Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Jumat, 25 September 2015

Sepucuk Romansa di Langit Kota Salatiga

Aku adalah sebuah cerita, dimana aku hidup dalam drama. Beberapa kali kata itu tersirat dalam pikiranku yang kacau tak menentu. Aku sedang jatuh cinta, dan melodi bersenandung di udara. Kadang aku bertanya, apa itu cinta? Aku dibesarkan dan dibutakan olehnya. Aku merindukan dirimu bagai ilalang menanti hujan di kemarau panjang. Aku tidak tahu mengapa aku sangat rindu padanya. Aku tahu bahwa aku tidak berharga dan berarti baginya. Aku hanyalah sebuah pion catur dalam permainannya. Siap dikorbankan. Siap dihempas arus kehidupan.

Kurasa aku belum begitu sabar menghadapi gadis berkacamata yang satu ini. Sering aku marah dengan tindakannya yang sangat mengacuhkan diriku. Sering aku ingin memaki dirinya yang selalu memandangku sebelah mata, seakan tak percaya kalau aku menyayanginya. Hai kawanku, inikah buah sebuah kerinduan? Hanya karena diriku yang tidak dapat bertemu dengan pujaan hatiku? Hai awan, bagaimana pendapatmu? Aku berdiri diantara pot bunga yang ditempatkan mengambang, ingin aku menyapa mereka dengan siraman air surga. Namun sayang, ia kembali mengacuhkanku.


Aku menyayanginya bagai langit malam merindukan purnama. Namun sayang, cintaku tidak ada harganya. Tidak berarti, dan baginya, sebuah ilusi. Langit beku kota Salatiga mengejekku hari ini. Dalam tenda sempit dan panas itu, langit meniup angin sejuk kedalamnya seraya mengantarkan khayalku pada puncaknya. Aku menutup mataku. Aku bermimpi dalam benak jiwaku. Aku berdiri beralaskan butiran bumi. Sambil menggenggam tangannya, aku berlari menyusuri kecupan ombak. Rasanya dingin di kaki, dan aku merasakan hangat senyum dan peluknya. Gadisku ini memiliki bibir bagai jambu air. Aku ingat kesegaran yang terpancar dalam senyumnya.


Aku terbangun. Aku sadar, inilah buah sebuah kerinduan, sebuah potret jiwa yang hanyut dan hancur dalam deru ombak. Tapi aku yakin, benih yang disiram pastilah tumbuh. Entah menjadi pohon menjulang atau semak berduri. Cinta memang kadang tidak berarti, tidak terbalas, namun aku akan tetap mengejek awan. Kita seri lagi, wahai awan kawanku. Kau menangis di saat sedih, untuk menghidupi dunia, dan aku menangis hanya untuk kebahagiaan dirinya. Cinta itu sepucuk harapan. Engkau dapat melukis dan mewarnainya untuk engkau lemparkan ke atas mosaik bintang bercahaya.
Malam ini hangat ditemani kobaran unggun kota Salatiga. Ada bintang kecil yang mengedip padaku. Ia berkata sambil tersenyum. Cinta tidak bagai bintang yang bercahaya. Ia bagai bulan, yang kadang redup dan kadang bersinar. Ia sering ditutup awan. Tapi bagaikan langit yang sabar menunggu cahayanya, kau harus sabar menunggunya Indra.

Aku mengangguk, alam memang guru terbaik. Dibawah pohon kembang aku duduk sendiri. Bersembunyi diantara hiruk pikuk dunia. Tenggelam di antara buana cinta. Dan aku menulis sebuah nama di bumi yang kupijak. Nama gadis berkacamata nan acuh yang sangat kudamba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar