Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Selasa, 25 Agustus 2015

Catatan Tak Berujung

Seperti yang kalian sudah tau kawan, menjadi anak kuliahan memang memiliki suka dan duka tersendiri. Masa kuliahku sudah berjalan selama setahun lamanya dan kudapati diriku berdiri diantara lintang. Mereka bersinar cerah. Berbeda warnanya, berbeda bentuknya, namun mereka adalah bintang yang bersinar bagai cerahnya mentari di kegelapan malam. Berbinar diantara kehampaan ruang dan waktu. Kelas kecilku, galaksi cerah tempat para sinar bertemu dan melukis dunia.

Keseharianku biasa dimulai dengan sesi main kartu pagi bersama Freddy, Rico, Vincent, Melia, Nico, dan Tuti. Pagi beku yang menyelimuti depan ruang kelas 3218 memang sahabat kami seraya melempar berlian dan hati. Kuingat keceriaan kami yang semakin rusuh apabila Freddy menantang, atau saat Melia tak terkalahkan sepanjang permainan. Kami sangat pandai dalam hal ini. Statistika kami mungkin bagus karena permainan mendidik yang satu ini. Kadang mataku melirik Melli, avant garde kami ini mungkin tidak bisa bermain kartu, namun melihatnya saja membuatku heran. Apa yang dilakukan gadis negeri seberang di kota ini? Sempat aku tertarik gadis bawel ini karena body-nya. Kalau gadis cantik itu bagai Gitar Spanyol, maka Melli mirip dengan Cello Jerman. Hal ini berbeda dengan Melia. Gadis mungil berbadan petite ini sangat mirip dengan alat musik pujaan hatiku, biola. Ya, kutemukan sebuah mahakarya kehidupan yang lahir dari ketidaksempurnaan dan perjuangan manusia dalam dirinya. Seringkali kita meremehkan seseorang karena yang kurang darinya sehingga kita menutup mata dan telinga dari rahasia dunia. Pertama aku melihat gambar yang Melia buat, bisa kubilang kawan, aku tercengang. Sebuah mahakarya dalam selembar kertas pink selalu membuatku takjub. Hasil pekerjaan Melia yang kuanggap sebuah mahakarya mahasiswa baru.

Menggambar Teknik - Derita para MaBa FTI
 Hidupku di kelas mungkin tidak bertahan lama bila tidak ada Tina. Gadis bersuara indah ini adalah favoritku dalam hal mencontek pekerjaan atau guyonan. Kekocakan suara Tina membuat semua orang merasa hidup dibalik air mata saat mendapat nilai C di Kartu Hasil Studi. Berhutang banyak aku padanya yang sering mengantarku pulang kerumah. Kuakui bahwa mungkin aku tidak begitu dekat dengan Bayu, Rea dan Bryan. 3 sekawan konyol ini memang jarang muncul di kelas. Hal lain yang membuatku kurang mengenal mereka karena aku ga pernah nongkrong di payungan kampus. Namun kawan, untuk mengerti siapa seseorang, sebenarnya tak perlulah kau mengenal mereka sampai akarnya. Kuakui 3 orang yang senang bercanda denganku ini membuat duniaku yang membosankan jadi penuh cerita. Tak pernah terbayang dalam benak bahwa mereka orang paling friendly di kelas kami. Sebuah kejutan yang tak pernah terbayang.

Tuti, Tira, dan Angel, bidadari eksotis kelas yang memang jarang ngobrol denganku. Dibalik kediaman diantara kami, kurasakan hal yang menyentuh bahwa memperccayai seorang teman memang berarti besar. Kami yang jarang bercanda ternyata sangat jujur dengan perasaan. Kuingat beberapa waktu lalu aku curhat sama Tira, bikin deadline sama Tuti, atau pergi ke bioskop bareng Angel dan anak-anak lain. Dibalik kediaman, sebuah cerita selalu saja terjalin, kawan. Pernahkah kau berpikir kalau kau beruntung dengan semua kegilaan ini?

Freddy, Rico, Nico, Vincent, dan Stefanus, temanku melewati kerasnya dunia diantara kaum wanita. Diantara kami berenam mungkin Rico adalah panutan kami dalam urusan wanita. Sesepuh kami ini setia sekali dengan pacarnya. Lain lagi dengan Nico dan Stefanus, tokoh agama yang selalu mendorong iman kami untuk menghindari kejahatan dunia. Jika kalian bertanya apa yang aku, Freddy, dan Vincent lakukan, seharusnya kalian sudah tau. Memburu gadis cantik di fakultas sini dan seberang. Tolong dimaklumi saja kejombloan kami. Tapi kurasa kedua sahabatku pasti mendapat gadis impian mereka. Freddy dengan kakak tingkat kami, dan Vincent dengan gadis negeri seberang. Amin!

Pagi beku sahabat kami tiap Sesi 1
Sebuah dunia kecil yang diwarnai dengan tawa, tangis, derita, dan kebahagiaan. Lengkap sudah bagian hidupku di kampus karena mereka. Mungkin memiliki sedikit sahabat yang dapat kupercaya daripada 1000 teman dengan jutaan topeng. Angin dingin kadang membuat tanganku yang gemetar untuk menyimpan hal yang berharga dalam saku celana. Ingin aku menyapa Shangri-La kecilku ini setiap saat. Sebuah utopia yang menjadi nyata sudah lengkap. 16 benih yang mulai bertunas berdekatan ini tumbuh bersama dengan senda gurau mereka. Kelas kecil yang kutempat selama 3 tahun kedepan bersinar bagai Lintang Kemukus. Terhampar luas dan melukis kanvas gelap di langit berawan dengan teman sang rembulan. Kami hanya anak-anak kecil alam yang tumbuh bersama dan ingin menyapa dunia. Kupikir Bapa Surgawi senang menulis cerita konyol yang kami alami dalam buku hariannya pula. Kalau tidak, bagaimana hidup kami dapat selalu berwarna setiap gulir waktu?


Keenam belas tunas kecil ini suatu saat akan berdiri dan bersinar. Layaknya jutaan titik bintang dilangit, menggambarkan mimpi kami yang tidak terhitung jumlahnya. Kami berbeda, kami berwarna. Kami tumbuh, kami bersinar. Kamilah ke 16 Tunas Bintang manusia. Mahakarya alam yang disatukan dalam sebuah kelas kecil yang dipenuhi memori dan deru langkah kaki. Kami melangkah dengan sejuta cerita yang tidak dapat dikumpulkan. Ingatan buah hati dunia tidak muat dalam sebuah catatan. Semester awal dimana kami bertemu hanyalah permulaan. Kadang kuejek bunga lili yang tumbuh liar di jalanan. Cerita kami akan memenuhi buku sejarah kehidupan. Sebuah catatan yang tidak berujung, bagai ujung pelangi.

Senin, 24 Agustus 2015

Gadis Bekisar dan Anak Rambutan

Sejauh ingatan masa kecilku, Hari Raya Idul Fitri atau yang selama ini disebut Lebaran selalu terjadi pada saat rambutan mulai memerah. Indra kecil yang hidup diantara keragaman masyarakat Jawa ingat betul semua rumah yang ia kunjungi di desa kecil itu memiliki sebatang rambutan di setiap rumah. Rumah masa kecilnya yang masih dibangun dengan semen dan sedikit anyaman itu tersembunyi diantara rindangnya pohon berbuah merah itu. Dari jendela kayu tak berkaca, buah bulat berair manis itu sangat mudah diraih tangan kecilnya.

“Ternyata, pohon juga memiliki rambut,” ia bergumam, ”apa semua buah berambut merah?”

Kuingat seorang gadis belia berlari kearahku, Santi namanya. Kulit seputih kapuk randu, dengan senyum manja di wajahnya. Kuingat jelas teman masa kecilku itu senang bermain di halaman depan rumahku yang beralaskan tanah dan pasir lembut itu. Santi adalah satu-satunya gadis keturunan di kampung kecil itu. Bisa kubilang dia adalah bekisar tercantik yang pernah kutemui.
Bekisar, ungkapan ini sering ditujukan pada gadis berdarah campuran. Santi yang berwajah Jawa itu memiliki mata coklat yang sipit dan pipi berlesung bagai buah jambu air. Seperti orang-orang lain yang menyembunyikan darah campurannya pada masa Orde Baru, Santi terus mendapat ejekan karena kulit kapuk randunya. Ya, bekisar cantik ini sering merasa tertekan setiap bertemu dengan gadis sebayanya yang berkulit sawo. Mungkin masa yang menyenangkan baginya adalah saat lebaran. Bukan karena hari libur terpanjang di sekolahnya, namun karena aku si anak rambutan ini datang dan mengobati kebenciannya akan kulit dan mata itu. Kami sangat sering bermain bersama. Kedekatan kami sudah bagai kakak perempuan dan adiknya. Maklum saja, Santi berusia 3 tahun lebih tua dari diriku.

Santi dan hamparan Krisan Kuning
Sinar rembulan adalah teman kami berdua. Diantara lingkaran kecil itu sering aku dan Santi duduk diantara kerimbunan rambutan sambil bercerita mengenai apa yang kami lalui tahun itu. Kuceritakan padanya tentang tombak besar dengan pucuk emas yang dapat dimasuki oleh manusia dan kudengarkan ceritanya ketika pertama kali belajar membuat gula kelapa. Sungguh perbedaan besar yang kami miliki. Bekisar belia itu belum pernah keluar dari kota kecil itu. Ia dikurung oleh kekejaman zaman dan ketakutan manusia. Kutunjukkan fotoku di Jakarta diantara kelap-kelip kunang. Dapat dengan jelas 2 kelereng cokelat dimatanya berbinar takjub melihat foto yang dicetak dari film itu. Kutatap langit malam sejuk itu, dan kudapati bulan tersenyum melihat dua orang anak ingusan tertawa dan berbagi cerita. Malam yang semakin kelam malah semakin terang. Kuingat kebiasaan manjaku untuk membaringkan kepalaku di pangkuannya. Dibawah rambutan yang kadang jatuh mendadak, kami menatap bintang yang berjumlah ribuan, tak terhitung jumlahnya. Angin sejuk yang berhembus menusuk kalbu mengingatkanku bagaimana Santi dengan lembut mengusap lembut pipiku malam itu. Rembulan semakin merekah dengan warnanya yang semakin jingga. Hembusan angin yang membuat rambut mengantarkan mimpi kami berdua untuk tetap terjaga menjadi nyata. Kulihat bekisar cantik itu membukakan rambutan dan memasukkannya ke mulut kecilku. Manis, sangat manis wajahnya malam itu. Ya, ia memang semanis rambutan masak, bekisar merah itulah Santi. Bekisar yang nantinya menjadi pujaan setiap lelaki di masa depannya. Kembang tercantik yang tumbuh diantara padi dan nyiur hijau menguning.

Suasana alam membuat kami melantunkan tawa. Awan bergerak tanpa mengurangi sinar rembulan. Tidak akan lagi kudapati malam seperti itu kawan. Malam indah itu terjadi ketika umurku 5 tahun. Sejauh yang kuingat saat itu kudapati petani masih menumbuk padi yang dipanen dan kerbau yang membajak sawah dengan kakinya. Suatu masa dimana orang-orang bercaping masih menaiki sepeda onthel dan anak kecil bermain kelereng.

Senin, 17 Agustus 2015

Gambar Ravika

Ravika mungkin adalah gadis yang paling berkesan dalam hidupku. Kami bertemu di acara tahunan remaja Nichiren Syosyu, REACH. Pertemuan kami cukup lucu. Saat aku ingin mandi, kuingat wajah kagetnya ketika membuka pintu. Yah, kan kamar mandi umum segala gender. Wajar aja kurasa. Kami berkenalan sejak itu dan kadang menyapa. Aku hanya menganggap gadis Batam itu sebagai kenalan. Hal menjadi cukup serius ketika acara itu selesai. Pacarnya yang satu kontingen merasa cemburu padaku. Aku memang SMS-an sama Vika beberapa kali. Kujelaskan semua itu dan mereka baikan lagi.

Setelah 3 bulan, kudengar mereka putus, dan hatiku jatuh padanya. Ya kawan, kami pacaran. Saat itu adalah masa ketika aku masih berseragam putih-biru. Ravika sangat gemar menggambar jadi dia membuatkan beberapa gambar yang membuatku terpana. Aku sayang padanya. Hubungan kami berjalan setahun lamanya. Semua baik-baik saja sebelum pada akhirnya aku gagal bertemu dengannya di acara yang sama tahun itu. Aku tidak menepati janjiku untuk bertemuu dengannya. Yah, salahku juga pindah ke Magelang. Tapi aku tahu, bahwa Ravika bukan untukku. Bapa Surgawi punya seseorang untuknya.

Buat Ravika, ini bentuk terima kasih dan permohonan maafku karena tidak bisa menemuimu selama 7 tahun. Kuharap kamu sehat, dan menjadi kebanggaan orang tua. Salamku untuk Mamah dan Pundarika kecil.
                                 

Perbedaan

Masa SMA adalah masa kelabu bagi setiap remaja. Masa peralihan katanya. Indra muda terkenal akan kepiawaiannya dalam menjadi dingin di SMA-nya. 

"Siapa yang tidak mengenal Cina angkuh yang tidak memiliki teman itu," tandas seorang pemuda, "siapa juga yang tidak tahu si Indra itu?"

Aku sudah kebal dengan berbagai hinaan dari orang pribumi yang rasis begini. Kuakui beberapa dari mereka sangat tidak menyukai tingkahku yang terbawa dari Jakarta. Mereka ingin aku menjadi orang lain. Mereka ingin aku memakai topeng untuk menutupi siapa diriku. Itu yang mereka inginkan. Kau tahu kawan? Aku muak dengan masa SMA-ku. Kukira sikap dingin dan tidak peduliku akan segala urusan payah dan sok dewasa remaja membuatku menjadi pribadi yang baik. Berhasil kupertahankan diriku yang tidak pernah menyentuh rokok, alkohol, maupun benda laknat lainnya. Aku puas menjadi diriku yang dewasa sepenuhnya daripada separuh matang seperti mereka yang ada di sekolahku itu.

Kenangan menyenangkan semasa SMA sepertinya tidak pernah kumiliki. Tahun pertamaku di SMA membuatku membenci siapapun. Kehidupan Jakarta memang kejam. Bahkan diantara orang keturunan. Aku yang terkenal cukup pandai di kelas hanya dimanfaatkan orang sekelas. Manusia berkulit putih memang kejam dan licik. Kuakui kekurangan dari keturunanku. Kelas 1 SMA kulalui dengan penuh amarah. Ya, aku bahkan mencari musuh. Bahkan kakak tingkatku sempat mengancamku. Lihatlah tingkah bodoh primata tak berekor itu. Hanya karena usia lebih tua, tingkahnya sudah seperti dewa. Kusebutkan satu persatu juga tidak ada habisnya. Aku membenci mereka semua. Ya, bahkan mereka yang berada di kelasku.

Magelang - Oktober 2012
Tidak ayal dengan tahun kedua dan ketigaku di Magelang. Semua sama saja. Bisa dibilang bahwa aku dikelilingi oleh orang aneh dan tak berpendirian seperti itu. Kuakui bahwa aku memang mudah tersinggung dan tidak suka banyak omong. Mungkin hal inilah yang membuatku dapat menjadi sahabat baik semua guru. 3 tahun di SMA, dan kudapat banyak teman dari mereka yang sudah berumah tangga, pensiunan, bahkan veteran. Indra yang berumur tanggung terkenal diantara orang berusia 30 tahunan. Ya, dikenal bahkan segala keluh-kesahnya, kekecewaannya terhadap dunia. Berteman dengan orang dewasa memang lebih menyenangkan kawan. Ketika temanku sibuk balapan di jalan hingga kecelakaan, kau bisa melihatku berbicara hangat bersama sekelompok veteran renta sambil mengunyah singkong rebus. Aku menyukai cerita mereka yang penuh kejujuran. Lihat mata mereka yang berkaca. Aku menangis duluan rupanya.

Bila kau bertanya padaku siapa kawanku. Akan kujawab mereka adalah orang-orang dengan keriput di wajahnya. Mereka adalah orang kedua yang mengerti siapa diriku setelah keluargaku sendiri. Kuingat jelas ketika aku tidak ikut corat-coret baju SMA. Aku sadar bahwa aku melupakan momen yang mungkin paling ditunggu setiap anak SMA. Kuurungkan niat itu setelah kuingat temanku, seorang yatim piatu yang kukenal karena sering kutemui dia setelah menggarap ladang pamannya. Dia batal masuk sekolah karena tidak memiliki seragam. Kusumbangkan seragam lamaku ke sekolah. Aku puas, aku sadar bahwa nuraniku masih ada. Hampir separuh remaja Indonesia bersekolah tanpa menggenakan kemeja putih dan celana abu. Kenapa dicorat-coret baju yang masih bagus dan layak itu? Aku bertanya pada ikan yang kutemui di sela-sela batu. Mereka hanya memalingkan badan mereka rupanya.

Aku berbeda. Kuakui itu. Berteman dengan golongan bawah, bersenda gurau dengan orang berkulit sawo matang yang keriput dan renta. Ah, aku memang berbeda.Apakah aneh bila seorang pemuda keturunan Cina melakukan hal ini? Hai alam, beritahu aku. Siapakah aku? Harus jadi apa diriku? Sehingga mereka yang seumur denganku dapat mengerti aku?

Hujan

Sebagai seorang anak kecil, siapa yang tidak menyukai hujan? Bisa kubilang bahwa aku dilahirkan untuk fenomena alam yang satu ini. Diperanakkan di sebuah desa terpencil di pelosok Jawa Timur membesarkanku menjadi “hijau”. Dulu sekali, kalian bisa melihat anak berkulit putih berlarian di pinggir sawah becek bernaungan nyiur hijau. Dia tertawa menikmati kehijauan di sekitarnya. Kadang dia berlari di sekitar rumpun bambu hijau dan mengganggu sapi mengunyah rumput. Ya, anak ini nakal sekali. Lihatlah betapa lihainya dia mencuri kelapa muda dan rambutan tetangga. Tataplah mata bersinar anak berkulit putih ini ketika berlari memeluk kakek-nenek renta berkulit gelap itu.
Kompleks Candi Sewu - Prambanan
Indra kecil terbiasa bermain di sungai belakang rumah. Alirannya yang jernih dari Gunung Kelud tidak mungkin membuat anak kecil berusia 5 tahun tidak ingin bermain di dalamnya. Tengok keisengan mereka mencari yuyu dan ikan cupang. Dengar pula teriakan mereka saat melihat ular pohon hijau merayap di rumpun bambu. Masa kecilku kuhabiskan dengan teman-teman berkulit cokelat. Ada yang laki, ada yang gadis. Mereka bermain dengan Indra kecil, tanpa peduli warna kulitnya yang bersinar bagai kilat di bawah sinar rembulan.
Desa kecil ini sangat terpencil. Bisa kubilang di pinggiran kota. Orangnya yang ramah kadang membuatku kangen dunia sempit ini. Setahun sekali, setiap libur lebaran aku selalu berada di tempat ini. Dibesarkan di Jakarta membuatku yang anak singkong ini kangen kampung halamannya. Hujan adalah salah satu hal yang paling ia rindukan. Hujan di desa kecilku ini sangat menyenangkan. Airnya bersih tak berdebu. Segar, dingin, dan dapat diminum. Aku yang punya alergi dingin bahkan tak peduli ketika harus sakit setelah bermain hujan. Jelas benar dibenakku ketika Mama marah-marah ketika aku demam. Masa kecil tidak datang dua kali. Yah, sayang sekali aku baru sadar.
Kegilaanku yang gemar bermain di sawah sangat dikenal tetanggaku. Bila kedapatan mencuri jagung muda atau singkong, mungkin malah bisa diberi sekantung. Jika aku kedapatan mencuri telur, mungkin malah diajarkan cara memasaknya dengan abu panas. Ya kawan, kegilaan mudaku ini terjadi ketika masa-masa dimana sepeda onthel merajalela disaat wanita muda menanak nasi dengan kayu bakar. Sebuah zaman ketika kau masih menemukan gerobak padi yang ditarik oleh sapi di jalan berdebu tanpa aspal.

Selasa, 11 Agustus 2015

Buah dari Pengetahuan

Aku sangat menyukai apel, buah eksotis ini menjadi pilihanku karena rasa dan warnanya yang bervariasi. Kau tau kawan? Dongeng mengatakan bahwa apel adalah buah pengetahuan dalam dongeng yang sering kubaca. Aku tertarik sekali dengan hal-hal religius. Banyak sekali aku belajar mengenai penyakit doktrin yang didera manusia masa kini.

“Jam 10 malam,” pikirku, “nongkrong di depan rumah lah.”

Setiap jam 10 malam aku terbiasa duduk diluar menikmati ketenangan alam. Pada jam dimana semua orang terlelap adalah masa yang paling indah bagiku. Alam Magelang memang sangat lekat di benakku. Tak pernah kusangka di kota kecil ini kutemukan siapa diriku. Kenangan akan pagi pertama aku menghirup udara kota ini seakan cuma ilusi sekarang ini. Hembusan angin dan tarian awan yang biasa kurasakan di pinggir sawah belakang rumah mungkin paling kurindukan. Malam semakin gelap dan tak kusangka malam ini aku terlelap di depan rumah.

Dibesarkan dalam keluarga Chinese kadang cukup menyulitkan. Banyak tradisi yang diemban, terutama bagi anak laki-laki penerus nama keluarga. Bisa kubilang bahwa keluargaku cukup keras dalam hal mempertahankan tradisi. Ada orang berkata bahwa orang Chinese tidak bisa disebut beragama. Ya kawan, memang begitu adanya. Sejauh apapun agama melarang tradisi, kami  tetap melakukan tradisi warisan nenek moyang kami.

Pernah dulu ketika masa mudaku, aku berkeinginan untuk menjadi seorang Buddhis. Ya, aku  yang berapi-api sempat menggilai ajaran sekte Nichiren Shoshu. Kutemukan ketenangan dalam ibadahku. Namun aku dihadapkan pada kenyataan pahit dimana bila aku memilih agama, kutinggalkan tradisi terlebih dahulu. Aku seorang Chinese, dan sudah jelas aku memilih tradisi lebih dari apapun. Kekecewaanku cukup besar pada ajaran ini hingga sampai pada titik aku tidak mau terikat dogma gila itu. Kutemukan kembali diriku menjadi bagian dari kehidupan agnostik. Kuikuti kegiatan-kegiatan yang lebih tradisional seperti wushu dan barongsai. Anggaplah sebagai pelarian. Aku tidak peduli.

Diriku yang agnostik cenderung membuatku seperti orang rasis. Kutemukan kejanggalan dimana aku sangat membanggakan apapun yang kumiliki dan kuketahui. Kujadikan diriku sebagai seorang Chinese sejati yang anti dengan budaya luar. Hal yang akhirnya runtuh ketika kuketahui bahwa aku juga mewarisi darah Jepang nenek buyutku. Ya kawan, pernahkah kalian bingung dengan hal apa yang harus kalian lakukan? Pernahkah kalian ragu tentang siapa diri kalian?


Apakah buah dari pengetahuan adalah kebingungan? Apakah pengetahuan selalu menggoyahkan? Apakah buah pengetahuan itu baik dan benar? Kadang adakalanya kita terjebak dengan pemikiran kita sendiri. Terkunci dalam lingkaran yang tak pasti. Apakah kebaikan? Apakah kejahatan? Apakah mereka layak disebut demikian? Apakah selalu demikian?

Senin, 10 Agustus 2015

Indra's Coversion Story

In 2012 Lo Peng Sen and Lo Mei Shia moved their family from Jakarta to Magelang, Central Java.  Their son, Indra was old enough to start college and they wanted him to attend a good school.  They chose an international school in Yogyakarta, Atma Jaya.  Magelang is about an hour away from the school on a good traffic day, of which there is possibly one per month.  When they actually made the move though, they realized that a daily commute from Magelang to Yogya wasn't going to work, so Indra found an apartment near the school.  He stays in Jogja by himself but he goes home every weekend and holiday.

The Lo family are Buddhist by heritage and for them, family life is important, particularly respect for parents and older generations.  Unfortunately in order to support this move, Lo Peng Sen had to continue working in Jakarta and only makes it home to Magelang regularly once a month.  He does also come home for special occasions too.   Indra has flourished in the international school and plans are on the horizon for an advanced degree, preferably at an American school.

Although the family is Buddhist, from the start they enrolled Indra in a Christian school. That’s one of the reasons why even as a boy he knew Christianity better than Buddhism. At age 3, he began his education in Christianity with Jehovah’s Witnesses, as most of his kindergarten teachers were JW's.  A portrayal of Christ entered Indra’s life, but gradually the foundation lapsed as he was forced to move to a Buddhist Primary School. Within three years, he actually mastered the minimum requirements of Buddhism. It was surprising, even for his teachers at primary school. But economic problems forced Indra to move again this time to a Catholic school. 

Over the years in this Catholic school, Indra always questioned who God is. He asked the priests and hierophants there every time he got a chance. The answers did not satisfy him, so he decided to stop asking and wait.  He believed that there is an answer for each questions he had but he'd have to wait to find it.  

At some point in his youth, near age 10, Indra became interested in Christianity again. During his years in junior high, he began to observe and look for a religion he should follow.  He was  curious  about religious differences and denominations, especially within Christianity.  Although he was Buddhist at that time, he studied Christianity with people from the Pentecostal Church which sponsored school he attended.  At this young age, he tried to choose a religion, but when he told his parents of his interest and expressed a desire to be baptized a Christian, they first objected. Then they discontinued talking to him for a period of 3 months. Because of this, Indra’s perception about God was changed. A deep scar was carved in his heart. He felt like he was betrayed by God because he couldn't join the Pentecostal Church. He got the message, “they don't want me to get baptized a Christian and I am supposed to support my parents.” 

As time went by, Indra began to think that there is no God, and he viewed religions as nothing but strange communities. These days were probably the darkest years he faced. He began to look down on every religion, as he viewed them as nothing. He began studying metaphysics, mystic cults, and cosmologies. One question remained, "Does God really exist?" However, the curiosity and desire to join a Christian church stayed in the back of Indra's mind.

In 2014 when Indra was 18, a teacher in his university religion class assigned the class to do a major research project about a world religion then present their findings near the end of the year.  As the school follows Lutheranism, Calvinism and Wesleyan doctrines, the religion that Indra felt he should research must be Christian. Near the close of making the assignment, his teacher presented a short description of the Mormon Church.  One which mentioned the Book of Mormon, a false prophet, use of non-approved scriptures, and strange behaviors.  The negative portrayal intrigued Indra, so he decided to investigate the Mormon Church.

He started his research by looking up what the Book of Mormon is. He began asking people around him, but every time he asked, the answer was always the same. They told Indra not to follow any of the Mormon Church teachings and that he may be cursed if he did.  Since Indra didn’t really care about religion at that time, he just let it go.  He continued his personal searching. Indra found a website with information about this religion, lds.org.  He actually downloaded a portion of the scriptures and started reading from it every day just like reading novels.  He wasn't aware at the time that Magelang has a branch of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints and he kept going on without caring or noticing.  In 2015, he had seen young men in white shirts riding around on bicycles and asked his friends if they knew them.  They said that those people are Mormons.  This intrigued him and he browse the web again and for curiosity, requested a copy for a Book of Mormon that brought him face to face with them.

The request was routed through the Mission headquarters in Jakarta where Elder Lieske saw it and forwarded the contact information first to Yogyakarta. then to Elder Lie serving in Magelang.  When he called, Indra the 18 year old investigator asked if they could meet at a neutral location as he truly didn't want his parents to know that he was looking into a Christian religion.  They arranged to meet at the storefront building where the Church branch holds it's meetings in Magelang.  Indra truly did want to talk to them as he insisted to know their teachings for  himself.  

As Elder Lie and Elder Gartz met with this young man they felt his desire to make changes in his life and set himself on a path towards righteousness.  Indra studied the Church, its teachings, and the Book of Mormon for just a month, during which time he attended the Church’s sacrament meeting regularly.  Many other spiritual lessons with the Elders confirmed to Indra his desire to be baptized. Indra faced much opposition during these moments and a few even made him question what was actually the right thing to be done. Through reading the Book of Mormon and feeling the Holy Ghost, Indra received a strong testimony of the Church.  Ultimately he decided he wanted and needed to be baptized, but he was afraid to discuss it with his parents.


On Sunday March 15, 2015, Indra Cipta Lokatama, was baptized at the Hotel Trio pool in Magelang Indonesia.  Despite the hubbub of the pool, the angels rejoiced at that time with the commitment of another of God's sons to a path of righteousness.  Those in attendance felt the witness of the Holy Ghost.

The next Wednesday the whole zone of missionaries was fasting for help with missionary work in Central Java.  Obviously for Elders Zollinger and Lie, Indra's predicament was on their minds and in their prayers.  As they neared the end of their fast they received a call from Indra.  He had decided to test the waters again with his mother regarding religion, so he'd mentioned that he'd been studying Mormonism.  He explained that he'd like to attend Brigham Young University.  She thought that's not a bad idea.  With that encouragement he pushed on and said that attendance there would be best if he was a member of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints.  Miraculously she didn't object to that or start any silent treatment.  So, Indra persevered and explained about missionary work, that mission service was a good prerequisite for BYU attendance.  He then asked his mother if the missionaries could visit Saturday night when Lo Peng Sen was home from Jakarta.  She agreed.

The Elders knew this was an answer to their prayers for Indra.  Recently a missionary couple, the Jefferys, had moved into the area.  That week at the missionary district meeting they'd volunteered to accompany missionaries to visit parents of investigators with questions.  President Donald of the Indonesian mission had patterned such a visit for them and they want to serve.  So they too were invited to attend the Saturday summit, but only on condition that they didn't tell the Lo's of Indra's baptism.

When 2 missionaries, the Jefferys, and their driver, coincidentally the branch president, Ariyanto arrived they were graciously greeted. As the Elders explained the Church to the Lo family things seemed to warm up well. Mr. Lo seemed to like what he was hearing. Indra eventually asked his father for permission to join the Church of Jesus Christ of Latter Day Saints. His father had no objections to the desire, but warned his son that he couldn't forget his family responsibilities as he became closer to this church. Elder Jeffery showed his “My Family” booklet which contained the 4 generations of his family history.  That confirmed for the Lo's that the Church reinforces loyalty to family.  

Indra felt comfortable with the discussion so he told his father that he'd already been baptized the prior Sunday.  Suddenly the room got chilly.  Mr. Lo stated that his disappointment bordered on rage as he struggled to control his emotions.  Although he liked what he'd heard about the Church, he was upset because hiding this big decision from his parents was disgraceful and offensive.  As others began to express their opinions the emotional tenor of the room calmed down.  

Everyone recognized that open communication would have been better.  A feeling of trust needs to be developed and this discussion was a step that way.  Elder Jeffery explained that he had many children who'd sometimes made life changing decisions without consulting him.  Although this was uncomfortable, often the children had made better decisions than Elder Jeffery would likely have counseled them to make.  Somehow this comment seemed to ring true to Lo Peng Shen.

President Ariyanto explained that baptism is the first of a two part process of ordinances for a person to enter the Church.  The second ordinance was to be performed the following day, confirmation as a church member.  He invited the Po family to attend the ordinance and asked for the father's permission for Indra to receive the ordinance of confirmation.  After some discussion Lo Peng Shen agreed that perhaps this was one of those situations where Indra had made the better decision.  He gave his permission.

The next day all four Lo family members attended sacrament meeting where Indra was confirmed a member of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints.  Two weeks later Indra was ordained a Priest.  

Meanwhile Indra's research of his new religion has continued.  In early April 2015, when his time came to report to his college religion class of his research and views about his chosen religion he told of his personal religious experience.  This created a huge commotion in the class.  The teacher of the class was more than surprised by Indra, as he had changed from a bitter-logic minded person to a religious one.  The change so affected the teacher that he asked for a copy of the Book of Mormon, because Indra had said that reading the book had changed his life.  

Almost all of Indra's friends began to reject his friendship and keep him apart from campus’ life. A lot of challenges are still coming as Indra's friends are trying to make him leave his new faith by showing negative videos about Mormonism, some with ex-Mormon's testimonies, and accusing him of being fooled as they bring proof that Joseph Smith was a polygamist.  Indra endures the pain he faces with faith and as he does so he manages to change other’s perception about him.  Much to his surprise, two of his friends are interested in learning more about his new faith.  Because of this huge commotion, complaints, and uncertainty, the religion class’ lecturer asked Indra to give a followup presentation about The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints in 4 weeks.  Indra sees this presentation as a great opportunity to tell the world that he is, in fact, a Mormon.  He continues his studies with the missionaries and plans to serve a mission in America. Recently, he hasn't been coming home to Magelang because of his school duties, so he attends church in Yogyakarta.  From the day he got baptized, he has not missed partaking of the sacrament each week.  


Two weeks after Indra's confirmation at a meal in her home, Sister Jeffery presented Lo Peng Shen with a framed artwork of “Keluarga Dapat Kekal Selamanya”, meaning “Families Can Be Together Forever.”  Hopefully, someday with this hanging in their home the Lo family – Peng Sen, Mei Shia, Indra, and Indra's younger sister, Anita- can be sealed together forever in a temple of God.

Jumat, 07 Agustus 2015

Semester Baru

Indra Cipta Lokatama, sebuah nama yang berarti “Dewa Indra Sang Pencipta Alam Utama” terukir jelas di kartu mahasiswa. Seorang pemuda beragama Kristen bernama Hindu ini masih sibuk mengumpulkan nyawanya yang tercerai berai di sudut kamar. Kantuk adalah salah satu hal yang tidak bisa dia sembunyikan meskipun ketika bangun dia akan mondar-mandir macam setrika Mama.

“Sarapan udah Mama siapin Ndra,” sapa Mama, “kamu kuliah jam berapa?”

Kutatap wajah Mama dengan mata seperempat terbuka, “Aku masih liburan.”

Kehidupanku sebagai mahasiswa cukup menyenangkan. Kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan mengambil jurusan International Industrial Engineering Program membuatku terkenal bahkan diantara temanku semasa SMA. 31 Juli 2015 saat kulihat kalender yang disobek adikku. Hari Jumat ini adalah hari yang akan mengubah hatiku cukup lama. Namun, untuk sekarang kita lewati dulu. Aku mau mandi.

Aku mau pergi membayar mengurus SPP kuliahku pagi ini. Sekalian cari WiFi gratis juga di kampus. Cukup menyenangkan bisa kuliah di kampus tercinta ini. Kampus Atma Jaya sangat hijau menurutku. Coba bayangkan, halaman parkir mobil di kampus kami beratapkan daun pohon yang menjulang setinggi 4 lantai. Sangat hijau. Sebagai mahasiswa dengan tingkat ekonomi menengah kebawah membuatku menjadi orang yang tidak mengenal fashion. Celana berbahan jeans, baju polo biru awan favoritku yang kubeli di Matahari, dan sepatu tennis putihku yang berusia 7 tahun adalah teman setiaku melewati kebosananku di kampus. Seorang gadis berparas cantik membuatku tertuju kepada kakinya. “Wow! Sepatu merk Nike yang keren”, pikirku,

Munafik sekali kalau kubilang aku tidak ingin punya baju berkelas dan sepatu mahal bermerk internasional seperti itu. “Kepingin juga kali!”, teriak hatiku dalam hati. Kulirik sepatu tennis putih sahabat lamaku itu, “Maaf kawan, aku khilaf.....”

Sejujurnya aku ini orang yang “Happy-Go-Lucky”. Aku tidak terbiasa menggunakan baju mahalku ke kampus karena alasan biar awet. Jadi, hidup apa adanya dan selera fashion “Bodo Amat” sudah berakar di diriku. Jadi, jika kalian melihat seorang pemuda berkulit cerah dengan baju seadanya dengan muka datar biasa saja, kalian akan mengerti siapa dia. Aku.

Untuk ukuran orang keturunan Chinese di kampus, mungkin aku masuk di golongan anak cupu. Selain ga pernah pergi ke tempat mahal, aku tidak pernah berurusan dengan rokok dan alkohol.

Temanku berkata, “Payah loe, Ndra! Ga ngerokok, ga minum, mana kejantanan loe sebagai laki?”

Photos by: Rosita C. Yasin
Kupikir inilah manusia. Tidakkah mereka tahu bahwa “kejantanan” kalian akan terancam punah bila memakai barang-barang high-class itu? Hahahaha, aku senang mendengar mereka mengobral kejantanan mereka. By the way busway, aku lupa harus ke gereja sore ini

Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir memulai kelas Institut Keagamaan sore ini. Aku tergolong jemaat baru di Lingkungan Yogyakarta jadi aku belum begitu mengenal anggota di sini. Kulihat 3 orang pemuda dan 2 orang gadis duduk di ruang kelas mengobrol. Kuintip sejenak kelas itu, takut salah ruangan. Dan bagai kambing yang ga tau malu, aku langsung mengambil kursi dan duduk bersama mereka.

“Salam kenal, aku Indra.”

Gadis muda berkulit cerah, bertubuh langsing, yang memakai kacamata dan kaos merah itu menyapaku kembali, “Aku Bella, kamu anak mana?”

Hai kawan, kurasa aku jatuh cinta??

Rabu, 05 Agustus 2015

Meet The Gangsta!

Ok, so today I'm going to tell a bit about my campus and classmates. So, I am enrolled in 2014 as a student of Universitas Atma Jaya Yogyakarta. I joined the International Industrial Engineering Program led by Ririn Diar Astanti, S.T., M.T., Dr.Eng. 
My batch consists of not more than 20 people (actually I forgot the members). So, from the BLUE side we have Freddy, Nico , Rico, Steven, Rea, Bayu, Bryan, Vincent, Dwi, and me. From the RED side we have Tina, Melli, Tira, Melia, Tuti, and Angel. Yeah, that's the whole crew. So, the I.I.E. Program only accept 20 students at most. That means that I am going to stuck with this class for the whole year. But hey! I bet this class will amazed me more than anything!

We have Freddy with his 'Dorsal Fins', he is a swimmer, I have told you on the last post is it? He is a rare species, a fish with journalistic ability. quite surprising is it? I might exchange him with the government for some cash if chance would permit. We also have our fancy religious advisor Nicholas "The Father" Soenarno. Those two guys are prominent figure of our class. Almost all of the batch knows them. Every class has their own Hooligans! In my class we have Stefanus. The guy loves Manchester United and JKT48 moore than anything. He is loyal to us although he prefer his idols. 

Melli & Me
If every class has a bully, we have Rico who will protect us all using his super-duper awesome huge fatty Taekwondo kicks! Born as a big guy with crazy kicks, he will protect us from any intruders (likewise). This jumbo guy holds a black belt in Taekwondo. Awesome! Every clan has their own emperor. As the heir was born, all animals was stunned and the La Buffaloa woke up and bowed to the infant, yes, meet Bayu who was born in Soroako, the El Presidente from our class! The King was humorous and easy-going, that's why we love our King Bayu. A queen has to accompany our King, and SimSalaBim AlaKazam!!!! Melli was here. The girl was ununderstandable because she often used languages that we know nothing about! Was she born overseas??

Angel & Me
Anyway, every country has their own Triathlon right? We have Rea here, Born in "Maranatha behind the plank" (?) , the guy beats everyone in Basketball as his height match the ring. Running through everything with his bike until he hit the trotoar to drift in tarmac with his lowrider, yes, he is our Triathlooneer (Basketball, Bike & Car Racing). Every International program has their own foreign student. Came with British tongue, raised in Australia, we have Bryan! This guy whom we called "Gummy Bear" loves grapes and wines as he wished to build his own vineyard in Melbourne. A talented businessman with crazy ideals. The rumors said that he was raised in Manado. Was Bryan really a foreigner? I should ask Maam Ririn about that.

Tuti - Me - Dwi Yan
"Mama Bear", we have this fancy nickname for Angel. What an easy-going girl, enjoyed her life more than anyone and always gives us a killing smile! I think my heart skip a beat? Lately, I have been wondering if Tira has a nickname. I know absolutely nothing about her accept her birthday, where she lived, who she likes, her favourite food, her laptop, her usual laundry place, her phone number, and her skinny looks. Yeah, I know nothing about her. Girls love dramas, but Tuti loves varieties more than anyone els. This exotic, Rihanna-like girl owns 217 episodes of Running Man. Wow! She owns so much to the point I copied all of that! 

No one could match Tina in singing. This ball-like girl always kill every men using her sweet-lovely voice. Who knows that I might be the next victim? Mr. Darsono one of our lecturer even mistaken her to be my girlfriend since I usually sits next to her. I lied about the facts that I copied Tina's assignment though. Cheating's makes every assignments OK! Our class looks great thanks to Melia. She is the best graphic designer in class. Beats me, I think I should hire her to design my looks. A lover of basketball and a great player too. Watch out if you get passed by this cute-looking girl in a basketball match boys!

Vincent has been making a great ruckus for quite sometime. This guy always sleep like dead, that's why he always late to class. No one could make him awake for 3 hours. This great sleeper is my best partner in skipping the class. I usually sleep at his room since it's really nice and comfy. My class loves Futsal. We always play in test days to kill our time from studying those crazy formulas. The perp to this habit is Dwiyan. This guy could gallop a mile without taking asingle breath. His kicks was so hard until he cannot hit the ball. The goalkeeper always having a great time when Dwiyan is on charge of our team. We also have Ary, our handsome doctor who will heal our broken heart, anytime, anywhere, for free and without any charge!
Me - Nico - Freddy - Rico

Sounds like heaven right? We are the International Industrial Engineers, the creative, innovative, and the most happy class! Visit our campus site on fti.uajy.ac.id/industrial/ for more info. Thanks for Maam Ririn for her great job in uniting our unique family in campus! Join US!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!










Selasa, 04 Agustus 2015

Sasana Yi Lung Dhuan dan Alm. Om Tony



In memoriam ,
Gw inget bener waktu liburan SMA gw dlu Zhong He Taijiquan Study Club kedatangan tamu istimewa. Yep, Om Tony dkk datang ke Magelang untuk berlatih Taiji 37 Chen Man Qing bersama kami. Inget bener dlu kita latihan bareng, belajar duishou, bikin video kocak diatas tonggak...






Well yeah, Om Tony merupakan slah satu contoh yang baik dalam hidup remaja gw. "Saya ini orang yang nggak punya apa-apa, tapi saya ingin murid saya memiliki sesuatu yang bisa mereka banggakan.", kata Om Tony waktu dia curhat mengenai Sasana Wushu Yi Lung Dhuan Purwokerto. Gw tau kalau Om Tony itu serius dalam membina Sasana nya.

Sedikit cerita, Sasana Yi Lung Dhuan berdiri di Purwokerto atas inisiatif dari Om Tony, seorang pecinta seni bela diri Cina. Sasana ini sebenarnya hanya memiliki papan nama. Tempat latihan mereka merupakan bangunan SMA Veteran Purwokerto. Murid sasana inipun kebanyakan berasal dari sana. Cukup mencengangkan ketika gw tau bahwa murid sasana ini hanya terdiri dari anak usia SMA yang terbilang kurang mampu secara ekonomi namun memiliki semangat yang luar biasa. Om Tony mengajarkan kepada muridnya bahwa mereka akan memiliki gedung sendiri dan hal itu menjadi cita-cita sasana ini. Meskipun tidak memiliki tempat, Om Tony mengajarkan bahwa hal yang terpetnting adalah jiwa memiliki sasana dalam benak segenap murid Yi Lung Dhuan.

Gw kaga tau lagi sekarang gimana kabar sasana ini sepeningggal Om Tony. Gw berharap banget Sasana ini dapat bangkit kembali dan melanjutkan cita-cita Om Tony.

Catatan ini sedikit memori gw bersama kalian.
Salam persaudaraan,

Indra Luo

Sabtu, 01 Agustus 2015

Groufie

 Hellooooo.... Postingan kali ini gw bakal cerita dikit soal temen sekampus...


Meet temen gw, dari kiri ke kanan.. Ada gw, Nicholas, Freddy, Rico.. Uda sekampus, seprodi, sekelas juga.. Yep, kita orang dari International Industrial Engineering Program batch 2014 Universitas Atma Jaya Yogyakarta...! #banggakampussendiri

Sekilas soal Nicolas:

  • PURWOKWERTOers
  • Anak paling adaptable di kelas
  • Julukan "Father Nico", liat mukanya yang berwibawa gitu bray!
  • Game and music enthusiast
  • Salah satu Avant Garde di kelas...
  • Anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Industri  UAJY
Sekilas soal Freddy:
  • Katanya sih orang Medan, kok tinggal di Pekanbaru???
  • Manusia ikan... Renang kaga muncul di permukaan
  • Gosipnya, IP dia 4,5...?
  • Setia ama pacar ( Padahal jomblo punya.....-_-)
  • Cece Cuantikz lover and enthusiast...
  • Julukan "Acek Pantek",...
  • Journalist, editor, reporter, photographer, layouter... what else yak?
Sekilas soal Rico:
  • Jago bulu tangkis soalnya udah sabuk item Taekwondo...
  • Avant Garde punyaa...
  • Susah bangun tidur
  • Susah jebolin gawang yang dia jaga.. (ketutup semua bray)
  • Setia hati lohhh
Owkeh, kita sering main bareng... 5 hari seminggu ngeliat mereka bosen juga, namuun apa daya hamba??? mereka asik punya.. Eniwei, moga" aja pada langgeng yakk... Temenannya lohh... Kadang ada hal lucu yang terjadi dimana dosen ampe ngomong gini, "Kalian berempat itu HOMO apa gimana?? Tiap ketemu kalian kok pasti berempat mulu???". Yah, itu susahnya punya best friend kan? Lo ga akan tau seberapa deket nya lu ama mereka sampe ada yang ngatain kalian HOMO sejati... akakakakakakak... #bestfriend