Aku adalah sebuah
cerita, dimana aku hidup dalam drama. Beberapa kali kata itu tersirat dalam
pikiranku yang kacau tak menentu. Aku sedang jatuh cinta, dan melodi bersenandung
di udara. Kadang aku bertanya, apa itu cinta? Aku dibesarkan dan dibutakan
olehnya. Aku merindukan dirimu bagai ilalang menanti hujan di kemarau panjang.
Aku tidak tahu mengapa aku sangat rindu padanya. Aku tahu bahwa aku tidak
berharga dan berarti baginya. Aku hanyalah sebuah pion catur dalam
permainannya. Siap dikorbankan. Siap dihempas arus kehidupan.
Kurasa aku belum
begitu sabar menghadapi gadis berkacamata yang satu ini. Sering aku marah
dengan tindakannya yang sangat mengacuhkan diriku. Sering aku ingin memaki
dirinya yang selalu memandangku sebelah mata, seakan tak percaya kalau aku
menyayanginya. Hai kawanku, inikah buah sebuah kerinduan? Hanya karena diriku
yang tidak dapat bertemu dengan pujaan hatiku? Hai awan, bagaimana pendapatmu?
Aku berdiri diantara pot bunga yang ditempatkan mengambang, ingin aku menyapa
mereka dengan siraman air surga. Namun sayang, ia kembali mengacuhkanku.
Aku menyayanginya
bagai langit malam merindukan purnama. Namun sayang, cintaku tidak ada
harganya. Tidak berarti, dan baginya, sebuah ilusi. Langit beku kota Salatiga
mengejekku hari ini. Dalam tenda sempit dan panas itu, langit meniup angin
sejuk kedalamnya seraya mengantarkan khayalku pada puncaknya. Aku menutup
mataku. Aku bermimpi dalam benak jiwaku. Aku berdiri beralaskan butiran bumi.
Sambil menggenggam tangannya, aku berlari menyusuri kecupan ombak. Rasanya
dingin di kaki, dan aku merasakan hangat senyum dan peluknya. Gadisku ini
memiliki bibir bagai jambu air. Aku ingat kesegaran yang terpancar dalam senyumnya.
Aku terbangun. Aku
sadar, inilah buah sebuah kerinduan, sebuah potret jiwa yang hanyut dan hancur
dalam deru ombak. Tapi aku yakin, benih yang disiram pastilah tumbuh. Entah
menjadi pohon menjulang atau semak berduri. Cinta memang kadang tidak berarti,
tidak terbalas, namun aku akan tetap mengejek awan. Kita seri lagi, wahai awan
kawanku. Kau menangis di saat sedih, untuk menghidupi dunia, dan aku menangis
hanya untuk kebahagiaan dirinya. Cinta itu sepucuk harapan. Engkau dapat
melukis dan mewarnainya untuk engkau lemparkan ke atas mosaik bintang
bercahaya.
Malam ini hangat
ditemani kobaran unggun kota Salatiga. Ada bintang kecil yang mengedip padaku.
Ia berkata sambil tersenyum. Cinta tidak bagai bintang yang bercahaya. Ia bagai
bulan, yang kadang redup dan kadang bersinar. Ia sering ditutup awan. Tapi
bagaikan langit yang sabar menunggu cahayanya, kau harus sabar menunggunya
Indra.
Aku mengangguk,
alam memang guru terbaik. Dibawah pohon kembang aku duduk sendiri. Bersembunyi
diantara hiruk pikuk dunia. Tenggelam di antara buana cinta. Dan aku menulis
sebuah nama di bumi yang kupijak. Nama gadis berkacamata nan acuh yang sangat
kudamba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar