Belakangan ini aku
sering menatap kembali buku tua dari masa kecilku, Jack & Kacang Polong.
Sebuah cerita klasik dimana Jack menanam kacang polong yang tumbuh menyentuh
langit, membawa dirinya ke petualangan di sebuah negeri dibalik awan. Aku
membawa buku itu kedepan layar kecil televisi berukuran 16 inchi yang sudah
selusin umurnya di kamar mama. Nun jauh di negeri yang konon disebut sebagai
“Zamrud Khatulistiwa” terdapat sebuah negeri yang hidupnya diselimuti awan
abadi. Awan tersebut begitu nista dan licik. Banyak anak yang bahkan belum bisa
mengingat tidak berhasil membuka matanya. Sang ayah mengelus pipi kecil yang
lugu itu dengan mata yang sembab. Aku melihat sang ibu mengambil air hangat
untuk mendandani gadis kecilnya untuk menghadiri pesta yang meriah. Ya, pesta
yang kemeriahan dan gemerlapnya mengalahkan seluruh pesta di bumi. Pesta yang
bahkan dihadiri langsung oleh Maharaja Semesta yang kami panggil sebagai Tuhan.
Ya, sebuah pesta yang dijaga ribuan malaikat terang. Sebuah pesta di negeri
dongeng yang kita sebut Surga.
Di negeri itu,
terdapat seorang raja. Badannya kecil, namun dandanannya mewah. Wajahnya penuh
senyum, namun matanya menunjukkan dusta. Raja kecil itu terlihat seperti
manusia, namun bayangannya bagaikan kera. Sang raja mahir dalam meniup
sangkakala di negeri itu. Dalam satu hembusan sangkakala, api akan berkobar
menyelimuti tanah lapang. Bagaikan dewa yang tidak tahu diri, ia melahap semua
yang ada di hadapannya. Setelah api tersebut padam, ia mulai berlaga. Bagai
malaikat tak bersayap ia mulai menyebar benih pohon. Buahnya kecil, namun
berminyak dan harganya mengalahkan permata. Buahnya bulat berinti putih. Sawit
namanya. Nama eksotis yang lahir dari nyawa segelintir manusia tak berdaya.
Raja zaman sekarang
memang edan! Ia menambbah kekayaan negerinya dengan menggunakan tumbal. Demi
segudang emas, satu nyawa manusia menjadi taruhan. Bagaikan nyamuk, manusia di
negeri itu dibunuh satu persatu dengan cara menghisap asap hasil kobaran api
sangkakala gila itu. Semakin sedikit penduduk negeri itu. Anak bayi tidak
pernah bisa bertahan hidup karena menghirup kabut hitam itu. Celakalah!
Celakalah sang raja! Suatu ketika ia meniup sangkakala terlalu lama hingga api
tak kunjung padam. Celakalah! Seluruh umat manusia direnggut kehidupannya!
Kini sang raja
pergi mengungsi. Ia tersenyum girang. Meski negerinya terbakar tanpa penduduk,
ia tetap akan kaya. Ya, karena lahan yang hangus akan menjadi tanah terbaik
tanaman Sawit. Negerinya kini dibalut oleh awan yang tak kunjung hilang. Negeri
itu tenggelam dalam kesendirian daan kegelapan. Negeri itu menjadi saksi bahwa
manusia adalah iblis sejati di muka bumi. Sang raja kini tinggal di negeri
orang, dan ia bertemu dengan seorang penyair kumal. Sang penyair ini
bersenandung girang saat ia melihat sang raja kecil nan gila.
“Wahai raja yang
kaya, lihatlah mahkota emas bertabur berlian di atas tengkorak itu, bersinar bagai
sinar pintu neraka. Hai raja yang dusta, tengoklah jubah ungu bersulam intan
itu, menempel di dada yang penuh lubang dan darah. Hai raja yang licik,
lihatlah pohon Sawit yang kau tanam di atas belulang. Hai raja yang buruk
budinya, lihatlah kini Sawit menyerap darah. Dahulu putih intinya, sekaram
legam bagai batu rubi yang menyala. Hai engkau raja bodoh berbalut darah
kirmizi, hiduplah engkau dengan memakan derita. Minumlah engkau dengan cawan
air mata. Pada akhirnya ketika engkau meniup sangkakala kembali, lidah api akan
membakar jiwamu tanpa menghanguskan tubuhmu.”
Sebuah syair kejam
bagai cenayang gila.Sang penyair kumal bernama Karma, yang rupanya dilahirkan
di negeri sang raja. Kini ia sebatang kara. Keluarganya menjadi tumbal bagi
emas sang raja durjana. Dendam membawanya mengikuti sang raja demi mengikatnya
dan melemparkannya kedalam lidah api neraka. Sang raja kecil tertegun.
Hendaklah ia bertanya kepada sang penyair. Namun sang penyair kumal menghilang,
meninggalkan sebuah pesan bertulisan.
“Senandung
sedihku untuk negeriku tercinta. Sebuah negeri yang berwarna Zamrud di bagian
tengah Khatulitiwa. Ia berteriak kejam. Negeri kecilku berwarna Kirmizi. Ia
membentang diantara Lazuardi. Negeri kecilku berdiri diatas belulang dan air
mata. Merahlah ia bagai darah dan kelabu menyelimutinya. Kutukan kejam kami
yang mati sia-sia bagi emas sang raja durjana yang penuh nista. Matilah engkau
dengan paru-paru penuh darah. Dengan dada tercekik dan napas sengal engkau akan
meminta pertobatan. Siaplah engkau menerima penghakiman. Raja Surga mencatat
namamu dalam buku diari kecilnya. Menyiapkan dongeng baru bagi kehidupan
manusia yang mati tak berdaya. Engkau akan mati tanpa air mata bercucuran.
Dengan senyuman orang akan menguburmu. Hai engkau daging bernyawa, ingatlah
kepada siapa engkau berpunya. Terlahir dari tanah, engkau mengorbankan tanah.
Kembalilah engkau diantara tanah penuh darah bernoda. Sampai sangkakalamu
bertiup dengan sendirinya. Aku Karma, putra sang waktu. Aku akan mengikuti
engkau, menyaksikan kematianmu yang dipenuhi teriakan karena kebodohanmu
sendiri. Sampai pada akhirnya jiwamu sendiri akan tersesat di sebuah negeri
antah berantah, dimana kami menyebutnya sebagai Negeri di Balik Awan.”
Dongeng yang
memuakkan namun penuh kejujuran. Sebuah cerita sedih yang aku temukan memang.
“Negeri di Balik Awan”, sebuah nama yang penuh air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar