Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Sabtu, 26 Maret 2016

Tiong Hoa : Musim Asmara

Tidak perlu engkau tanyakan lagi kawan, aku Tiong Hoa. Lahir diantara hiruk-pikuk Indonesia pada tahun 1996 di kota Dewi Kili, Kediri. Aku memiliki sejarah keluarga yang cukup unik. Ya, sangat unik bahkan membuat diriku bahkan tercengang saat mengetahui siapa aku dan darah yang mengalir dalam sanubari berumur 20 tahun. 
Luo Zhi Xiang
- Maret 2016-

Sang ayah merupakan pemuda bermarga Luo yang berasal dari kota Medan. Papa merupakan seorang Tionghoa yang lahir dari ayah seorang Cina-Jepang dan ibu Peranakan Melayu. Konon, kakekku merupakan seorang tabib dan guru kungfu belalang tujuh bintang (Qi Xing Tang Lang Quan) yang berasal dari Shan Dong, Cina Timur. Nenek adalah seorang wanita anggun yang saat ini masih sedikit pengetahuanku mengenai dirinya.

Sang ibu merupakan gadis desa yang lahir di tengah kerumunan pribumi Jawa. Mama merupakan seorang keturunan Cina-Jawa. Ya, sangat jelas terlihat karena mama yang berkulit putih sangat mirip orang keturunan dibandingkan pribumi. Konon, mama merupakan keturunan dari keluarga bangsawan Keraton Demak yang menyingkir ke Kediri.

Sedari kaki ku masih dekat dengan tanah, aku bermain diantara orang pribumi Jawa. Mereka Muslim, dan aku merupakan seorang Konfusian tulen. Hiruk pikuk tahun 1998 jelas sekali di depan mataku yang belum genap 2 tahun. Diantara desas-desus pembantaian orang Tionghoa, Indra kecil masih dapat bermain petak umpet diantara kerimbunan bambu hijau dan padi muda di sawah berlumpur di belakang rumah. Berlumur lumpur berwarna coklat Van Houtten, kau dapat menyaksikan sekumpulan anak bermain di sungai kecil, melompat ke dalamnya mencari yuyu. Tentu saja, diantara kawannya yang semanis karamel, kulit bayiku tampak seperti susu. Ada rasa bangga dalam benakku saat disebut anak singkong oleh kawanku sekarang.

Jikalau aku merenung, aku masih ingat dengan sangat jelas suasana pinggir sawah itu. Itulah masa dimana kau masih menyaksikan kerbau menggarap sawah dan televisi masih sebesar 1 jengkal. Aku tumbuh besar di Jakarta, menghabiskan 12 tahun di sana membuatku jadi pribadi yang cukup berbeda diantara kawan sesama Tionghoa.

"Luo, kau gila atau kurang waras? Mengajakku main ke tempat pribumi? Bisa mampus aku kalau ketahuan papa", kata kawanku Hong. "Kau pikir 2 kali kalau mau main ke rumah pribumi. Kenapa harus datang sendiri kalau bisa suruh orang lain?"

"Alah, jangan macam banci kau. Aku tahu kau senang sama gadis pribumi itu. Jangan kau kira kami tidak tahu kedekatanmu dengan Yanti, anak security itu", ledekku dengan seringai konyol.

"Tenang kawan, kami tahu kau ingin menyatakan perasaanmu tapi takut sama bapaknya yang berotot tapi Haji itu bukan? Jangan takut, ada aku, Lin, Luo, dan Ma yang siap membantu melawan," Tan mulai tertawa.

"Kalau kau dapat cinta gadis pribumi itu, kau berhutang 4 mantau tausa hitam untuk kami. Tapi kalau harus adu pukul dengan bapaknya yang macam badak itu, kau harus ganti dengan bakmi Yie-yie A-Phin", Ma mulai lagi sikap tauke-nya.

"Ini bukan masalah dia tidak cinta atau bukan. Sudah kita Cina, bukan muslim pula! Mana mungkin bisa bersama pribumi? Kau tidak ingat ajaran kita? Pantang sama pribumi!", Lin mulai pucat diantara kegilaan kami yang menggebu.

Luo Zhi Xiang
&
Luo En Jia
- Oktober 2006 -
Ya kawan, inilah situasi yang terjadi diantara keturunan Tionghoa. Kami yang lahir sekitar tahun 1996 tidak memiliki rasa benci atau iri terhadap kaum pribumi. Diantara kami yang lahir pada usia sedemikian rupa ditanamkan rasa takut dan dendam dari masyarakat Tionghoa yang menjadi keganasan 1998.  Sedari kecil kami dihantui rasa takut akan pribumi yang dikisahkan sebagai pemeras, pencuri, pembunuh, dan pemerkosa. Masa muda para Tionghoa muda berada pada titik dimana mereka mulai menjadi pembenci kawan sebangsa Indonesia. 

Tahun 2011, benih cinta memang banyak tersebar diantara kami para bujang yang senang pada gadis pribumi. Sudah hampir 13 tahun berlalu, namun mimpi buruk 1998 tetap segar dan hangat dibicarakan. Kami yang muda hanya dapat menimbrung dan terbuai dalam dongeng keji yang kelam. Aku, Hong, Tan, Lin, dan Ma hanya sebutir pasir diantara kaum Tionghoa Indonesia. Kami masih muda, namun akar kegilaan sudah menjalar dalam kalbu. Sesungguhnya kawan, kami berlima memiliki kisah cinta berbeda dengan gadis pribumi. Kami berada di dalamnya terbuai dan dimanja oleh waktu yang fana.

1 komentar: