Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Senin, 24 Agustus 2015

Gadis Bekisar dan Anak Rambutan

Sejauh ingatan masa kecilku, Hari Raya Idul Fitri atau yang selama ini disebut Lebaran selalu terjadi pada saat rambutan mulai memerah. Indra kecil yang hidup diantara keragaman masyarakat Jawa ingat betul semua rumah yang ia kunjungi di desa kecil itu memiliki sebatang rambutan di setiap rumah. Rumah masa kecilnya yang masih dibangun dengan semen dan sedikit anyaman itu tersembunyi diantara rindangnya pohon berbuah merah itu. Dari jendela kayu tak berkaca, buah bulat berair manis itu sangat mudah diraih tangan kecilnya.

“Ternyata, pohon juga memiliki rambut,” ia bergumam, ”apa semua buah berambut merah?”

Kuingat seorang gadis belia berlari kearahku, Santi namanya. Kulit seputih kapuk randu, dengan senyum manja di wajahnya. Kuingat jelas teman masa kecilku itu senang bermain di halaman depan rumahku yang beralaskan tanah dan pasir lembut itu. Santi adalah satu-satunya gadis keturunan di kampung kecil itu. Bisa kubilang dia adalah bekisar tercantik yang pernah kutemui.
Bekisar, ungkapan ini sering ditujukan pada gadis berdarah campuran. Santi yang berwajah Jawa itu memiliki mata coklat yang sipit dan pipi berlesung bagai buah jambu air. Seperti orang-orang lain yang menyembunyikan darah campurannya pada masa Orde Baru, Santi terus mendapat ejekan karena kulit kapuk randunya. Ya, bekisar cantik ini sering merasa tertekan setiap bertemu dengan gadis sebayanya yang berkulit sawo. Mungkin masa yang menyenangkan baginya adalah saat lebaran. Bukan karena hari libur terpanjang di sekolahnya, namun karena aku si anak rambutan ini datang dan mengobati kebenciannya akan kulit dan mata itu. Kami sangat sering bermain bersama. Kedekatan kami sudah bagai kakak perempuan dan adiknya. Maklum saja, Santi berusia 3 tahun lebih tua dari diriku.

Santi dan hamparan Krisan Kuning
Sinar rembulan adalah teman kami berdua. Diantara lingkaran kecil itu sering aku dan Santi duduk diantara kerimbunan rambutan sambil bercerita mengenai apa yang kami lalui tahun itu. Kuceritakan padanya tentang tombak besar dengan pucuk emas yang dapat dimasuki oleh manusia dan kudengarkan ceritanya ketika pertama kali belajar membuat gula kelapa. Sungguh perbedaan besar yang kami miliki. Bekisar belia itu belum pernah keluar dari kota kecil itu. Ia dikurung oleh kekejaman zaman dan ketakutan manusia. Kutunjukkan fotoku di Jakarta diantara kelap-kelip kunang. Dapat dengan jelas 2 kelereng cokelat dimatanya berbinar takjub melihat foto yang dicetak dari film itu. Kutatap langit malam sejuk itu, dan kudapati bulan tersenyum melihat dua orang anak ingusan tertawa dan berbagi cerita. Malam yang semakin kelam malah semakin terang. Kuingat kebiasaan manjaku untuk membaringkan kepalaku di pangkuannya. Dibawah rambutan yang kadang jatuh mendadak, kami menatap bintang yang berjumlah ribuan, tak terhitung jumlahnya. Angin sejuk yang berhembus menusuk kalbu mengingatkanku bagaimana Santi dengan lembut mengusap lembut pipiku malam itu. Rembulan semakin merekah dengan warnanya yang semakin jingga. Hembusan angin yang membuat rambut mengantarkan mimpi kami berdua untuk tetap terjaga menjadi nyata. Kulihat bekisar cantik itu membukakan rambutan dan memasukkannya ke mulut kecilku. Manis, sangat manis wajahnya malam itu. Ya, ia memang semanis rambutan masak, bekisar merah itulah Santi. Bekisar yang nantinya menjadi pujaan setiap lelaki di masa depannya. Kembang tercantik yang tumbuh diantara padi dan nyiur hijau menguning.

Suasana alam membuat kami melantunkan tawa. Awan bergerak tanpa mengurangi sinar rembulan. Tidak akan lagi kudapati malam seperti itu kawan. Malam indah itu terjadi ketika umurku 5 tahun. Sejauh yang kuingat saat itu kudapati petani masih menumbuk padi yang dipanen dan kerbau yang membajak sawah dengan kakinya. Suatu masa dimana orang-orang bercaping masih menaiki sepeda onthel dan anak kecil bermain kelereng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar