang, aku tidak melihat yang Hindu. Aku bertanya kepada mama dan katanya, perbedaan itu namanya Agama. Sebuah hal yang tidak kumengerti, namun biarlah, mereka temanku dan masa kecilku dulu tidak pernah diisi dengan dogma dan kekonyolan manusia.
Sekolah kecilku itu belum memiliki agama. Namun, pada suatu hari seorang Saksi Yehuwa mengajar di sekolah kami. Senang betul rasanya memiliki seorang guru muda yang baik dan suka membagikan permen dan buku bergambar berjudul ALKITAB pada 15 anak kecil yang bodoh dan lugu bagai bayi. Sering kami mendengar dongeng mengenai cerita yang terjadi dalam buku tebal bergambar itu. Diantara temanku yang lebih menyukai cerita yang berakhir bahagia, aku mendapati diriku terbuai oleh cerita kematian seorang pria di atas sebuah tiang kayu. Setelah umurku yang ketujuh baru kuketahui nama pria itu, Yesus.
Diusiaku yang keenam aku menginjakkan kakiku di SD pertamaku. Selama 3 tahun, aku mempelajari ajaran Buddha Theravada, yang membuatku tahu mengenai Tripitaka. Memasuki kelas 4 SD, aku dipindahkan ke sebuah sekolah Katholik, dan kupelajari doa yang jarang kudengar, Salam Maria. Pada tahun kelima sekolah dasar, aku pindah kembali ke sekolah umum dan dipilihkan untuk mengikuti ajaran Buddha kembali. Diusiau yang ke-11, aku dikenalkan oleh temanku mengenai doktrin yang disebut Pentakosta dan Metodisme. Kutemukan diri mudaku tertarik pada ajaran Pentakosta dan kudapati diriku menjadi percaya pada Kristus di usia muda. Saat gonjang-ganjing agama sedang marak di Jakarta, mama membawaku ke sebuah Pura Hindu, dimana terdapat patung Ganesha di depannya, arca Trimurti di dalamnya, dan foto seorang pria tua bernama Sathya Sai Baba. Aku sempat tertarik dengan ajaran Hindu. Salah satu buku favoritku, Bhagavata Gita memiliki cerita yang mirip dengan yang ada di kitab Jataka. Namun arus kehiduupan menyeret mama dan diriku ke ajaran lain, Nichiren Syosyu. Banyak hal yang kulalui bersama ajaran ini, dan selama kehidupanku dalam ajaran itu. Aku ingat umurku saat kudapati diriku berada di tengah selusin agama.12 tahun, itulah umur Indra kecil yang sejak muda sudah kenyang akan pertikaian antar agama di depan mukanya.
Kuurungkan niatku menjadi seorang Kristen Pentakosta karena usia mudaku dan status jiwaku yang terguncang akan siapa itu kebenaran. Saat umurku yang ke-13, aku mulai mempelajari ajaran Gnostik, Satanisme, dan hal-hal mistik lainnya. Aku tertarik mengenai keadaan jiwa seseorang setelah kematian. Aku mendapati diriku cepat memahami Kartu Tarot dan aku mulai merasakan keberadaanku sebagai anak indigo. Tidak heran seorang anak yang belum genap berusia 14 tahun sangat piawai dalam membaca tumpukan kartu bergambar tersebut.
Aku sudah puas diajari alam mengenai agama dan aku memetik sebuah pelajaran baru: “Tidak ada kemutlakan dalam sebuah agama. Jika agama itu mutlak, maka tidak akan ada manusia yang berbicara dan berdebat mengenai Tuhan. Tidak ada agama yang sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta”. Aku sering berpikir kenapa manusia sering bertengkar mengenai sesuatu yang bahkan tidak mereka ketahui. Aku mendengar banyak manusia yang mengaum bagai singa dan dengan berkobar menjelaskan kebenaran mengenai Tuhan, yang secara harfiah, menurut pemahamannya sendiri. Demikianlah kulalui hidupku dikelilingi kebodohan manusia. Mereka berbicara tentang Tuhan menurut konsep mereka dan menutup mata-telinga mereka untuk berjaga. Orang-orang berbicara bagai mereka mengenal Tuhan secara utuh. Namun dari apa yang kudapat, mereka memahami Tuhan atas dasar kesaksian hidup mereka sendiri. Secara umum, mereka yang mengalami adalah mereka yang berani unjuk gigi. Banyak ajaran agama yang tersebar di muka bumi pertiwi. Namun diantara perang kalbu ini aku menemukan banyak penganut kepercayaan yang disiksa dan martabatnya diinjak oleh bangsa sendiri. Aku berpikir, kenapa Ahmadiyyah disebut sesat dan penganutnya disiksa macam kambing? Bukankah Islam sendiri memiliki beragam pendapat, ada yang Sunni, ada yang Shi’a. Islam yang berarti damai telah dinodai dengan sifat urakan manusia. Sekarang aku bertanya.
Aku ingat kembali tentang guru muda dari golongan Saksi Yehuwa, mereka dikecam karena mempertahankan dogmanya. Mereka dicemooh oleh orang Katolik dan Protestan. Aku bertanya, mengapa mereka memprotes keras kepercayaan Yehuwa, padahal mereka berbeda pendapat tentang takhta ke-Pausan? Aku hampir gila, ajaran Nichiren mengatakan bahwa ajaran Hinayana, Tantrayana, dan Mahayana adalah keliru. Aku berkata kepada papa mengenai hal ini:

“Papa ga usah pusingin masalah agama yang akan kuanut, aku seorang Chinese, dan aku tidak lupa siapa diriku dan leluhurku.”

Diantara kepiluan hati, aku berkaca kembali. Seseorang yang merasa benar akan bertahan sampai akhir. Kulihat, semua penganut agama sedang ‘berjuang’ untuk kelangsungan dogma mereka. Tidak pedul rintangannya, mereka tetap berusaha dan bertahan. Kutemukan benih kebaikan dalam setiap agama dan jalan yang pernah kupintas. Orang-orangnya baik semua, lalu mengapa mereka dibedakan? Saat ini banyak orang mengejek agama satu sama lain meskipun kodrat mereka adalah sama. Aku menghargai asas berpendapat, jadi aku tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Suatu ketika aku bertemu seorang Mormon, dan dengan perjuangan dan doa, aku mendapati diriku tergabung dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Meski demikian, aku kuliah di universitas Katholik, berteman dengan kawan Hindu, berceramah di perkumpulan Buddha, berdiskusi alkitab dengan sahabat Protestan, makan es krim dengan Saksi Yehuwa atau ketupat sayur bersama seorang muslim, dan yang lucunya, curhat sama Suster Katholik. Aku berkata kepada mama mengenai kehidupanku yang beranjak menuju usia yang ke-20:

“Ma, aku menemukan keganjilan dalam semua agama, bahkan yang sedang kuanut. Namun mama, siapa itu Tuhan? Aku mengenalnya dari usahaku untuk mengerti akan keilahian-Nya. Aku menangis untuk mendapat restu-Nya. Tapi ma, aku bertanya, apakah pengertianku yang sederhana dan bodoh ini cukup untuk mengetahui siapa Tuhan dalam arti yang sesuai menurut pengertian-Nya? Apakah aku mengerti akan diri-Nya sesuai apa yang Dia inginkan? Pengertianku sangatlah terbatas, aku mengenal cinta dari kasih tulus seorang ibu dan kebijaksanaan dari tindakan seorang ayah. Mama mengenal diriku, siapa aku, dan akan jadi apa diriku. Menurut mama, akankah aku dapat bertemu dengan Tuhan? Bersenda gurau dengan-Nya sambil minum air kelapa muda? Aku ingin mengenal dirinya dengan sederhana dan apa adanya. Layaknya seorang anak kecil yang bertanya kepada bapanya mengapa ia harus memakai alas kaki. Aku masih diliputi oleh kekalutan dan ketakutan akan kegagalan, mama tolong bantu aku ya?”

Pengertian manusia akan Tuhan sangatlah beragam dan bahkan tidak menyentuh kebijaksanaan Tuhan. Bukan karena mereka bodoh, namun mereka ingin melewati batasan akal pikiran mereka. Aku yakin dari lubuk hati bahwa tidak ada agama yang salah. Mereka semua adalah benar menurut pengertian manusia. Hanya yang Maha Bijaksana yang mengetahui kebenaran di balik tabir besar yang disebut agama. Ah! Aku terlalu bodoh untuk memikirkannya. Dari sebuah buku yang pernah kubaca, seorang filsuf Yunani berkata, “Keberuntungan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua lahir tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur panjang,” rasanya benar juga kata filsuf tersebut. Aku yang baru genap berusia 19 tahun pada bulan September kemarin berkata pada langit-langit kamarku bahwa aku ingin tidur dan tak bangun kembali. Kadang aku lelah juga terbangun setiap pagi dan mendapati diriku terbawa arus kehidupan. Yah, rasanya memang menyebalkan, namun harus dijalani. Pernah kau bayangkan seorang Mormon yang gila macam diriku? Rasa-rasanya aku menjadi bagian dalam perang dogma ini. Biarlah orang berkata tentang aku dan kepercayaanku. Tuhan ada bagi setiap manusia yang berseru dan bertindak menurut kebijaksanaan-Nya. Ya sudahlah, aku muak dengan tulisan gila di internet mengenai percekcokan antar dogma. Aku mau tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar