Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Selasa, 13 Oktober 2015

Negeri di Atas Awan

Belakangan ini aku sering menatap kembali buku tua dari masa kecilku, Jack & Kacang Polong. Sebuah cerita klasik dimana Jack menanam kacang polong yang tumbuh menyentuh langit, membawa dirinya ke petualangan di sebuah negeri dibalik awan. Aku membawa buku itu kedepan layar kecil televisi berukuran 16 inchi yang sudah selusin umurnya di kamar mama. Nun jauh di negeri yang konon disebut sebagai “Zamrud Khatulistiwa” terdapat sebuah negeri yang hidupnya diselimuti awan abadi. Awan tersebut begitu nista dan licik. Banyak anak yang bahkan belum bisa mengingat tidak berhasil membuka matanya. Sang ayah mengelus pipi kecil yang lugu itu dengan mata yang sembab. Aku melihat sang ibu mengambil air hangat untuk mendandani gadis kecilnya untuk menghadiri pesta yang meriah. Ya, pesta yang kemeriahan dan gemerlapnya mengalahkan seluruh pesta di bumi. Pesta yang bahkan dihadiri langsung oleh Maharaja Semesta yang kami panggil sebagai Tuhan. Ya, sebuah pesta yang dijaga ribuan malaikat terang. Sebuah pesta di negeri dongeng yang kita sebut Surga.
Di negeri itu, terdapat seorang raja. Badannya kecil, namun dandanannya mewah. Wajahnya penuh senyum, namun matanya menunjukkan dusta. Raja kecil itu terlihat seperti manusia, namun bayangannya bagaikan kera. Sang raja mahir dalam meniup sangkakala di negeri itu. Dalam satu hembusan sangkakala, api akan berkobar menyelimuti tanah lapang. Bagaikan dewa yang tidak tahu diri, ia melahap semua yang ada di hadapannya. Setelah api tersebut padam, ia mulai berlaga. Bagai malaikat tak bersayap ia mulai menyebar benih pohon. Buahnya kecil, namun berminyak dan harganya mengalahkan permata. Buahnya bulat berinti putih. Sawit namanya. Nama eksotis yang lahir dari nyawa segelintir manusia tak berdaya.
Raja zaman sekarang memang edan! Ia menambbah kekayaan negerinya dengan menggunakan tumbal. Demi segudang emas, satu nyawa manusia menjadi taruhan. Bagaikan nyamuk, manusia di negeri itu dibunuh satu persatu dengan cara menghisap asap hasil kobaran api sangkakala gila itu. Semakin sedikit penduduk negeri itu. Anak bayi tidak pernah bisa bertahan hidup karena menghirup kabut hitam itu. Celakalah! Celakalah sang raja! Suatu ketika ia meniup sangkakala terlalu lama hingga api tak kunjung padam. Celakalah! Seluruh umat manusia direnggut kehidupannya!
Kini sang raja pergi mengungsi. Ia tersenyum girang. Meski negerinya terbakar tanpa penduduk, ia tetap akan kaya. Ya, karena lahan yang hangus akan menjadi tanah terbaik tanaman Sawit. Negerinya kini dibalut oleh awan yang tak kunjung hilang. Negeri itu tenggelam dalam kesendirian daan kegelapan. Negeri itu menjadi saksi bahwa manusia adalah iblis sejati di muka bumi. Sang raja kini tinggal di negeri orang, dan ia bertemu dengan seorang penyair kumal. Sang penyair ini bersenandung girang saat ia melihat sang raja kecil nan gila.

“Wahai raja yang kaya, lihatlah mahkota emas bertabur berlian di atas tengkorak itu, bersinar bagai sinar pintu neraka. Hai raja yang dusta, tengoklah jubah ungu bersulam intan itu, menempel di dada yang penuh lubang dan darah. Hai raja yang licik, lihatlah pohon Sawit yang kau tanam di atas belulang. Hai raja yang buruk budinya, lihatlah kini Sawit menyerap darah. Dahulu putih intinya, sekaram legam bagai batu rubi yang menyala. Hai engkau raja bodoh berbalut darah kirmizi, hiduplah engkau dengan memakan derita. Minumlah engkau dengan cawan air mata. Pada akhirnya ketika engkau meniup sangkakala kembali, lidah api akan membakar jiwamu tanpa menghanguskan tubuhmu.”

Sebuah syair kejam bagai cenayang gila.Sang penyair kumal bernama Karma, yang rupanya dilahirkan di negeri sang raja. Kini ia sebatang kara. Keluarganya menjadi tumbal bagi emas sang raja durjana. Dendam membawanya mengikuti sang raja demi mengikatnya dan melemparkannya kedalam lidah api neraka. Sang raja kecil tertegun. Hendaklah ia bertanya kepada sang penyair. Namun sang penyair kumal menghilang, meninggalkan sebuah pesan bertulisan.

“Senandung sedihku untuk negeriku tercinta. Sebuah negeri yang berwarna Zamrud di bagian tengah Khatulitiwa. Ia berteriak kejam. Negeri kecilku berwarna Kirmizi. Ia membentang diantara Lazuardi. Negeri kecilku berdiri diatas belulang dan air mata. Merahlah ia bagai darah dan kelabu menyelimutinya. Kutukan kejam kami yang mati sia-sia bagi emas sang raja durjana yang penuh nista. Matilah engkau dengan paru-paru penuh darah. Dengan dada tercekik dan napas sengal engkau akan meminta pertobatan. Siaplah engkau menerima penghakiman. Raja Surga mencatat namamu dalam buku diari kecilnya. Menyiapkan dongeng baru bagi kehidupan manusia yang mati tak berdaya. Engkau akan mati tanpa air mata bercucuran. Dengan senyuman orang akan menguburmu. Hai engkau daging bernyawa, ingatlah kepada siapa engkau berpunya. Terlahir dari tanah, engkau mengorbankan tanah. Kembalilah engkau diantara tanah penuh darah bernoda. Sampai sangkakalamu bertiup dengan sendirinya. Aku Karma, putra sang waktu. Aku akan mengikuti engkau, menyaksikan kematianmu yang dipenuhi teriakan karena kebodohanmu sendiri. Sampai pada akhirnya jiwamu sendiri akan tersesat di sebuah negeri antah berantah, dimana kami menyebutnya sebagai Negeri di Balik Awan.”


Dongeng yang memuakkan namun penuh kejujuran. Sebuah cerita sedih yang aku temukan memang. “Negeri di Balik Awan”, sebuah nama yang penuh air mata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar