Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Minggu, 30 Oktober 2016

Indra & Me : Two Mirrors

I have never been through such a big love. Many says that I am too young for love but too old to be single. Life is surely confusing is not it? God created me in a way that none would understand. I know deep down that I have two personages; Indra and me. 

I am a bubbly, funny, upbeat and cheerful guy. The exact opposite of me is Indra, my other personage. Compared to me, he is silent, stoic, blunt, and apathetic. We view life in the exact opposite. If I view life as being rose-colored, I can tell that his will be grey-colored. To the exact opposite, we are very similar in manner.

“Thou art I, and I am thou. From the sea of thy soul, I come”.

I always heard that voice in my dreams, it happens to both of us. We know it better than anyone else, that both of us lives inside this flesh. To make matters worse; we both fall in love with the same girl. I still remember the first smile she showed me. It was beautiful above anything else. I can still remember how she yells at me; the way she plays along with anything. I do not know how many times I was saved by her smile, but it lets me to have some rest in a sparkling peace.

Indra is another personality that comes from the sea of my soul. I have always been alone in my life. I stood up by myself, facing the hardships surrounding me like the wave of southern seas. Indra is the only one who holds me dearly when I am in need of friend. Because of that, we are similar. He is me, and I am him. Indra is the symbol of my apathy towards life. We are the exact opposite. My love to her can be seen as lust in his eyes. But you know, we are confused of everything. The first time I see Indra in my dream, gazing the starry skies in the vast galaxy. 

“My dearest, are you well”?

Indra is the exact opposite of me. He is friendlier to death and loss. Once, he told me that no one loves him because he is the painful truth of me as I am the beautiful lie. I always want to ask people how they see me. To the funny thing is, they see me as a beautiful truth. What is truth and what is lie? We both laugh together as we see that life goes on, and leaving death behind. We pat Death like an old friend. We have been as friendly as we could be with him. Death told me something that he never told us before.

“Life goes on. They walk in a steady pace, leaving us behind. People, come with her and go with me. But both of you should know, that I leave love behind”.

I rode with Indra the other day to Magelang. Memories of this beautiful peace come to my mind like a vast tsunami. Indra sits at the back of my seat, pouring his hands to the one that creates him. As life is cheerful to God, death is very thankful for the memories he always shares with everyone. Indra knows that he is a symbol of death. He knows well that even if he dies, his love for the same woman that I love will remain the same. No one can escape the Great Time. He delivers all equally to the same end. Both of us know that we cannot pretend like it will not happen. But my dearest, do you know that both in life and death, I still love you?

“I might have lost my sky chord. Indra said that it does not matter. Since we wrote this chord in our memories of you”.

Minggu, 16 Oktober 2016

Lirih Angin & Jam Dinding

Terkadang aku berpikir bahwa Tuhan membuatku menjalani kehidupan yang begitu aneh. Tidak pernah ada di benakku bahwa waktu berjalan begitu cepat. Aku berubah, dan begitulah seluruh kehidupan ini menjadi. Aku kembali berangan apa aku akan kembali berlari menjadi bagian dari angin. Hai kawan, kurasa aku merindukan langit kala itu.

Tidak terasa waktu berputar begitu cepat, dan aku tahu diriku terjebak diantaranya. Menyenangkan menurutku, tapi semua berlalu begitu mudah. Aku mungkin terlalu acuh akan semua itu, atau aku memang menjadi bagian dari kisah Sang Agung. Aku merenung bahwa tawa angin begitu mudahnya membuat jiwaku hilang dibalik awan. Kolong langit adalah tempatku mengeluh akan semua kebosanan yang kujalani. Hai kawanku, apakah menurutmu kematian itu?

Aku selalu mencintai kehidupan, segala sesuatu indah baginya. Semuanya hidup di dunia ini, cinta, perasaan, bahkan jiwa. Aku menoleh kepada Indra sobatku lagi. Dia banyak merenung beberapa hari ini. Orang gila menurutku, tapi memang begitulah sahabatku ini. 

"Kawan, mengapa semua orang mencintai kehidupan, tapi membenci kematian," tanyaku padanya. "Segala sesuatu indah saat mereka hidup, dan menjadi buruk saat berakhir."

Indra menoleh kepadaku dan menjawab dengan mata yang sayup, "Kau tahu kawanku? Kehidupan semata hanyalah sebuah kebohongan yang indah. Kematian, hanyalah sebuah kenyataan pahit bagi beberapa sosok kehidupan. Tentu kau tahu, bahwa kau tidak bisa lari dari kematian, dia hanyalah kawan lama yang mengejarmu dalam permainan petak umpet."

"Apa kau peduli akan kematian, perpisahan itu sendiri?", tanyaku.

"Aku tidak begitu peduli. Apakah kematian semengerikan itu hingga ia menakuti dirimu?", jawabnya lirih. "Kau tahu kawanku, tidak ada satu jiwapun yang luput dari maut. Kau tidak bisa menutup telinga dan matamu. Kematian berada sangat dekat pada semua orang. Dia adalah sahabat lama, kita hanya menunda kedatangannya untuk jangka waktu yang cukup lama."

Jawaban itu membuatku tertegun. Indra muda adalah sosok yang bisa kubilang, mengagungkan kematian. Ia berteman dengan perpisahan dan kesedihan sedari muda. Aku bingung kenapa semudah itu baginya untuk akrab dengan kesedihan. Kawanku ini seorang sahabat yang gila. Ia terobsesi dengan sesuatu yang diluar nalar. Ia begitu mengerti bagaimana jam dinding berputar dan mengejar semua insan. Segala sesuatu memiliki awal dan akhir. Aku bisa mengerti meskipun tidak begitu keinginanku. Indra, apakah kematian itu sendiri bersahabat denganmu?

Aku sadar bahwa kawanku ini memilih jalan sunyi berangin di dalam hidupnya. Jauh dari keramaian. Engkau bisa melihat dirinya menapaki jalan kelabu diantara pepohonan, langit biru, dan deru angin. Ia tidak goyah hanya karena ia berbeda. Aku tahu bahwa sebenarnya dirinya sangat rapuh. Ia berusaha kuat untuk melawan hawa nafsunya. Hidup mungkin memiliki cermin yang berbeda. Kupikir, tidak mudah menjadi dirinya. Aku memilih menjadi diriku sendiri yang ceria dan penuh tawa. Tapi sobat karibku begitu murung akan segalanya.

Aku yakin sangat mudah bagi seorang wanita untuk jatuh hati kepadaku yang kupikir, memiliki berbagai wajah untuk menipu. Tapi aku kuatir dengan sobatku ini, dia begitu dingin, acuh, dan kaku. Aku berkawan dengannya semenjak diriku terjun ke dalam kisah kehidupan, namun semua menjadi aneh saat kami mulai dekat satu sama lain. Tapi kawan, kupikir kawanku sedang jatuh cinta.

"Kau tahu sobat? Kupikir aku adalah orang yangg paling tidak setia pada usiaku. Aku tidak bisa mencintai seorang gadis untuk waktu yang lama. Apalah dayaku yang hanya bisa jatuh cinta pada gadis yang sama setiap harinya. Kurasa Tuhan menciptakan aku untuk sebuah kisah yang begitu aneh.", jawabnya padaku.

Jam dinding terus berdetak, dan bulan Oktober memasuki puncaknya. Kurasa kami sedang dilanda cinta, bahkan kepada kematian sebagai bagian dari kehidupan. Aku tidak bisa menebak gadis mana yang ingin dipeluknya. Namun yang pasti, Tuhan menciptakan gadis itu sebagai pelangi di ujung jalan yang kami susuri.

- Oktober 2016 -

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kilau Serpihan Kaca

Belakangan ini aku kerap bermimpi buruk, aku diliputi keresahan yang tidak dapat kupungkiri. Ada hal menyebalkan yang terjadi beberapa hari ini. Ya kawan, aku menunggu patah hati. Indra muda adalah seseorang yang sensitif dan sentimental. Ia begitu impulsif, agresif, dan keras kepala. Kupikir ada benarnya bila seseorang yang memiliki kobaran api dalam hati kecilnya bertindak demikian. Aku tidak akan menyalahkan siapapun mengenai hal ini. Cinta mungkin adalah pemadam yang tepat bagi lidah api yang menjilat dalam benaknya. Hatinya begitu kacau, ibarat kaca, ia hanyalah setumpuk serpihan berkilau, menunggu untuk disatukan.

Aku melihat bahwa Indra baru saja menghancurkan sebuah kaca yang dimilikinya. Aku terkejut untuk beberapa saat, beranggapan bahwa dia pasti gila karena menyakiti dirinya. Tapi kawan, jika kalian mengenalnya, kau hanya akan menganggukkan kepala. Ada saat dimana dirinya memberikan senyum di wajah seseorang yang muram. Jiwanya goyah karena hati kecilnya mencintai 2 orang yang sama. Kau tahu kawan? Tentu saja itu sudah tidak muat lagi. Ia harus menghancurkan salah satunya, atau yang lebih buruk, keduanya. Tapi kupikir sobat karibku ini memang gila, ia memilih menghancurkan keduanya. Kau tahu kawan, egois namanya bila seorang pemuda jatuh hati kepada 2 gadis yang sama. Itu hanyalah penipuan, dan seperti yang kualami, lebih baik engkau tidak memilih keduanya. Aku memandang Indra dengan tatapan tajam. Ia tersenyum. Aku berpikir apakah dia senang melihat kedua burung dalam sangkar terbang lepas mencari sarang hati yang baru di balik awan. Kawanku ini, memanglah gila.

Aku bertanya, "Indra, kulihat engkau tersenyum. Apakah engkau bahagia sekarang?". Indra melamun sejenak lalu membalas tatapanku dengan wajah yang tenang, "Kau tahu kawan, melepaskan kedua burung memanglah sakit rasanya. Tapi bukankah lebih baik melepas daripada menempatkan mereka dalam sangkar yang dipenuhi ketidakpastian. Aku tahu melepas mereka tidaklah mudah, sementara hatiku hancur dibuatnya". Kubalas pernyataan itu, "Kau terlihat yakin?". Ia menjawab, "Manusia diciptakan berpasangan, tidak ada yang berat sebelah, maka cinta yang mengarah lebih dari 1 orang adalah kepalsuan. Kulepas kedua burung ini, dengan sangkar yang tetap terbuka, menunggu seekor yang baru kembali. Sobatku, jangan engkau mencari yang meremukkan hati. Carilah mereka yang mampu menyatukan kembali semuanya!".

Kalian sudah dengar bukan? Kawanku ini memang orang gila! Tapi kawan, jika engkau jatuh cinta. Kudoakan bila itu terjadi hanya dengan satu orang. Jika kau mendapati 2 orang, lepaskan semuua itu. Karena siapapun yang engkau lepas, akan menyakiti dirimu sendiri. Kau tahu, serpihan kaca adalah hal yang sangat sulit disatukan kembali. Jika hati kuibaratkan kaca, maka satu orang yang akan menyatukan serpihan yang berkilau ini adalah sebuah mimpi yang tidak bisa kubayangkan.

Jumat, 16 September 2016

Sepucuk Mimpi dan Altar Suci

Kau tahu kawan, hujan mulai turun di kota ini. Aku dapat merasakan angin berhembus sejuk merasuk dalam kalbu. Aku terhenyak, diantara daun berguguran dan kelopak bunga berterbangan diantara angin yang menari dalam kelembutan. Aku bermimpi. Kupikir sebuah mimpi yang sesungguhnya amat memalukan hingga aku tidak berani berkata kepada sahabatku, Indra. Kau tahu kawan? Seorang wanita telah benar-benar membuatku gila. Dan diantara deru angin diantara hutan yang teramat rapat ini, aku membuat sebuah surat yang sengaja kutulis untuknya.

Hai engkau mimpiku, apakah engkau ada disana?
Bagaimana kabarmu kasihku?
Apakah kelopak bunga berwarna kuning melintasi jejakmu?
Siapakah gerangan jiwa yang merindukan dirimu ini?
Kemanakah hati ini berlari saat engkau jauh dariku kasih?

Surat ini hanyalah nyanyian mimpi
Tapi tahukah engkau, bahwa aku merindukan kehadiranmu?
Diantara awan yang berarak diatas pandanganku
Dibalik deru angin yang berhembus menerpaku
Dengarkah engkau akan suaraku yang memanggilmu?

Hai perawan muda berparas pelangi,
Bagaimana kabar kekasih jiwaku ini?
Baikkah engkau dalam pencarianmu akan mimpi?
Ikutlah engkau melangkah bersama detak hati
Kembalilah kemari, untuk menapaki jalan hati ini

Surat ini memang sepucuk mimpi,
Tapi tahukah engkau bahwa ini datang dari hati?
Surat ini tidak sebatas mimpi.
Sadarkah engkau bahwa ini akan terjadi?
Cinta memang indah, karena kepadamu ia berwarna pelangi


Hidup ini memang dipenuhi kegilaan kawan. Tahukah engkau bahwa cinta membuat siapapun lupa akan segalanya. Kusadari bahwa Indra, sahabatku yang satu ini sadar akan semua hal yang terjadi. Aku sedang jatuh cinta. Tahukah kawan, bahwa hati ini sakit bila memikirkan apa yang akan terjadi dalam 30 hari? Aku akan pergi dan pasti kembali. Tapi akankah sang pujaan hati akan menunggu pujangga ini? Aku tidak tahu kawan, Indra sobat karibku ini hanya terdiam. Dibalik air hujan yang kini membasahi tubuh ini. Seakan-akan jiwaku ikut tertarik ke dalam suara dunia ini. Wahai Engkau Penguasa Agung, aku tahu diri-Mu paham betul kasihku akan dirinya. Pertemukan aku pada pujaanku. Apabila aku dapat restu-Mu, bawalah aku dengannya ke bait suci-Mu yang agung. Bawalah jiwaku dan jiwanya kedalam pelataran altar-Mu sehingga bolehlah dipersatukannya diriku dengannya bahkan sampai kekekalan.









Rabu, 24 Agustus 2016

Omega Prativa : Become Another Profession

 We understand what you're going through at work: constant pressure, expectation to meet target, or even exhaustion from never-ending debate. We also understand this: you need to have a break from time to time, to recharge yourself and avoid burnout. We offer you a solution. A unique way for you to escape for a while from your routine. The way is called Role Play Travel, where you can experience doing another profession with beautiful Indonesian landscape as the background. There's no way better to recharge yourself other than completely taking off your daily life and immersing in new life for a while. If that is what you have been experiencing, then you should travel. Yes, you should travel the Omega Prativa Way.
What is Omega Prativa - Role Play Travel...??? At Omega Prativa we believe travelling is a form of rejuvenation. But there is a lot more to travel than just visiting new places. It also means meeting new people or even doing things you've never done. Role Play Travel is our classic travel package that allows you to step into the shoes of other people's job. You learn their daily routine, their perspective, their custom. You become one of them. 

Granted, doing one job repeatedly can be jaded. However, have you imagined doing another job temporarily? Its refreshing because you take a break from your daily routine. It helps your brain stay fresh and your body ready for new challenge. That's why we believe by become another profession, you will have a memorable holiday. But here in Omega Prativa, you will stay in local host and become their profession during your duration of stay.

Are you interested in becoming Indonesians? Are you interested in playing your own holiday? Are you willing to have a beautiful memory of travel. That's more of it, so you have to come to Omega Prativa..!!!! With only USD 85, you will become another profession. One and only in Indonesia, come to us..!!!







Cheers,

Indra Luo
- Role Play Travel Marketing -

Senin, 22 Agustus 2016

Tiong Hoa : Kota Tua & Raja Penyamun

Jika ingin kukatakan mengenai diriku, mungkin penyamun adalah kata yang mewakilinya. Aku dan kawanku dalam gelap adalah pribadi yang berbeda namun memiliki satu jasmani yang sama. Terkadang aku berpikir, diantara satu wajah akan menempel sebuah topeng yang menipu segalanya. Aku adalah seorang penyamun. Bahkan diantara para penyamun.

Rembulan Malam
Kota Jakarta, sebuah kota tua penuh kenangan dalam benak diri mudaku. 4 tahun yang lalu kutinggalkan kota ini bersama masa laluku. Kini aku kembali dalam pelukannya, berusaha melepaskan diri darinya. Sebagai seorang Tiong Hoa muda, tentu aku bersemangat melihat suasana merah dan aroma dupa. Wangi khas itu mengembalikan bayangan dari pikiran menembus awan diantara kabut angkasa. Empat tahun sudah aku turun takhta dari seorang penyamun menjadi pemuda biasa. Aku melihat semuanya berubah dari tempat ini. Hanya satu yang tetap sama. Manusia.

Semuanya sama dari kali terakhir kutinggalkan mereka. Bahasanya, busananya, bahkan rasa masakannya. Aku terhenyak, bahwa aku sempat hadir dalam kekacauan ini. Peribahasa menggatakan bahwa manusia berubah dari waktu ke waktu. Namun yang kulihat hanyalah seberkas luka yang menjadi kaldera. Aku menatap cermin dan kulihat diriku dulu. Aku memang seorang penyamun. Ya, akulah raja dari penyamun muda itu.

Waras Dalam Kegilaan
Dunia berputar cepat bagai kincir angin. Kutemukan diriku menjadi bagian daalam sebuah drama berjudul kehidupan. Aku berjalan di dalamnya, dibesarkan dalam sebuah alur cerita yang bahkan tidak kumengerti. Apa aku yang sudah gila? Mungkin saja, karena akulah kegilaan sejadi-jadinya. Tapi kawan, diatas awan masih ada awan. Kau tahu? Bahkan seorang penyamun yang disegani karena kedurjanaan dirinya tetaplah takluk dengan satu hal. Cinta.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, seorang Tiong Hoa adalah pribadi yang unik. Berusaha baik meskipun jahat sekalipun. Banyak diantara yang kami bermuka dua asal tidak merugikan pihak manapun. Aku akan berkata bahwa kami adalah pribadi yang sulit dimengerti. Ya, dari segala sudut pandangnya. Jika engkau melihat diriku sekarang, kau akan menerka bahwa Indra yang dikau kenal hanyalah sebongkah tubuh berisi jiwa yang sendiri dalam keramaian. Aku ingin diriku dan aku ingin menjadi diriku. Akulah sang raja penyamun. Kau tahu apa yang kucuri? Sekali lagi, satu kata adalah jawaban yang sederhana. Cinta.

Drama yang ditulis Sutradara Agung teramat istimewa. Seorang penyamunpun, akan diberikan-Nya sebuah kado bernama Cinta. Aku memang gila. Kenapa? Karena aku baru saja menerima kado bernama Cinta itu. Di sebuah kota tua, aku menemukan Cinta dibalik dinding batu yang berlumut itu. Ia tersembunyi dalam balutan jubah hitam, dengan matanya yang tajam bagai mata pedang. Dingin dan kasar perawakannya, namun dialah yang kusebut Cinta. Dan kau tahu kawan? Entah mengapa, aku mulai belajar yang namanya Jatuh Cinta. Hidup ini megah sekali bukan?

Penyamun Masa Kini :

Berdasi dan memakai Tuxedo
Sang putri berlari dalam lorong luas yang disebut kehidupan, ia berusaha menyembunyikan dirinya dibalik tirai dan lampu bernama rembulan. Aku berlari. Secepat kakiku dapat menerbangkan diri ini. Kutemukan Cinta sang putri disembunyikan dibalik sebuah layar terang dengan berbagai tulisan. Ia begitu sulit diraih, licin, dan rapuh. Tapi aku ini seorang pencuri. Dan pencuri memiliki 1001 akal untuk mencuri. Aku bangga karena Cinta ini berhasil kucuri. Namun lain kali, aku akan mengembalikannya sebagai pria terhormat. Yah, mungkin tidak akan terjadi. Mengapa? Itu karena Indra yang menulis ini hanyalah seorang penyamun. Seorang pencuri Cinta sederhana. Tidak berbalut senjata. Aku hanya seorang biasa dibalik jubah bernama harga diri. Aku pencuri, karena itulah aku dapat berbangga diri. 

Indra terdiri dari 2 pribadi yang berbeda. Kalau yang satunya waras, yang lainnya pastilah gila. Aku menjadi waras karena kegilaanku. Kegilaan yang membentukku. Dan kedua tanganku cukup gila untuk mencuri Cinta. Namun kawan, permaisuriku mungkin lebih gila. Karenanya, dia berkata :

"Bukankah indah hidup itu karena aku mencuri hatimu setelah engkau mencuri hatiku?"

Kau tahu kawan? Hidup memang gila. Tapi untuk dapat bertahan di dalamnya, jadilah gila dan engkau akan waras selamanya. Aku seorang Tiong Hoa muda, penuh kegilaan dan keceriaan. Namun dibalik kewarasanku yang gila, kurasa Tuhan tetap tersenyum padaku. Mungkin lain kali bila aku dapat berkunjung ke takhta-Nya yang agung, akan kuajak dia berbincang. Jika diperbolehkan, aku ingin membawa permaisuriku memasuki balai kerajaan-Nya. Sudah kuduga, aku orang gila.


N.B. : NOT MY SON
Shopping District
Out of Sight


Kamis, 04 Agustus 2016

Keajaiban Sederhana

Keajaiban itu sederhana, mereka dekat di mata, dan dekat di hati. Aku sedang dilanda bencana dalam kisah kasih. Aku baru sadar bahwa diriku memiliki seorang kekasih. Aku merupakan seorang muda yang gila dan penuh mimpi. Di dalam kantung, kusembunyikan tangan yang menoreh kisah diantara awan langit ketujuh. Cinta memang gila, dia membuat semua yang mengenalnya terlena. Namun kawan, mungkin aku menerima vaksin cinta. Aku memiliki kesulitan untuk mengerti siapa cinta. 

Kekasih dalam hidupku tersembunyi dibalik layar smartphone. Aku tidak pernah menatap kedua bola matanya. Dengan dua kelereng berwarna cokelat, aku melirik setiap tulisan dan kisah yang kami buat. Bagai sebuah drama, kami adalah pemain utamanya. Semuanya sederhana. Ya, sederhana karena kubiarkan Tuhan sebagai penulis cerita, dan waktu sebagai sutradaranya. Indra yang jatuh cinta tidak lebih dari sebuah jiwa yang kesepian. Kupikir bahwa Indra mengkin terlalu nyaman dalam hidupnya yang acuh akan wanita. Ah! Aku tidak mengerti cinta. 

Hidup yang selama ini kutapaki tidak lebih dari masa berwarna kelabu. Ia bersemayam diantara pahit manis kehidupan. Aku berkata kepadanya kawan, "Indra, dengan siapa engkau jatuh cinta?". Kau tahu apa yang kudapat? Keheningan. Aku berpikir bahwa kawan kecilku itu sedang terbuai mimpi yang begitu manis. Aku tidak tahu. Hanya saja, Indra yang dapat jatuh cinta dapat kukategorikan sebagai mujizat. Ya, begitu ajaib bahkan hingga aku tidak dapat melukiskannya. Indra adalah pribadi yang acuh. Ia menyukai keheningan dan kesendiriannya. Ia tidak suka keramaian yang mengganggunya. Ia adalah seekor singa yang tenang. Lalu aku berkata dalam diriku, "Apa maksud keajaiban ini?".

Indra berkata kepadaku, "Keajaiban itu sederhana. Mereka tidak lekang oleh waktu, tidak dapat engkau raih. Keajaiban datang saat dia menginginkannya. Keajaiban itu sederhana, ia datang diwaktu yang tepat. Disaat engkau memiliki pengharapan akan dirinya". Aku tertegun. Siapakah gerangan jiwa muda yang mengacaukan ketenangan kepala sobat karibku itu? 

Keajaiban dalam hidupku berwarna bagai pelangi. Setiap warnanya memberikan corak yang berbeda. Namun cinta adalah satu yang sederhana. Ia berwarna sama dengan corak yang mudah dikenali. Keajaiban adalah sesuatu yang sederhana. Ia membuatku melupakan warna lainnya. Gadis muda dalam benakku memiliki warna yang sama. Ia begitu sederhana. Bagai seorang bayi yang baru belajar berjalan, ia terjauh sejenak lalu bangkit untuk mengepakkan sayap. Aku begitu mengaguminya. Entah mengapa dia begitu sederhana. Aku tidak tahu mengapa. Namun adalah hal yang pasti mengapa. Karena aku sedang dimabuk cinta.

Cinta itu sederhana. Ia datang di saat engkau membutuhkannya. Keajaiban kecilku begitu sederhana. Ia berdiam di sana hingga masa aku datang menjemputnya. Keajaiban itu sederhana. Ia berdiam dibalik awan, diatas langit ketujuh. Ternyata kawan, aku mengenal cinta. Ajaibnya kawan, aku mulai mengerti siapa cinta.

Minggu, 24 Juli 2016

Cinta Sebatas Jalan

Seringkali aku berpikir bahwa aku adalah seorang munafik. Bukan hal mudah untuk mengakuinya namun itulah kenyataannya. Aku adalah seorang pecinta. Untuk kalangan anak muda berusia hampir 20 tahun, aku merasa paling tua diantara lainnya. Indra dapat kujabarkan sebagai seorang pemimpi. Ia begitu banyak bermimpi, meskipun semuanya hanyya mengenai cinta atau uang. Bagi seorang tua di dalam tubuh muda, kupikir Indra yang kukenal adalah yang paling membangkang.

Cinta adalah mimpi terindah yang pernah manusia miliki. Entah itu baik atau buruk, semuanya indah. Kau tahu kawan, Indra sedang jatuh cinta. Ada seorang wanita yang membuat hatinya mati rasa. Baginya, menurutku, sangat didambakan. Dapat kukatakan bahwa wanita itu adalah mimpinya. Terkadang cinta itu menutup mata, meskipun karena naluri mudanya, sang mata akan sedikit melirik dari kejauhan. Indra pernah berkata kepadaku, "Jika engkau pernah minum anggur, maka cintalah yang memabukkannya". Sebuah kata yang sulit kucerna memang, tapi kawanku, bukankah cinta itu membuat siapapun yang merasakannya lupa pada dunia? Kupikir pula, cinta adalah sahabat terbaik manusia. Hidup penuh cinta, ya, bahkan mimpiku sendiri.

Seorang muda berparas malaikat membuat hati siapapun terbelalak, dibuai dalam imajinasi yang membawa jiwa remaja ke langit ketujuh dekat awan surgawi. Sangat aneh, dan membuat kawanku itu lupa diri. Indra muda memang terkenal karena kegilaannya. Ia bisa saja kusebut manusia paling aneh di kerak bumi, karena ia tidak tahu diri dalam mencintai apa dan siapa yang dicintainya. Gadis yang membuat dirinya lupa diri memang sangat cantik jika dilihat dengan mata tertutup. Hal yang membuatku bingung kawan, Indra sudah bulat untuk meninggalkannya. Ada aku bertanya, "Mengapa engkau nekat?". Jawabannya membuatku terkejut. Rasanya bagai deru angin malam di balik kerimbunan cemara. Jawaban itu membuatku merinding hingga rasanya aku akan mati mendadak. Dalam hening yang dalam Indra menjawab, "Dua insan tidak bahagia saat mereka saling mencintai. Mereka akan tahu apa itu kasih, hanya ketika mereka berhenti saling menyakiti". Ingin rasanya kutampar anak itu karena ia berhenti bermimpi.


Mimpi memanglah sesuatu yang indah jika bisa engaku bawa ke dunia nyata. Di pelupuk mata, kadang mimpi dan realita tercampur aduk menjadi nyata. Namun kau sudah tahu jawaban akan semua kekacauan ini. Seorang akan menarik rem ketika dia hampir menabrak. Kupikir Indra, sahabat karibku itu ingin menarik rem untuk berhenti sebelum ia terjungkal dan tidak mampu bangkit lagi. Aku tahu sekali bahwa ia berhenti, menyerahkan segalanya pada Sang Pencipta Cinta. Semua terlihat remang dan tidak mudah. Namun kupikir inilah saatnya. Lebih baik engkau memberikan realita kepada seorang gadis daripada kesempatan bermimpi. Mimpi itu sendiri adalah pedang bermata dua. Jika engkau salah memainkannya, kau akan membunuh 2 orang termasuk dirimu sendiri.

Diriku yang bernama Indra memanglah buah kehidupan. Tidak perlu muluk-muluk kawan. Aku berkata kepada sahabat dekatku itu, "Jika laki-laki dihargai karena ucapannya, maka adalah baik baginya untuk membiarkan waktu sebagai juru bicaranya". Indra tidak berhenti bermimpi, ia hanya berhenti menyakiti cintanya. Ya, berhenti menyakiti dirinya sendiri dan gadis yang mungkin, masih ia cintai.

Rabu, 29 Juni 2016

Southern Fist : Nan Quan ( 南拳 )

Nan Quan ( 南拳 ) refers to those Chinese martial arts that originated south of the Yangtze River of China. Popular Nan Quan schools, such as Hung Ga, Wing Chun, and Choi Lei Fut have spread around the globe. These schools are known mainly from movies like Ip Man. These schools are referred as traditional Nán Pài (Southern School). Contemporary wushu Nan Quan is a bit different. As a Nan Quan practitioner, I want to share a bit about my views regarding to this style of Wushu.

History

The contemporary Wushu Nan Quan event is a modern style created in 1960 derived from martial arts derived in the Chinese provinces south of the Yangtze River and predominantly those styles popular in Guang Dong, Guang Xi, Fu Jian and Zhe Jiang. The basis of contemporary Nán Quán hail primarily from traditional Cantonese family styles of Hung, Choi, Lei, Law, and Mok family. Looking at first sight, you will recognized that the main basis is actually Hung Ga. 

Contemporary Wushu Nan Quan 

Contemporary Wushu Nan Quan features vigorous, athletic movements with very stable, low stances, extensive hand techniques and a vocal articulation called Fa Sheng ("release shout") which is believed that the shout will represents the spirit and power of the practitioner. Power is driven from sharp waist movement with special emphasis on fast stance transition to generate power and speed in the arms. Signature hand techniques of Nan Quan are the consecutive downward strikes of the left and right fist called Gua Gai Quan ( 挂盖拳), and consecutive upper cut while driving forward called Pao Quan ( 抛拳 ). There are relatively few kicks in Nanquan although the Tengkong Pantui Cepu ( 腾空盘腿度侧扑; "flying cross legs kick and land on the side") and Li Yu Da Ting (鲤鱼打挺直立; carp skip-up) are very common in advanced Nan Quan routines.

In 2003, the International Wushu Federation (IWUF) changed the rules of contemporary Nan Quan to make jumping techniques (难度) mandatory in Nan Quan routines. Jump kicks spinning in mid-air between 360 and 720 degrees before touching the ground are now used in all Nan Quan forms along with Stationary Back Flip (原地后空翻) and Single Step Back Tuck (单跳后空翻) for advanced competitors.

Compulsory Wushu Nan Quan takes its movements mainly from Hung Ga and Choi Li Fut. The beginner routine form features "Gong Zi Fu Hu Quan" ( Taming The Tiger Fist ) of Hung Ga. The intermediate routine form features movements taken from "Hu He Shuang Xing Quan" ( Tiger Crane Paired Form ) of Hung Ga with additional kicks taken from Mok Ga. The advance routine form is dominantly taken by Choi Li Fut as it features high kicks which was usually seen in Chang Quan. The advance form is really unique because it trains kicking more than the first two forms. Sometimes the advanced-level practitioner will add movements taken from Wu Zu Quan (5 Ancestors) and Nan Long Quan (Southern Dragon Fist).



Nan Quan also has its own contemporary weapons - the Southern Broadsword (Nan Dao; 南刀) and Southern Staff (Nan Gun; 南棍), which were included in the International Wushu competition in 1999. Nan Dao is a modern-shaped Broadsword which taken its design from Wing Chun's Butterfly Sword. It is used by using two hands for generating more power, but almost of the movements in the routine features one handed usage for speed and comfy. The usage of Nan Dao resembles the movements of Wing Chun practitioner with strong hands of Hung Ga, therefore, unique in many circumstances. Nan Gun is the southern way of using a staff. The differences from Gun Shu routine of Chang Quan is the placement of hand when using the staff. Gun Shu practitioner hold the staff using right hand, whereas Nan Gun will use the opposite; right hand.






Jumat, 24 Juni 2016

Di Dalam Cermin

Kalau hidup memang menyenangkan, menurut kalian apa buktinya? Aku berkata kepada diri kecilku, "Saat kau masih bernapas, saat itu pula hidupmu masih menyenangkan, kawan". Masa mudaku yang kulalui dengan banyak cerita tentu membuat siapapun tidak percaya. Di balik cermin yang terdapat di sudut kamar, hati kecilku ibarat terkumpul di sana. Kisah duniawi memang terdapat di kolong langit, tapi kehidupan sejati berada di balik awan.

Langit seakan-akan mengejek keberadaanku. 15 tahun lalu, langit terlihat begitu luas. 5 tahun pertama kehidupanku terasa cepat berlalu. Segar di pelupuk mata bahwa angin berhembus kencang diantara ilalang, dan Indra kecil menangis karena terjatuh dari sepeda. Aku senang kehidupanku. Indra masih berumur 5 tahun di zaman dimana engkau dapat menemukan kebun tebu di kompleks perumahan. Masa dimana bintang bertebaran di langit bak kembang api abadi. Hidupku memang berwarna pelangi. Ya kawanku, kehidupanmu, kehidupanku, semuanya berwarna. sangat berwarna hingga kau tidak dapat meliha perbedaan diantara warna itu. Semua warna itu menyatu menyusun pelangi berkilau diantara sinar mentari saat hujan reda.

Roti Pertamaku
Cermin lebih kusukai dibanding foto. Jika foto menangkap suatu momen yang menurutmu membahagiakan, maka cermin akan menunjukkan buah daari segala yang engkau lakukan semasa hidup. Ada hal yang selalu kukatakan setiap aku bercermin. "Halo Indra, apa kabarmu?", itulah yang patut kukatakan saat aku menyambut diriku dan masa laluku di masa sekarang. Aku jatuh cinta terhadap cermin. Ia membuatku sadar bahwa meskipun langit diatas kepalaku mungkin terlihat berbeda, langit tetaplah langit. Ya kawan, langit itu masih sama dengan langit yang dahulu tersenyum dan membesarkan diriku dalam pelukan kasih. Aku dibesarkan Tuhan dengan penuh keajaiban. Kawanku yang budiman, apakah langitmu redup bagimu? Apakah mereka mendung saat ini? Kawanku, percayalah kalau diatas langit masih ada langit. Bahkan ada masanya dimana langit akan memberikanmu kado istimewa. Tahukah engkau sahabat karibku, bahwa langit yang kau pandang memberimu mimpi. Sadarkah engkau jika bumi yang kaupijak ini saksi langkah napasmu? 

Percayakah engkau dengan cermin kawan? Apakah engkau tahu kalau cermin tidak bisa berbohong di dunia nyata? Aku bercermin sekali lagi dan kulihat Indra di sana. Apakah engkau sehat di sana? Akan jadi apa engkau nanti? Penuh pertanyaan namun hanya satu jawaban. Indra tetaplah Indra, Aku adalah Aku. Jika aku adalah Indra, maka nyata sudah bahwa aku masih hidup dan terus melangkah. Jalan mungkin gelap gulita, namun kupikir, menyadari bahwa diriku nyata sudah cukup bagiku. Indra adalah aku, seorang anak langit yang dibesarkan bumi. Kemana aku melangkah tidaklah penting. Tujuan selalu buram, begitu tidak nyata dan nyata secara bersamaan. Hidup memang penuh misteri. Namun percayalah kawan, kalau setiap hari yang kau lalui adalah mimpi yang menjadi nyata.

Jumat, 10 Juni 2016

Cinta Batu Safir

Mimpi, sebuah benda tidak terlihat, namun dapat engkau percayai. Hidup memang indah kawan, tergantung dari sisi mana engkau menyanjungnya. Aku senang bermimpi, dan mimpilah yang membentuk diriku menjadi jiwa muda yang penuh kegilaan. Seorang gadis muda pernah mengejekku, "Hanya orang gila yang mencintai diriku ini". Gadis batu Safir, begitu aku menyebutnya. 

Adakalanya seorang gadis terlihat cantik bila ia berada di balik tirai. Aku mengalami mimpi buruk. Aku tidak pernah melihat gadis ini secara nyata. Ia begitu samar dalam balutan kain berwarna langit. Aku jatuh cinta seketika padanya. Ia begitu biru, sehingga ia tertelan diantara awan yang berarak di atas kepalaku. Kadang cinta memanglah sesuatu yang menunggu untuk ditemukan. Di balik awan muungkin? Aku kurang mengerti, tapi jelasnya, di kolong langit aku menemukan seorang gadis berbalut biru. Ia begitu biru sehingga batu safir adalah sebutan yang baik gadis muda itu.

Rambutnya bergejolak bagai gelombang di Pantai Selatan namun matanya yang cokelat itu melirik malu. Namun ia begitu biru, sangat biru bahwa ketika hujan menderu, engkau dapat merasakan kesedihan langit di angkasa luas. Ia terlihat begitu sendiri dan terkunci, namun inilah diriku yang melihatnya dari balik kaca hanya melihat senyum kecil itu berada di samping pipi mungilnya. Gadis Batu Safir memang pribadi yang menarik. Segala sesuatu tampak cerah disisinya, namun semuanya redup ketika merasuk ke dalam kalbu. Aku selalu ingin memiliki sepasang sayap. Aku ingin terbang dalam kebiruannya di balik angkasa.

Aku sedang jatuh cinta, dan mungkin memang jatuh cinta. Segalanya tampak biru dan baik. Gadis Batu Safir menghampiriku. Ia mengelus pipiku dengan tangan selembut awan namun sedingin salju. Ia tersenyum, lalu menghilang di dalam tiupan angin. Mungkin segalanya tampak seperti mimpi. Namun kawan, bahkan kau dapat menemukan kenyataan dalam ilusi. Gadis Batu Safir mungkin tampak rancu di hadapan kalian. Ia nyata, dan aku memberitahu engkau bahwa langit adalah saksi bisu akan keberadaannya.

Buku Sejarah dan Dongeng Politik

Hidup memang berwarna, seperti yang sempat kuberitahukan kawan; Indra membenci politik. Terkadang awan bergerak dengan riang bagai anak kecil yang berlarian di pematang sawah. Aku melihat dunia ini begitu dinamis. Mereka berputar dan mengembara sampai tersesat dan tidak tahu harus kemana. Zamrud Khatulistiwa, begitu sekitar menyebutnya. Aku hidup di atas tanah hijau yang subur karena jutaan darah yang tertumpah. Ah! Sangat menyebalkan. Jika manusia dapat hidup di atas penderitaan, maka aku merupakan salah satunya.

John F. Kennedy sempat berkata, " Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya". Aku benci untuk mengakui kebenaran tersebut. Media massa sesungguhnya merupakan pekerjaan yang kotor. Dibalik ketenaran yang kita lihat di balik layar persegi panjang, banyak drama dan perang yang dipoles menjadi sebuah kisah. Aku berkaca, aku ini siapa. Aku hanyalah anak lelaki biasa. Berumur 19 tahun, mahasiswa teknik pula. Apalah dayaku yang hanya bisa menulis tanpa arah mengenai rancunya kehidupan yang kujalani. Apa menurutmu tulisan tangan dapat mengubah dunia di zaman sekarang? Untuk sesaat, jantungku berhenti berdetak.

Bumi berputar demikian cepatnya. Demikian cepatnya hingga aku melewatkan sejarah yang kini banyak dilupakan. Bagi mereka yang tidak pernah melihat sejarah, aku hanya dapat bersedih menyaksikan. Aku hidup diselimuti kebohongan. Ya, politik ini sudah mendarah daging dalam masyarakat sehingga segala sesuatunya disembunyikan. G.K. Chesterton menulis dalam dongengnya bahwa, "Jika seseorang memimpin dengan misteri, maka misteri tersebut adalah sebuah kedurjanaan". Aku hanya merenung. Misteri adalah sesuatu yang sangat tidak pasti dan akan menyebabkan spekulasi. Ia begitu dalam dan rentan sehingga disebut-sebut sebagai penipu ulung. Aku menatap diriku kembali dan aku menuntut kesejatian diri.

Buku sejarah telah mengalami banyak pengubahan yang dalam kesenyapannya membius dan meracuni Indra kecil. Aku membaca begitu banyak sehingga aku lelah untuk memutuskan siapa penerbit sejarah. Sejarah yang diceritakan oleh buku seringkali mengandung metafora yang beracun sehingga siapapun yang membacanya akan sakit dan lemas. Aku kembali ke perpustakaan yang sama pagi ini, dan aku melihat sebongkah kebohongan di depan mataku. Buku sejarah bangsaku dari masa Orde Baru. Entah mengapa, aku menjadi mual. Aku ingin muntah. Ya kawan, memuntahkan segala kesesakan di dadaku, karena racun kebenaran merupakan morfin yang sempurna untuk membuatku berspekulasi. Aku muak melihat semua buku sejarah itu. Namun, Indra hanyalah Indra. Aku mengambil buku itu dan membacanya.

Seperti yang kalian sudah tahu. Aku membenci politik, sehingga dengan kesederhanaanku, aku menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang licik. Jika politik dibuat untuk menampung aspirasi masyarakat, maka akan sangat menyedihkan apabila kalian melihat kenyataan dihadapanku. Di balik layar persegi panjang itu, kulihat malah politik yang menghancurkan. Aku menyaksikan sekumpulan orang yang mengaku berpendidikan saling beradu lidah tajam bagai anak yang tak makan bangku sekolah. Kulihat mereka yang saling mengejek, saling menjatuhkan kredibilitas dan harga diri. Aku muak dengan sekumpulan orang itu. Aku muak dengan mereka yang mengatasnamakan rakyat kecil demi mendapatkan simpatik dan bangku ratusan juta. Aku benci melihat mereka mengatakan harga diri ketika mereka sudah lama menginjak harga kemanusiaan. Ibuku sering berkata, "Urusi saja kehidupanmu, dan biarkan orang-orang dungu berkata semau lidah".

Jika politik membuatmu mual kawan, ketahuilah bahwa sejarah adalah racun utamanya. Aku hanyalah Indra, seorang mahasiswa teknik berusia 19 tahun. Aku hanya dapat menyaksikan dunia bergerak, tanpa tahu kapan ia berhenti sejenak.

"Karena aku lelaki terhormat dan makelar kopi." - Droogstoppel

Selasa, 31 Mei 2016

Ironi Palu Arit : Pemberontakan Nurani

Belakangan ini Jogja cukup sering gerimis. Bangun pagi sudah gerimis. Keluar makan siang juga gerimis. Pulang kuliah, masih gerimis. Entah kenapa langit mengerti bahwa hatikupun dirundung gerimis. Kurang ajar sekali alam, dia mengerti anaknya lebih baik dari siapapun. Namun disitulah rumah. Tempat dimana engkau dapat menangis sambil menertawakan kehidupan.

Genangan air dan lumpur terlihat saat aku berjalan melewati kampus. Cukup dalam dan kelam bagai coklat Snickers. Terkadang akan ada masa dimana engkau merasa bahwa waktu berhenti, dan kelopak bunga berwarna kuning akan mengambang bagai mentari. Berkawan dengan alam mungkin sesuatu yang tidak diminati sebagian orang. Aku dapat berkata bahwa aku hanyalah anak singkong di kerak bumi. Yah, untuk seorang pemimpi, mungkin aku yang teraneh.

Mimpi terindah bagiku adalah saat terbangun dan jutaan bintang bersinar terang di pelupuk mata. Beralaskan rumput ilalang, diselimuti awan, dan diterangi rembulan. Dapat kukatakan dengan jelas memang, kalau aku ini orang gila. Aku menulis kisah ini dalam keadaan gerimis. Kau bahkan bisa mendengar riaknya bergemuruh bagai ombak laut selatan. Hidup ini memang aneh.

Terlahir dengan mata yang berbeda dari anak kebanyakan mungkin membuat diriku dijauhi anak seusia. Aku memandang segala sesuatu dengan konsep kefanaan yang aneh. Aku jatuh cinta terhadap Indonesia. Ya, aku jatuh cinta dengan cara membencinya. Sebagai golongan minoritas, aku menaruh perhatian lebih terhadap mayoritas. Dapat kulihat bahwa anarki yang mereka sebut demokrasi bergelora bagai lidah api yang siap mengoyak langit. Memandang kebelakang, aku menyadari bahwa aku berdiri diantara genangan darah. Terdapat dua ironi dan kisah yang terdapat di air berwarna kirmizi. Dimana yang satu menceritakan kegagahan pejuang kemerdekaan, dan sisanya menceritakan kaum yang dibantai dengan hina terkeji yang membuatku ingin muntah.

Ada 2 hal yang kupelajari dari buku sejarah dan PPKN bahwa negara itu muncul dari seorang diktator. Diktator ini awalnya didukung secara bulat oleh kawanannya sebelum akhirnya dijatuhkan oleh rezim yang disebut militer. Coup d'etat, sebuah falsafah dari negeri Eiffel dimana sebuah rezim digulingkan dengan modal pangkat dan peluru. Hal yang menjadi lucu adaalah ketika rezim militer mulai tidak disukai rakyat dan pada akhirnya digulingkan untuk satu kata yang disebut demokrasi. Kau tahu kawan? Demokrasi adalah manusiawi namun merupakan mimpi yang tidak pasti. Bayangkan ketika semua rakyat yang bersatu kin terpecah menjadi beberapa kelompok. Bagai kawanan liar, mereka akan mengoyak dan mencabik kelompok lainnya. Inilah hakikat dari demokrasi, dimana yang terjadi bukanlah kedamaian namun peperangan ideologi. Berbekal kata "bebas berpendapat", kau akan menemukan serigala diantara kawanan domba. Berbekal kata "hak asasi" maka akan ada kaum yang mejadi superior karena supremasinya dalam kelompok tersebut.

Mama mengajariku bahwa pedang tertajam di muka bumi adalah lidah. Sebuah benda tak bertulang ini awalnya diciptakan Tuhan untuk menyatakan kasih dan cinta sebelum mereka memberontak dan menjadi pedang karena buah pengetahuan. Kau tahu kenapa aku tidak menyukai pertandingan bola? Karena itu mengingatkanku pada tragedi berdarah yang terjadi setiap pemberontakan di negeri indah kita. Budaya anarki, main hakim sendiri seperti sudah menjadi akar yang menyangga kehidupan beberapa lapisan masyarakat. Pernahkan engkau mengingat kawan? Partai Komunis Indonesia yang dibantai atas dasar pemberontakan lalu dibunuh secara keji pada tahun-tahun terakhir Rezim Nasakom? Nasionalis, Agama, Komunis. Aku ingin bertanya pada guruku di sekolah. Apakah halal hukumnya bagi manusia untuk saling membunuh atas dasar kata "memberontak"? Kalau iya jawabnya, maka aku menanyakan keberadaan Tuhan. Namun di satu sisi, bila iya menjawab tidak, aku akan bertanya kenapa aku hidup dengan akal dan budi pekerti.

Komunisme dan Sosialisme adalah dua paham yang kini hilang dari bumi pertiwi. Namun aku tertawa bahwa sistem ekonomi Kerakyatan yang dianut bumi pertiwi adalah penggabungan Kapitalisme Kanan dan Komunisme Kiri. Indonesia, apakah engkau sadar akan ke-egoisanmu? Berpegang teguhlah pada pendirianmu yang menyatakan bahwa engkau terbaik diantara yang lain. Aku tidak pernah mau peduli. Namun ingatlah ibunda pertiwi, bahwa engkau lahir dari 2 darah. Darah mereka yang mempertahankan negaramu dengan kebanggaan di dada, dan darah mereka yang menjerit diatas penistaan hina yang ditimpakan kepada mereka yang tidak bersalah. 

Politik adalah sesuatu yang memang tidak pernah kusukai, namun bacaan paling menarik di muka bumi. Aku memandang Indonesia sebagai bumi pertiwi yang tiada duanya. Kampung halamanku tercinta. Namun dibalik senyuman, aku menjerit dalam hati. Aku sadar bahwa bendera palu arit sudah menjadi ancaman di bumi yang saat ini kupijak. Namun, apakah salahnya bagiku untuk mengakui bahwa mereka yang mati adalah sesamaku manusia?

Jumat, 20 Mei 2016

Tiong Hoa : Pohon Sang Raja

Hidup memang indah meskipun engkau tidak tahu kemana waktu mengajak. Masa kecil telah kami lewati dengan senda gurau diantara rawa-rawa dan kerimbunan pohon ara. Andaikata rembulan diam di tempat, sudah pasti kami tidak pernah beranjak. Di usia yang sangat labil, dimana kami terlalu besar untuk menangis namun terlalu kecil untuk mengenyam cinta dan memetik buah mimpi. Terkadang desiran angin menghampiri diantara semak kecil di kalbu hati.

Kami berlima dibesarkan oleh naungan masa lalu yang hampir tidak diceritakan orang tua. Ketika seorang kecil bermain ria diantara pohon cempaka, kami dihadapkan pada sebuah kekalutan yang tidak terbendung oleh mata. Diantara kerimbunan pepohonan, kupikir kami adalah putra dari bunda alam; buah kehidupan. Jikalau engkau menyangkal bahwa dirimu tidak dirawat pertiwi, kupikir bahwa bahkan dirimu hanyalah ilusi di dunia ini. Ada masanya ketika sesuatu yang tidak nyata akan mengajarkan dirimu tentang kenyataan. Duduk di atas ayunan sembari melihat matahari menghilang di balik rerumputan ilalang memberikan kami pelajaran bagai mimpi. Kami berlima terpana. Hampir 12 tahun sudah masa itu, namun masih segar di pelupuk mata.

Saat ketika engkau masih melihat mobil bemo, itulah masa dimana kami masih bermain diantara semak rerumputan ilalang. Suatu masa, di sore yang berembun basah, kami berkumpul seperti biasa. "Titik balik matahari, dibalik awan", sebuah kode gila yang kami ucapkan bila ingin bergumul. Ya, kawanku, seperti namanya, kode itu merujuk pada sore hari dimana langit siap kembali gemerlap dengan rembulan mulai muncul diantara riak air dalam telaga.

"Kau membawa apa?", tanya Hong. "Kalau engkau membawa jajanan, apa ada manisan semboi merah?"

"Ya ampun, bahkan matahari belum melintasi ilalang dan kau sudah lapar lagi?", Lin bergumam. "Nih, aku mencuri 1 sarang dari walet papa."

"Hei, tahan dulu makananmu. Kita datang hari ini bukan untuk itu", balas Ma.

"Ayolah kawan, jangan kau kotori tempat ini. Dia akan sedih jika tempat ini tidak kembali seperti sedia kala.", kataku mengulang hampa.

"Tempatnya sudah dekat. Ya, dibalik pohon tumbang itu", jawab Tan. "Kita sudah sampai di tempat Wang meninggal."

Wang, sebuah kata dalam bahasa Mandarin yang berarti raja. Ya, dia adalah raja pada cerita kami. Dibalik pohon ini, tahun lalu, kami bertemu seorang pemuda yang dengan riangnya memanjat pohon setinggi 5 meter itu. Wang, dialah pemimpin grup ini. Seorang anak muda penuh gairah atau bisa kubilang libido? Setahun yang lalu, ditempat ini, diantara ilalang, dan pantulan rembulan. Raja kami akhirnya bisa pulang dan menemui kedua orang tuanya di surga. Siapa sangka, bahwa kami, 5 ksatria yang dianggap pelindungnya bahkan tidak dapat menyelamatkan nyawanya.

Wang tidak pernah melihat kedua orang tuanya. Mereka hilang ketika kerusuhan tahun 1998 terjadi di Medan. Ia dibawa ke Jakarta untuk tinggal dengan keluarga pamannya. Sang Raja, setelah menaklukkan benteng lawannya, jatuh tersungkur, tanpa kami sadari bahwa ada sebilah pisau menembus dadanya. Sang Raja mati dengan hormat, meninggalkan istana kosong dan setumpuk emas berlian tanpa membuat prajuritnya terluka, atau bahkan, menitikkan air mata. Terdengar puitis, namun kukira hal itu pantas disebut kebohongan yang dipakai orangtua untuk menghibur para ksatria muda. Wang memang sudah tiada, tapi sebuah kisah baru saja bermula, baik itu prolog maupun akhirnya. Ia memberi kami kuas dan kertas. Lalu apa yang akan kami lukis? Ya, Wang mengajarkan kami untuk melukis hal yang paling berharga untuk kami saat ini. Mimpi.

Minggu, 15 Mei 2016

Seribu Warna Pelangi

Hal yang paling kusukai dalam hidup ini adalah bermimpi. Ya, ada masa dimana kau akan berlari mengejar asa yang kau sebut mimpi. Orang akan berkata bahwa hidup adalah kenyataan. Namun bagiku, hidup ini adalah mimpi. Ya, sebuah mimpi dimana engkau terjebak di dalamnya dan tak akan pernah kembali. 

Jikalau dirimu bertanya, apa yang terjadi? Aku akan menyebut itu mimpi. Hidup memang singkat dan tidak banyak berulang. Dua buah kelereng berwarna cokelat menggeliat diantara pelupuk mata dan melihat diantara relung kehidupan jikalau aku masih bernapas. Aku sedang patah hati, kawanku yang baik. Jika kubalik kembali naskah cerita yang sudah terjadi, aku selalu berjalan meningggalkan mereka yang kukasihi. Semua orang berjalan, dan aku adalah satu dari sebagian kecil dari kehidupan. Hidup memang sulit diterjemahkan layaknya sekumpulan cerita yang ditulis oleh William. 

Jikalau aku memandang ke sudut jendela, kupikir hanya ada seorang gadis yang ada disana. Namun kau tahu, kawan? Saat aku hendak menemuinya, ia telah berlalu dan menghilang diantara kesyahduan angin. Ya, mereka berjalan, semua orang memang berjalan. Hanya ada 3 pilihan, untuk ditinggalkan, meninggalkan, atau mengejar tanpa arah. Hidup memang memiliki keajaiban, mungkin itu yang akan engkau katakan untuk menghibur hati yang gundah. Ya, mungkin disaat dirimu yang bergejolak melihat paras muda yang memang engkau dambakan terlihat begitu dekat.

Matahari memang bersinar di atas relung langit, namun tahukah engkau jika ia dapat bersinar di dalam hati? Aku menemukan matahari dalam hidupku, namun sayang, ia bersinar begitu terang dimana kantung pelangi yang ada bersamaku tak kuasa menangkapnya. Di saat orang lain begitu giat mendapatkan kasih seorang gadis, yang dapat aku lakukan hanyalah memandang matahari itu dari kejauhan. Begitu cerah dan benderang sehingga aku dapat berbisik tanpa kesadaran.

"Tunggu aku, disaat aku kembali dengan kantung yang lebih layak."

Hidup memang penuh dengan kekonyolan kawan, dan aku bertaruh bahwa engkau harus menikmatinya. Jikalau ketujuh warna dari pelangi tidak dapat memuaskan birahimu akan keagungan Tuhan, maka kau harus membuat seribu warna dari tujuh yang ada. Kupikir apabila aku dapat bersenda gurau dengan Tuhan, maka Ia akan menegurku dengan keras bahwa aku seharusnya tidak bermain dengan ketujuh warna yang Ia buat sebagai perjanjian kekal di atas alam semesta. Namun Ia akan mengusap kepalaku dan dengan tawa yang lebar menasihatiku untuk bertangggung jawab atas seribu warna pelangi yang aku buat sedemikian rupa sebagai hadiahku kepada-Nya.

Seribu warna pelangi mungkin tidak cukup untuk mewarnai kehidupan ini. Namun, ia sudah cukup untuk membuatku bahagia menggunakannya sebagai alasan mewarnai mimpi. Hujan mungkin sedang turun di dalam hati kecil ini. Namun kawanku yang baik, apakah menurutmu jikalau matahari yang kuinginkan ini akan bersinar kembali dan memancarkan seribu warna pelangi? Hati seorang muda memanglah banyak berawan. Tidakkah ia ingat bahwa dibalik awan pasti ada matahari yang menunggu untuk bersinar? Jikalau demikian adanya, apa guna gundah sang awan? Ia hanya perlu mengurai air mata dan menghilang dibalik seribu warna sinar yang memancar. 

Buku cerita mengatakan bahwa pelangi terdiri dari 3 warna. Buku sekolah menyatakan bahwa pelangi memiliki 7 warna. Tapi hanya di kantung yang kumiliki, engkau akan tahu, bahwa pelangi memiliki seribu warna.

Minggu, 27 Maret 2016

Tiong Hoa : Hujan Pertama dan Benih Cinta

Bagi seorang pemuda berusia 15 tahun, amatlah senang saat kita memakai seragam putih kelabu. Hiruk-pikuk sekitar yang mulai menggerus tradisi kami alami sebagai pemuda Tionghoa. Di umur kami yang masih biji, kami dikelilingi kemurtadan tradisi. Diantara kami banyak yang mulai melupakan kegiatan berbau Tionghoa. Tahun 2011, kau akan mendapatkan sangat jarang remaja keturunan yang sembahyang ke klenteng dan membakar hio. Masyarakat Peranakan yang masih memegang kuat tradisi mulai kehilangan wajah di khalayak ramai. Kami disebut orang murtad oleh orang-orang Tionghoa yang menganut agama Monotheisme dari belahan bumi di bagian barat. Aku sebenarnya hanya bisa tertawa, memang konyol kawan. Harus kuakui bahwa banyak diantara kami yang berakhir menyembunyikan ke-Tionghoa-an kami agar dapat diterima di masyarakat luas. Kami mulai kehilangan jati diri kami. Namun hidup memang tidak ada yang tahu garis akhirnya. Di mata pemuda berumur 15 tahun, kami hanya tahu garis awal untuk langkah baru kehidupan.

Lin, Ma, Tan, Hong, dan aku menempuh pendidikan kami di sekolah yang 95% diisi oleh orang keturunan. Kalau kulihat buku sekolahku, tertera sebuah nama; Indra. Satu hal yang meyakinkan diriku bahwa aku orang Indonesia dan anak dari perut pertiwi khatulistiwa. Musim asmara memang menjalar dari banyak sisi pergaulan kami di Sin Hua Xue Xiao (SMA Bunga Bangsa). Kami berlima dikenal sebagai berandal yang selalu membuat onar karena kegilaan, pemberontakan, dan jiwa demonstran. Lin adalah orang terkaya di sekolah karena papanya merupakan seorang tauke Yen Wo (Sarang Walet). Ma merupakan seorang yang religius dan bersahabat dengan alam karena dibesarkan ajaran Buddha. Banyak wanita menangis dibuat Hong karena dukungan wajah tampan, tubuh atletis, dan gudang Ren Sheng (Ginseng) milik papanya. Tan adalah anak jenius yang lahir dari keluarga Sin She (tabib) dan keluarganya dikenal sebagai ahli akupuntur dan ramuan herbal. Sedangkan aku, yang sudah kubilang dikenal sebagai pemberontak berlidah tajam dan senang beradu tinju.

"Kapan kau akan mengajak kencan si Yanti itu, Hong?", Lin memulai. "Kau sudah sering menolak gadis rupawan demi anak pribumi itu. Kalau kau memang cinta, kenapa kau tidak berani?"

"Lin, jangan keras begitu. Kita semua tahu bahwa jika kau ingin berkencan dengan gadis itu, kau harus siap dihadapkan pada bapaknya," ujar Ma.

"Aku bukan takut menghadap bapaknya. Tapi.....", Hong mulai gusar. "Kudengar, kau harus disunat jika ingin bersama seorang muslim."

"Ya ampun Hong! Kau ini umur berapa? Sama ahli kungfu lain kau berani, masa sama pisau sunat kau takut?", Tan mulai tertawa.

"Jangan itu dulu yang kau pusingkan. Sebaiknya kau bersiap untuk menjual dirimu demi wanita itu", tanyaku hampa. "Hong, kau tau sendiri. Kau akan menjual dirimu sebagai seorang Tionghoa jika memilih gadis itu."

"Kubilang padamu, Luo. Aku akan menjadi kekasihnya tanpa menjual diriku," balas Hong. "Akan kubuktikan pada semesta bahwa cinta itu benar buta dan gila."

Ya, sudah kubilang dari awal, kami memang gila. Sebagai sahabat Hong tentu kami berusaha mendukungnya. Kami semua tahu, bahwa cinta itu hanya bisa dilihat dari tindakan. Kau tahu kawan, demikian pula dengan kami berlima, kami sedang jatuh cinta. Musim asmara biasanya ditandai dengan hujan pertama. Kau tahu, malam berbintang dengan awan berarak melewati bulan purnama. Ini malam Imlek, dimana bulan bersinar jingga menghadap mata.

Masa muda memanglah hidup diantara kami. Diantara kejanggalan mimpi ilusi dan kenyataan mimpi, aku terbelalak. Seorang gadis berkulit gelap hadir di klenteng malam itu. Dari awal aku melihatnya, aku dapat menebak dengan jelas. Peranakan. Ya, gadis berkulit sawo itu hadir membawa kertas sembahyang dan pendupaan. Aku lebih kaget lagi, Hong menggandeng tangan gadis itu.

"Yanti? Untuk apa kau datang kemari?", tanyaku.

"Eh? Aku tidak boleh pergi sama pacarku ya?" Yanti tersipu. "Hong! Kau janji akan memberitahu mereka! Buktikan kejantananmu!"

"Kami memutuskan untuk menjadi kekasih. Aku akan mengajari dirinya seluk beluk kehidupan orang keturunan," jawab Hong pasti.

Lin, Ma, Tan, dan aku yang sedang duduk menyantap bakpao tertawa.

"Kau memang gila Hong, tidak salah kau menjadi kakak pertama ya?", Lin tertawa.

"Kau tunggu apa lagi Yanti, duduklah. Meja ini kosong. Nih, kuambilkan bakpao kacang tanah buatmu", aku tertawa.

"Sekarang kita bisa memanggilmu Mbak Hong?", gurau Tan.

"Hei Hong! Kau berhutang pajak jadian sama kami!", Ma tertawa.

"Hah! Kok harus aku?", Hong bercanda. "Kau yang bayar Yanti."

"Kau kan lelaki di sini! Bayar lah!", ketus Yanti.

Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Satu diantara mimpi Hong mulai terjawab. Doanya yang sama kepada para Kong Co terkabul. Dia bahagia ada Yanti disisinya. Setidaknya untuk malam itu. Cinta memang membuat apapun menjadi tertlihat gila. Hong dan Yanti masih merahasiakan alasan mereka bersama. Setidaknya, semua akan dijawab. Cepat atau lambat. Mereka bisa menyimpan rahasia, namun burung kecil dapat bercerita.

Sabtu, 26 Maret 2016

Tiong Hoa : Musim Asmara

Tidak perlu engkau tanyakan lagi kawan, aku Tiong Hoa. Lahir diantara hiruk-pikuk Indonesia pada tahun 1996 di kota Dewi Kili, Kediri. Aku memiliki sejarah keluarga yang cukup unik. Ya, sangat unik bahkan membuat diriku bahkan tercengang saat mengetahui siapa aku dan darah yang mengalir dalam sanubari berumur 20 tahun. 
Luo Zhi Xiang
- Maret 2016-

Sang ayah merupakan pemuda bermarga Luo yang berasal dari kota Medan. Papa merupakan seorang Tionghoa yang lahir dari ayah seorang Cina-Jepang dan ibu Peranakan Melayu. Konon, kakekku merupakan seorang tabib dan guru kungfu belalang tujuh bintang (Qi Xing Tang Lang Quan) yang berasal dari Shan Dong, Cina Timur. Nenek adalah seorang wanita anggun yang saat ini masih sedikit pengetahuanku mengenai dirinya.

Sang ibu merupakan gadis desa yang lahir di tengah kerumunan pribumi Jawa. Mama merupakan seorang keturunan Cina-Jawa. Ya, sangat jelas terlihat karena mama yang berkulit putih sangat mirip orang keturunan dibandingkan pribumi. Konon, mama merupakan keturunan dari keluarga bangsawan Keraton Demak yang menyingkir ke Kediri.

Sedari kaki ku masih dekat dengan tanah, aku bermain diantara orang pribumi Jawa. Mereka Muslim, dan aku merupakan seorang Konfusian tulen. Hiruk pikuk tahun 1998 jelas sekali di depan mataku yang belum genap 2 tahun. Diantara desas-desus pembantaian orang Tionghoa, Indra kecil masih dapat bermain petak umpet diantara kerimbunan bambu hijau dan padi muda di sawah berlumpur di belakang rumah. Berlumur lumpur berwarna coklat Van Houtten, kau dapat menyaksikan sekumpulan anak bermain di sungai kecil, melompat ke dalamnya mencari yuyu. Tentu saja, diantara kawannya yang semanis karamel, kulit bayiku tampak seperti susu. Ada rasa bangga dalam benakku saat disebut anak singkong oleh kawanku sekarang.

Jikalau aku merenung, aku masih ingat dengan sangat jelas suasana pinggir sawah itu. Itulah masa dimana kau masih menyaksikan kerbau menggarap sawah dan televisi masih sebesar 1 jengkal. Aku tumbuh besar di Jakarta, menghabiskan 12 tahun di sana membuatku jadi pribadi yang cukup berbeda diantara kawan sesama Tionghoa.

"Luo, kau gila atau kurang waras? Mengajakku main ke tempat pribumi? Bisa mampus aku kalau ketahuan papa", kata kawanku Hong. "Kau pikir 2 kali kalau mau main ke rumah pribumi. Kenapa harus datang sendiri kalau bisa suruh orang lain?"

"Alah, jangan macam banci kau. Aku tahu kau senang sama gadis pribumi itu. Jangan kau kira kami tidak tahu kedekatanmu dengan Yanti, anak security itu", ledekku dengan seringai konyol.

"Tenang kawan, kami tahu kau ingin menyatakan perasaanmu tapi takut sama bapaknya yang berotot tapi Haji itu bukan? Jangan takut, ada aku, Lin, Luo, dan Ma yang siap membantu melawan," Tan mulai tertawa.

"Kalau kau dapat cinta gadis pribumi itu, kau berhutang 4 mantau tausa hitam untuk kami. Tapi kalau harus adu pukul dengan bapaknya yang macam badak itu, kau harus ganti dengan bakmi Yie-yie A-Phin", Ma mulai lagi sikap tauke-nya.

"Ini bukan masalah dia tidak cinta atau bukan. Sudah kita Cina, bukan muslim pula! Mana mungkin bisa bersama pribumi? Kau tidak ingat ajaran kita? Pantang sama pribumi!", Lin mulai pucat diantara kegilaan kami yang menggebu.

Luo Zhi Xiang
&
Luo En Jia
- Oktober 2006 -
Ya kawan, inilah situasi yang terjadi diantara keturunan Tionghoa. Kami yang lahir sekitar tahun 1996 tidak memiliki rasa benci atau iri terhadap kaum pribumi. Diantara kami yang lahir pada usia sedemikian rupa ditanamkan rasa takut dan dendam dari masyarakat Tionghoa yang menjadi keganasan 1998.  Sedari kecil kami dihantui rasa takut akan pribumi yang dikisahkan sebagai pemeras, pencuri, pembunuh, dan pemerkosa. Masa muda para Tionghoa muda berada pada titik dimana mereka mulai menjadi pembenci kawan sebangsa Indonesia. 

Tahun 2011, benih cinta memang banyak tersebar diantara kami para bujang yang senang pada gadis pribumi. Sudah hampir 13 tahun berlalu, namun mimpi buruk 1998 tetap segar dan hangat dibicarakan. Kami yang muda hanya dapat menimbrung dan terbuai dalam dongeng keji yang kelam. Aku, Hong, Tan, Lin, dan Ma hanya sebutir pasir diantara kaum Tionghoa Indonesia. Kami masih muda, namun akar kegilaan sudah menjalar dalam kalbu. Sesungguhnya kawan, kami berlima memiliki kisah cinta berbeda dengan gadis pribumi. Kami berada di dalamnya terbuai dan dimanja oleh waktu yang fana.