Malam ini tepat
pukul 20.00 kubaca sebuah tulisan di internet mengenai agama yang kuanut,
Kristen Mormon. Temanku yang budiman, kadangkala aku bertanya kepada mereka
tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu Kristus. Seorang kawanku bernama Alkitab
berkata, “Mereka mengetahuinya melalui apa yang dipahat manusia di lembaran
tubuhku”. Lalu aku bertanya kembali, siapa dan mengapa mereka menulisnya? Aku
menemukan banyak kontradiksi kehidupan dalam setiap ajaran dogmatis di muka
bumi ini. Aku seorang Mormon dan aku menulis ini berdasarkan apa yang aku alami
sepanjang nafasku yang singkat ini.
Aku dilahirkan di
keluarga yang beranekaragam dalam agama dan budaya. Aku menganggap diriku
seorang Chinese karena aku mengemban sebuah marga warisan ayahku yang
terkasih, Lo Peng Sen. Papa adalah seorang Chinese Melayu yang kebetulan
memiliki darah Jepang dari neneknya. Hal ini tentu membuat papa menjadi
penganut ajaran Taoisme dan Kong Hu Cu sejati. Mama di lain pihak adalah
seorang Chinese Jawa yang merupakan keturunan dari Kesultanan Demak meski gelar
kebangsawanan dirinya sudah putus puluhan tahun yang lalu. Mama, tentu saja,
dilahirkan di keluarga Muslim meski dirinya adalah penganut Kristen pada kisah
mudanya. Kedua hal ini menjadikan diriku sangat unik. Diantara kehebohan kisruh
tahun 1998 yang masih segar di ingatan kedua orang tuaku, aku tumbuh diantara
relung langit yang dikelilingi bangunan berkubah dengan bulan sabit di atas
puncaknya. Ajaran Islam sudah lama kukenal meski aku tidak mendalaminya, aku
menghargai dan kagum atas ketaatan kakek dan nenek dari mama yang sangat taat
dalam urusan Shalat.
Hidup mudaku
sendiri diisi kisah tawa dan tangis anak-anak berkulit gelap yang bermain
sambil bergandeng tangan di bawah sinar purnama. Saat bermain hompimpa, aku
tidak melihat perbedaan tanganku yang putih bagai daging nangka muda. Tumbuh di
lingkungan Jawa membuat diriku menjadi orang yang akrab bergaul dengan golongan
pribumi. Selain karena aku tumbuh bersama mereka, aku secara tidak langsung
adalah bagian dari mereka. Satu pelajaran tentang kehidupan: “Ingatlah
bahwa anak kecil terlalu lugu untuk memahami dogma rasisme milik orangtua
mereka”.
Terlahir dalam
keluarga Chinese, aku tumbuh dengan dikenyangkan oleh tradisi Tao dan Kong Hu
Cu. Imlek, Barongsai, Liong, sembahyang leluhur, dan ribuan nama Dewa adalah
hal yang sudah kudapat sedari mudaku. Saat aku pertama masuk TK, aku ingat bahwa
dalam raporku tertulis Buddha. Saat kupinjam milik temanku, kulihat namanya
Islam, ada yang Katolik, ada yang Kristen, namun sayang, aku tidak melihat yang
Hindu. Aku bertanya kepada mama dan katanya, perbedaan itu namanya Agama.
Sebuah hal yang tidak kumengerti, namun biarlah, mereka temanku dan masa
kecilku dulu tidak pernah diisi dengan dogma dan kekonyolan manusia.
Sekolah kecilku itu
belum memiliki agama. Namun, pada suatu hari seorang Saksi Yehuwa mengajar di
sekolah kami. Senang betul rasanya memiliki seorang guru muda yang baik dan
suka membagikan permen dan buku bergambar berjudul ALKITAB pada 15 anak kecil
yang bodoh dan lugu bagai bayi. Sering kami mendengar dongeng mengenai cerita
yang terjadi dalam buku tebal bergambar itu. Diantara temanku yang lebih
menyukai cerita yang berakhir bahagia, aku mendapati diriku terbuai oleh cerita
kematian seorang pria di atas sebuah tiang kayu. Setelah umurku yang ketujuh
baru kuketahui nama pria itu, Yesus.
Diusiaku yang
keenam aku menginjakkan kakiku di SD pertamaku. Selama 3 tahun, aku mempelajari
ajaran Buddha Theravada, yang membuatku tahu mengenai Tripitaka. Memasuki kelas
4 SD, aku dipindahkan ke sebuah sekolah Katholik, dan kupelajari doa yang
jarang kudengar, Salam Maria. Pada tahun kelima sekolah dasar, aku pindah
kembali ke sekolah umum dan dipilihkan untuk mengikuti ajaran Buddha kembali.
Diusiau yang ke-11, aku dikenalkan oleh temanku mengenai doktrin yang disebut
Pentakosta dan Metodisme. Kutemukan diri mudaku tertarik pada ajaran Pentakosta
dan kudapati diriku menjadi percaya pada Kristus di usia muda. Saat
gonjang-ganjing agama sedang marak di Jakarta, mama membawaku ke sebuah Pura
Hindu, dimana terdapat patung Ganesha di depannya, arca Trimurti di dalamnya,
dan foto seorang pria tua bernama Sathya Sai Baba. Aku sempat tertarik dengan
ajaran Hindu. Salah satu buku favoritku, Bhagavata Gita memiliki cerita yang
mirip dengan yang ada di kitab Jataka. Namun arus kehiduupan menyeret mama dan
diriku ke ajaran lain, Nichiren Syosyu. Banyak hal yang kulalui bersama ajaran
ini, dan selama kehidupanku dalam ajaran itu. Aku ingat umurku saat kudapati
diriku berada di tengah selusin agama.12 tahun, itulah umur Indra kecil yang
sejak muda sudah kenyang akan pertikaian antar agama di depan mukanya.
Kuurungkan niatku
menjadi seorang Kristen Pentakosta karena usia mudaku dan status jiwaku yang
terguncang akan siapa itu kebenaran. Saat umurku yang ke-13, aku mulai
mempelajari ajaran Gnostik, Satanisme, dan hal-hal mistik lainnya. Aku tertarik
mengenai keadaan jiwa seseorang setelah kematian. Aku mendapati diriku cepat
memahami Kartu Tarot dan aku mulai merasakan keberadaanku sebagai anak indigo.
Tidak heran seorang anak yang belum genap berusia 14 tahun sangat piawai dalam
membaca tumpukan kartu bergambar tersebut.
Aku sudah puas
diajari alam mengenai agama dan aku memetik sebuah pelajaran baru: “Tidak
ada kemutlakan dalam sebuah agama. Jika agama itu mutlak, maka tidak akan ada
manusia yang berbicara dan berdebat mengenai Tuhan. Tidak ada agama yang
sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta”. Aku sering
berpikir kenapa manusia sering bertengkar mengenai sesuatu yang bahkan tidak
mereka ketahui. Aku mendengar banyak manusia yang mengaum bagai singa dan
dengan berkobar menjelaskan kebenaran mengenai Tuhan, yang secara harfiah,
menurut pemahamannya sendiri. Demikianlah kulalui hidupku dikelilingi kebodohan
manusia. Mereka berbicara tentang Tuhan menurut konsep mereka dan menutup
mata-telinga mereka untuk berjaga. Orang-orang berbicara bagai mereka mengenal
Tuhan secara utuh. Namun dari apa yang kudapat, mereka memahami Tuhan atas
dasar kesaksian hidup mereka sendiri. Secara umum, mereka yang mengalami adalah
mereka yang berani unjuk gigi. Banyak ajaran agama yang tersebar di muka bumi
pertiwi. Namun diantara perang kalbu ini aku menemukan banyak penganut
kepercayaan yang disiksa dan martabatnya diinjak oleh bangsa sendiri. Aku
berpikir, kenapa Ahmadiyyah disebut sesat dan penganutnya disiksa macam
kambing? Bukankah Islam sendiri memiliki beragam pendapat, ada yang Sunni, ada
yang Shi’a. Islam yang berarti damai telah dinodai dengan sifat urakan manusia.
Sekarang aku bertanya.
Aku ingat kembali
tentang guru muda dari golongan Saksi Yehuwa, mereka dikecam karena
mempertahankan dogmanya. Mereka dicemooh oleh orang Katolik dan Protestan. Aku
bertanya, mengapa mereka memprotes keras kepercayaan Yehuwa, padahal mereka
berbeda pendapat tentang takhta ke-Pausan? Aku hampir gila, ajaran Nichiren
mengatakan bahwa ajaran Hinayana, Tantrayana, dan Mahayana adalah keliru. Aku
berkata kepada papa mengenai hal ini:
“Papa ga usah
pusingin masalah agama yang akan kuanut, aku seorang Chinese, dan aku tidak
lupa siapa diriku dan leluhurku.”
Diantara kepiluan
hati, aku berkaca kembali. Seseorang yang merasa benar akan bertahan sampai
akhir. Kulihat, semua penganut agama sedang ‘berjuang’ untuk kelangsungan dogma
mereka. Tidak pedul rintangannya, mereka tetap berusaha dan bertahan. Kutemukan
benih kebaikan dalam setiap agama dan jalan yang pernah kupintas.
Orang-orangnya baik semua, lalu mengapa mereka dibedakan? Saat ini banyak orang
mengejek agama satu sama lain meskipun kodrat mereka adalah sama. Aku
menghargai asas berpendapat, jadi aku tidak ingin ikut campur dalam masalah
ini. Suatu ketika aku bertemu seorang Mormon, dan dengan perjuangan dan doa,
aku mendapati diriku tergabung dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang
Suci Zaman Akhir. Meski demikian, aku kuliah di universitas Katholik, berteman
dengan kawan Hindu, berceramah di perkumpulan Buddha, berdiskusi alkitab dengan
sahabat Protestan, makan es krim dengan Saksi Yehuwa atau ketupat sayur bersama
seorang muslim, dan yang lucunya, curhat sama Suster Katholik. Aku berkata
kepada mama mengenai kehidupanku yang beranjak menuju usia yang ke-20:
“Ma, aku menemukan
keganjilan dalam semua agama, bahkan yang sedang kuanut. Namun mama, siapa itu
Tuhan? Aku mengenalnya dari usahaku untuk mengerti akan keilahian-Nya. Aku
menangis untuk mendapat restu-Nya. Tapi ma, aku bertanya, apakah pengertianku
yang sederhana dan bodoh ini cukup untuk mengetahui siapa Tuhan dalam arti yang
sesuai menurut pengertian-Nya? Apakah aku mengerti akan diri-Nya sesuai apa
yang Dia inginkan? Pengertianku sangatlah terbatas, aku mengenal cinta dari
kasih tulus seorang ibu dan kebijaksanaan dari tindakan seorang ayah. Mama
mengenal diriku, siapa aku, dan akan jadi apa diriku. Menurut mama, akankah aku
dapat bertemu dengan Tuhan? Bersenda gurau dengan-Nya sambil minum air kelapa
muda? Aku ingin mengenal dirinya dengan sederhana dan apa adanya. Layaknya seorang
anak kecil yang bertanya kepada bapanya mengapa ia harus memakai alas kaki. Aku
masih diliputi oleh kekalutan dan ketakutan akan kegagalan, mama tolong bantu
aku ya?”
Pengertian manusia
akan Tuhan sangatlah beragam dan bahkan tidak menyentuh kebijaksanaan Tuhan.
Bukan karena mereka bodoh, namun mereka ingin melewati batasan akal pikiran
mereka. Aku yakin dari lubuk hati bahwa tidak ada agama yang salah. Mereka
semua adalah benar menurut pengertian manusia. Hanya yang Maha Bijaksana yang
mengetahui kebenaran di balik tabir besar yang disebut agama. Ah! Aku terlalu
bodoh untuk memikirkannya. Dari sebuah buku yang pernah kubaca, seorang filsuf
Yunani berkata, “Keberuntungan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
yang kedua lahir tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur panjang,”
rasanya benar juga kata filsuf tersebut. Aku yang baru genap berusia 19 tahun
pada bulan September kemarin berkata pada langit-langit kamarku bahwa aku ingin
tidur dan tak bangun kembali. Kadang aku lelah juga terbangun setiap pagi dan
mendapati diriku terbawa arus kehidupan. Yah, rasanya memang menyebalkan, namun
harus dijalani. Pernah kau bayangkan seorang Mormon yang gila macam diriku?
Rasa-rasanya aku menjadi bagian dalam perang dogma ini. Biarlah orang berkata
tentang aku dan kepercayaanku. Tuhan ada bagi setiap manusia yang berseru dan
bertindak menurut kebijaksanaan-Nya. Ya sudahlah, aku muak dengan tulisan gila
di internet mengenai percekcokan antar dogma. Aku mau tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar