Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Jumat, 20 Mei 2016

Tiong Hoa : Pohon Sang Raja

Hidup memang indah meskipun engkau tidak tahu kemana waktu mengajak. Masa kecil telah kami lewati dengan senda gurau diantara rawa-rawa dan kerimbunan pohon ara. Andaikata rembulan diam di tempat, sudah pasti kami tidak pernah beranjak. Di usia yang sangat labil, dimana kami terlalu besar untuk menangis namun terlalu kecil untuk mengenyam cinta dan memetik buah mimpi. Terkadang desiran angin menghampiri diantara semak kecil di kalbu hati.

Kami berlima dibesarkan oleh naungan masa lalu yang hampir tidak diceritakan orang tua. Ketika seorang kecil bermain ria diantara pohon cempaka, kami dihadapkan pada sebuah kekalutan yang tidak terbendung oleh mata. Diantara kerimbunan pepohonan, kupikir kami adalah putra dari bunda alam; buah kehidupan. Jikalau engkau menyangkal bahwa dirimu tidak dirawat pertiwi, kupikir bahwa bahkan dirimu hanyalah ilusi di dunia ini. Ada masanya ketika sesuatu yang tidak nyata akan mengajarkan dirimu tentang kenyataan. Duduk di atas ayunan sembari melihat matahari menghilang di balik rerumputan ilalang memberikan kami pelajaran bagai mimpi. Kami berlima terpana. Hampir 12 tahun sudah masa itu, namun masih segar di pelupuk mata.

Saat ketika engkau masih melihat mobil bemo, itulah masa dimana kami masih bermain diantara semak rerumputan ilalang. Suatu masa, di sore yang berembun basah, kami berkumpul seperti biasa. "Titik balik matahari, dibalik awan", sebuah kode gila yang kami ucapkan bila ingin bergumul. Ya, kawanku, seperti namanya, kode itu merujuk pada sore hari dimana langit siap kembali gemerlap dengan rembulan mulai muncul diantara riak air dalam telaga.

"Kau membawa apa?", tanya Hong. "Kalau engkau membawa jajanan, apa ada manisan semboi merah?"

"Ya ampun, bahkan matahari belum melintasi ilalang dan kau sudah lapar lagi?", Lin bergumam. "Nih, aku mencuri 1 sarang dari walet papa."

"Hei, tahan dulu makananmu. Kita datang hari ini bukan untuk itu", balas Ma.

"Ayolah kawan, jangan kau kotori tempat ini. Dia akan sedih jika tempat ini tidak kembali seperti sedia kala.", kataku mengulang hampa.

"Tempatnya sudah dekat. Ya, dibalik pohon tumbang itu", jawab Tan. "Kita sudah sampai di tempat Wang meninggal."

Wang, sebuah kata dalam bahasa Mandarin yang berarti raja. Ya, dia adalah raja pada cerita kami. Dibalik pohon ini, tahun lalu, kami bertemu seorang pemuda yang dengan riangnya memanjat pohon setinggi 5 meter itu. Wang, dialah pemimpin grup ini. Seorang anak muda penuh gairah atau bisa kubilang libido? Setahun yang lalu, ditempat ini, diantara ilalang, dan pantulan rembulan. Raja kami akhirnya bisa pulang dan menemui kedua orang tuanya di surga. Siapa sangka, bahwa kami, 5 ksatria yang dianggap pelindungnya bahkan tidak dapat menyelamatkan nyawanya.

Wang tidak pernah melihat kedua orang tuanya. Mereka hilang ketika kerusuhan tahun 1998 terjadi di Medan. Ia dibawa ke Jakarta untuk tinggal dengan keluarga pamannya. Sang Raja, setelah menaklukkan benteng lawannya, jatuh tersungkur, tanpa kami sadari bahwa ada sebilah pisau menembus dadanya. Sang Raja mati dengan hormat, meninggalkan istana kosong dan setumpuk emas berlian tanpa membuat prajuritnya terluka, atau bahkan, menitikkan air mata. Terdengar puitis, namun kukira hal itu pantas disebut kebohongan yang dipakai orangtua untuk menghibur para ksatria muda. Wang memang sudah tiada, tapi sebuah kisah baru saja bermula, baik itu prolog maupun akhirnya. Ia memberi kami kuas dan kertas. Lalu apa yang akan kami lukis? Ya, Wang mengajarkan kami untuk melukis hal yang paling berharga untuk kami saat ini. Mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar