Seperti yang kalian
sudah tau kawan, menjadi anak kuliahan memang memiliki suka dan duka
tersendiri. Masa kuliahku sudah berjalan selama setahun lamanya dan kudapati
diriku berdiri diantara lintang. Mereka bersinar cerah. Berbeda warnanya,
berbeda bentuknya, namun mereka adalah bintang yang bersinar bagai cerahnya
mentari di kegelapan malam. Berbinar diantara kehampaan ruang dan waktu. Kelas
kecilku, galaksi cerah tempat para sinar bertemu dan melukis dunia.
Keseharianku biasa
dimulai dengan sesi main kartu pagi bersama Freddy, Rico, Vincent, Melia, Nico,
dan Tuti. Pagi beku yang menyelimuti depan ruang kelas 3218 memang sahabat kami
seraya melempar berlian dan hati. Kuingat keceriaan kami yang semakin rusuh
apabila Freddy menantang, atau saat Melia tak terkalahkan sepanjang permainan.
Kami sangat pandai dalam hal ini. Statistika kami mungkin bagus karena
permainan mendidik yang satu ini. Kadang mataku melirik Melli, avant garde kami
ini mungkin tidak bisa bermain kartu, namun melihatnya saja membuatku heran.
Apa yang dilakukan gadis negeri seberang di kota ini? Sempat aku tertarik gadis
bawel ini karena body-nya. Kalau gadis cantik itu bagai Gitar Spanyol, maka
Melli mirip dengan Cello Jerman. Hal ini berbeda dengan Melia. Gadis mungil
berbadan petite ini sangat mirip dengan alat musik pujaan hatiku, biola. Ya,
kutemukan sebuah mahakarya kehidupan yang lahir dari ketidaksempurnaan dan
perjuangan manusia dalam dirinya. Seringkali kita meremehkan seseorang karena
yang kurang darinya sehingga kita menutup mata dan telinga dari rahasia dunia.
Pertama aku melihat gambar yang Melia buat, bisa kubilang kawan, aku
tercengang. Sebuah mahakarya dalam selembar kertas pink selalu membuatku
takjub. Hasil pekerjaan Melia yang kuanggap sebuah mahakarya mahasiswa baru.
Menggambar Teknik - Derita para MaBa FTI |
Hidupku di kelas
mungkin tidak bertahan lama bila tidak ada Tina. Gadis bersuara indah ini
adalah favoritku dalam hal mencontek pekerjaan atau guyonan. Kekocakan suara
Tina membuat semua orang merasa hidup dibalik air mata saat mendapat nilai C di
Kartu Hasil Studi. Berhutang banyak aku padanya yang sering mengantarku pulang
kerumah. Kuakui bahwa mungkin aku tidak begitu dekat dengan Bayu, Rea dan
Bryan. 3 sekawan konyol ini memang jarang muncul di kelas. Hal lain yang
membuatku kurang mengenal mereka karena aku ga pernah nongkrong di payungan
kampus. Namun kawan, untuk mengerti siapa seseorang, sebenarnya tak perlulah
kau mengenal mereka sampai akarnya. Kuakui 3 orang yang senang bercanda
denganku ini membuat duniaku yang membosankan jadi penuh cerita. Tak pernah
terbayang dalam benak bahwa mereka orang paling friendly di kelas kami. Sebuah
kejutan yang tak pernah terbayang.
Tuti, Tira, dan
Angel, bidadari eksotis kelas yang memang jarang ngobrol denganku. Dibalik
kediaman diantara kami, kurasakan hal yang menyentuh bahwa memperccayai seorang
teman memang berarti besar. Kami yang jarang bercanda ternyata sangat jujur
dengan perasaan. Kuingat beberapa waktu lalu aku curhat sama Tira, bikin
deadline sama Tuti, atau pergi ke bioskop bareng Angel dan anak-anak lain.
Dibalik kediaman, sebuah cerita selalu saja terjalin, kawan. Pernahkah kau
berpikir kalau kau beruntung dengan semua kegilaan ini?
Freddy, Rico, Nico,
Vincent, dan Stefanus, temanku melewati kerasnya dunia diantara kaum wanita.
Diantara kami berenam mungkin Rico adalah panutan kami dalam urusan wanita.
Sesepuh kami ini setia sekali dengan pacarnya. Lain lagi dengan Nico dan
Stefanus, tokoh agama yang selalu mendorong iman kami untuk menghindari
kejahatan dunia. Jika kalian bertanya apa yang aku, Freddy, dan Vincent
lakukan, seharusnya kalian sudah tau. Memburu gadis cantik di fakultas sini dan
seberang. Tolong dimaklumi saja kejombloan kami. Tapi kurasa kedua sahabatku
pasti mendapat gadis impian mereka. Freddy dengan kakak tingkat kami, dan
Vincent dengan gadis negeri seberang. Amin!
Pagi beku sahabat kami tiap Sesi 1 |
Sebuah dunia kecil
yang diwarnai dengan tawa, tangis, derita, dan kebahagiaan. Lengkap sudah
bagian hidupku di kampus karena mereka. Mungkin memiliki sedikit sahabat yang
dapat kupercaya daripada 1000 teman dengan jutaan topeng. Angin dingin kadang
membuat tanganku yang gemetar untuk menyimpan hal yang berharga dalam saku
celana. Ingin aku menyapa Shangri-La kecilku ini setiap saat. Sebuah utopia
yang menjadi nyata sudah lengkap. 16 benih yang mulai bertunas berdekatan ini
tumbuh bersama dengan senda gurau mereka. Kelas kecil yang kutempat selama 3
tahun kedepan bersinar bagai Lintang Kemukus. Terhampar luas dan melukis kanvas
gelap di langit berawan dengan teman sang rembulan. Kami hanya anak-anak kecil
alam yang tumbuh bersama dan ingin menyapa dunia. Kupikir Bapa Surgawi senang
menulis cerita konyol yang kami alami dalam buku hariannya pula. Kalau tidak,
bagaimana hidup kami dapat selalu berwarna setiap gulir waktu?
Keenam belas tunas
kecil ini suatu saat akan berdiri dan bersinar. Layaknya jutaan titik bintang
dilangit, menggambarkan mimpi kami yang tidak terhitung jumlahnya. Kami
berbeda, kami berwarna. Kami tumbuh, kami bersinar. Kamilah ke 16 Tunas Bintang
manusia. Mahakarya alam yang disatukan dalam sebuah kelas kecil yang dipenuhi
memori dan deru langkah kaki. Kami melangkah dengan sejuta cerita yang tidak
dapat dikumpulkan. Ingatan buah hati dunia tidak muat dalam sebuah catatan.
Semester awal dimana kami bertemu hanyalah permulaan. Kadang kuejek bunga lili
yang tumbuh liar di jalanan. Cerita kami akan memenuhi buku sejarah kehidupan.
Sebuah catatan yang tidak berujung, bagai ujung pelangi.