Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Jumat, 30 Oktober 2015

Pandangan Pribadi

Malam ini tepat pukul 20.00 kubaca sebuah tulisan di internet mengenai agama yang kuanut, Kristen Mormon. Temanku yang budiman, kadangkala aku bertanya kepada mereka tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu Kristus. Seorang kawanku bernama Alkitab berkata, “Mereka mengetahuinya melalui apa yang dipahat manusia di lembaran tubuhku”. Lalu aku bertanya kembali, siapa dan mengapa mereka menulisnya? Aku menemukan banyak kontradiksi kehidupan dalam setiap ajaran dogmatis di muka bumi ini. Aku seorang Mormon dan aku menulis ini berdasarkan apa yang aku alami sepanjang nafasku yang singkat ini.
Aku dilahirkan di keluarga yang beranekaragam dalam agama dan budaya. Aku menganggap diriku seorang Chinese karena aku mengemban sebuah marga warisan ayahku yang terkasih, Lo Peng Sen. Papa adalah seorang Chinese Melayu yang kebetulan memiliki darah Jepang dari neneknya. Hal ini tentu membuat papa menjadi penganut ajaran Taoisme dan Kong Hu Cu sejati. Mama di lain pihak adalah seorang Chinese Jawa yang merupakan keturunan dari Kesultanan Demak meski gelar kebangsawanan dirinya sudah putus puluhan tahun yang lalu. Mama, tentu saja, dilahirkan di keluarga Muslim meski dirinya adalah penganut Kristen pada kisah mudanya. Kedua hal ini menjadikan diriku sangat unik. Diantara kehebohan kisruh tahun 1998 yang masih segar di ingatan kedua orang tuaku, aku tumbuh diantara relung langit yang dikelilingi bangunan berkubah dengan bulan sabit di atas puncaknya. Ajaran Islam sudah lama kukenal meski aku tidak mendalaminya, aku menghargai dan kagum atas ketaatan kakek dan nenek dari mama yang sangat taat dalam urusan Shalat.
Hidup mudaku sendiri diisi kisah tawa dan tangis anak-anak berkulit gelap yang bermain sambil bergandeng tangan di bawah sinar purnama. Saat bermain hompimpa, aku tidak melihat perbedaan tanganku yang putih bagai daging nangka muda. Tumbuh di lingkungan Jawa membuat diriku menjadi orang yang akrab bergaul dengan golongan pribumi. Selain karena aku tumbuh bersama mereka, aku secara tidak langsung adalah bagian dari mereka. Satu pelajaran tentang kehidupan: “Ingatlah bahwa anak kecil terlalu lugu untuk memahami dogma rasisme milik orangtua mereka”.
Terlahir dalam keluarga Chinese, aku tumbuh dengan dikenyangkan oleh tradisi Tao dan Kong Hu Cu. Imlek, Barongsai, Liong, sembahyang leluhur, dan ribuan nama Dewa adalah hal yang sudah kudapat sedari mudaku. Saat aku pertama masuk TK, aku ingat bahwa dalam raporku tertulis Buddha. Saat kupinjam milik temanku, kulihat namanya Islam, ada yang Katolik, ada yang Kristen, namun sayang, aku tidak melihat yang Hindu. Aku bertanya kepada mama dan katanya, perbedaan itu namanya Agama. Sebuah hal yang tidak kumengerti, namun biarlah, mereka temanku dan masa kecilku dulu tidak pernah diisi dengan dogma dan kekonyolan manusia.
Sekolah kecilku itu belum memiliki agama. Namun, pada suatu hari seorang Saksi Yehuwa mengajar di sekolah kami. Senang betul rasanya memiliki seorang guru muda yang baik dan suka membagikan permen dan buku bergambar berjudul ALKITAB pada 15 anak kecil yang bodoh dan lugu bagai bayi. Sering kami mendengar dongeng mengenai cerita yang terjadi dalam buku tebal bergambar itu. Diantara temanku yang lebih menyukai cerita yang berakhir bahagia, aku mendapati diriku terbuai oleh cerita kematian seorang pria di atas sebuah tiang kayu. Setelah umurku yang ketujuh baru kuketahui nama pria itu, Yesus.
Diusiaku yang keenam aku menginjakkan kakiku di SD pertamaku. Selama 3 tahun, aku mempelajari ajaran Buddha Theravada, yang membuatku tahu mengenai Tripitaka. Memasuki kelas 4 SD, aku dipindahkan ke sebuah sekolah Katholik, dan kupelajari doa yang jarang kudengar, Salam Maria. Pada tahun kelima sekolah dasar, aku pindah kembali ke sekolah umum dan dipilihkan untuk mengikuti ajaran Buddha kembali. Diusiau yang ke-11, aku dikenalkan oleh temanku mengenai doktrin yang disebut Pentakosta dan Metodisme. Kutemukan diri mudaku tertarik pada ajaran Pentakosta dan kudapati diriku menjadi percaya pada Kristus di usia muda. Saat gonjang-ganjing agama sedang marak di Jakarta, mama membawaku ke sebuah Pura Hindu, dimana terdapat patung Ganesha di depannya, arca Trimurti di dalamnya, dan foto seorang pria tua bernama Sathya Sai Baba. Aku sempat tertarik dengan ajaran Hindu. Salah satu buku favoritku, Bhagavata Gita memiliki cerita yang mirip dengan yang ada di kitab Jataka. Namun arus kehiduupan menyeret mama dan diriku ke ajaran lain, Nichiren Syosyu. Banyak hal yang kulalui bersama ajaran ini, dan selama kehidupanku dalam ajaran itu. Aku ingat umurku saat kudapati diriku berada di tengah selusin agama.12 tahun, itulah umur Indra kecil yang sejak muda sudah kenyang akan pertikaian antar agama di depan mukanya.
Kuurungkan niatku menjadi seorang Kristen Pentakosta karena usia mudaku dan status jiwaku yang terguncang akan siapa itu kebenaran. Saat umurku yang ke-13, aku mulai mempelajari ajaran Gnostik, Satanisme, dan hal-hal mistik lainnya. Aku tertarik mengenai keadaan jiwa seseorang setelah kematian. Aku mendapati diriku cepat memahami Kartu Tarot dan aku mulai merasakan keberadaanku sebagai anak indigo. Tidak heran seorang anak yang belum genap berusia 14 tahun sangat piawai dalam membaca tumpukan kartu bergambar tersebut.
Aku sudah puas diajari alam mengenai agama dan aku memetik sebuah pelajaran baru: “Tidak ada kemutlakan dalam sebuah agama. Jika agama itu mutlak, maka tidak akan ada manusia yang berbicara dan berdebat mengenai Tuhan. Tidak ada agama yang sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta”. Aku sering berpikir kenapa manusia sering bertengkar mengenai sesuatu yang bahkan tidak mereka ketahui. Aku mendengar banyak manusia yang mengaum bagai singa dan dengan berkobar menjelaskan kebenaran mengenai Tuhan, yang secara harfiah, menurut pemahamannya sendiri. Demikianlah kulalui hidupku dikelilingi kebodohan manusia. Mereka berbicara tentang Tuhan menurut konsep mereka dan menutup mata-telinga mereka untuk berjaga. Orang-orang berbicara bagai mereka mengenal Tuhan secara utuh. Namun dari apa yang kudapat, mereka memahami Tuhan atas dasar kesaksian hidup mereka sendiri. Secara umum, mereka yang mengalami adalah mereka yang berani unjuk gigi. Banyak ajaran agama yang tersebar di muka bumi pertiwi. Namun diantara perang kalbu ini aku menemukan banyak penganut kepercayaan yang disiksa dan martabatnya diinjak oleh bangsa sendiri. Aku berpikir, kenapa Ahmadiyyah disebut sesat dan penganutnya disiksa macam kambing? Bukankah Islam sendiri memiliki beragam pendapat, ada yang Sunni, ada yang Shi’a. Islam yang berarti damai telah dinodai dengan sifat urakan manusia. Sekarang aku bertanya.
Aku ingat kembali tentang guru muda dari golongan Saksi Yehuwa, mereka dikecam karena mempertahankan dogmanya. Mereka dicemooh oleh orang Katolik dan Protestan. Aku bertanya, mengapa mereka memprotes keras kepercayaan Yehuwa, padahal mereka berbeda pendapat tentang takhta ke-Pausan? Aku hampir gila, ajaran Nichiren mengatakan bahwa ajaran Hinayana, Tantrayana, dan Mahayana adalah keliru. Aku berkata kepada papa mengenai hal ini:

“Papa ga usah pusingin masalah agama yang akan kuanut, aku seorang Chinese, dan aku tidak lupa siapa diriku dan leluhurku.”

Diantara kepiluan hati, aku berkaca kembali. Seseorang yang merasa benar akan bertahan sampai akhir. Kulihat, semua penganut agama sedang ‘berjuang’ untuk kelangsungan dogma mereka. Tidak pedul rintangannya, mereka tetap berusaha dan bertahan. Kutemukan benih kebaikan dalam setiap agama dan jalan yang pernah kupintas. Orang-orangnya baik semua, lalu mengapa mereka dibedakan? Saat ini banyak orang mengejek agama satu sama lain meskipun kodrat mereka adalah sama. Aku menghargai asas berpendapat, jadi aku tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Suatu ketika aku bertemu seorang Mormon, dan dengan perjuangan dan doa, aku mendapati diriku tergabung dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Meski demikian, aku kuliah di universitas Katholik, berteman dengan kawan Hindu, berceramah di perkumpulan Buddha, berdiskusi alkitab dengan sahabat Protestan, makan es krim dengan Saksi Yehuwa atau ketupat sayur bersama seorang muslim, dan yang lucunya, curhat sama Suster Katholik. Aku berkata kepada mama mengenai kehidupanku yang beranjak menuju usia yang ke-20:

“Ma, aku menemukan keganjilan dalam semua agama, bahkan yang sedang kuanut. Namun mama, siapa itu Tuhan? Aku mengenalnya dari usahaku untuk mengerti akan keilahian-Nya. Aku menangis untuk mendapat restu-Nya. Tapi ma, aku bertanya, apakah pengertianku yang sederhana dan bodoh ini cukup untuk mengetahui siapa Tuhan dalam arti yang sesuai menurut pengertian-Nya? Apakah aku mengerti akan diri-Nya sesuai apa yang Dia inginkan? Pengertianku sangatlah terbatas, aku mengenal cinta dari kasih tulus seorang ibu dan kebijaksanaan dari tindakan seorang ayah. Mama mengenal diriku, siapa aku, dan akan jadi apa diriku. Menurut mama, akankah aku dapat bertemu dengan Tuhan? Bersenda gurau dengan-Nya sambil minum air kelapa muda? Aku ingin mengenal dirinya dengan sederhana dan apa adanya. Layaknya seorang anak kecil yang bertanya kepada bapanya mengapa ia harus memakai alas kaki. Aku masih diliputi oleh kekalutan dan ketakutan akan kegagalan, mama tolong bantu aku ya?”

Pengertian manusia akan Tuhan sangatlah beragam dan bahkan tidak menyentuh kebijaksanaan Tuhan. Bukan karena mereka bodoh, namun mereka ingin melewati batasan akal pikiran mereka. Aku yakin dari lubuk hati bahwa tidak ada agama yang salah. Mereka semua adalah benar menurut pengertian manusia. Hanya yang Maha Bijaksana yang mengetahui kebenaran di balik tabir besar yang disebut agama. Ah! Aku terlalu bodoh untuk memikirkannya. Dari sebuah buku yang pernah kubaca, seorang filsuf Yunani berkata, “Keberuntungan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua lahir tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur panjang,” rasanya benar juga kata filsuf tersebut. Aku yang baru genap berusia 19 tahun pada bulan September kemarin berkata pada langit-langit kamarku bahwa aku ingin tidur dan tak bangun kembali. Kadang aku lelah juga terbangun setiap pagi dan mendapati diriku terbawa arus kehidupan. Yah, rasanya memang menyebalkan, namun harus dijalani. Pernah kau bayangkan seorang Mormon yang gila macam diriku? Rasa-rasanya aku menjadi bagian dalam perang dogma ini. Biarlah orang berkata tentang aku dan kepercayaanku. Tuhan ada bagi setiap manusia yang berseru dan bertindak menurut kebijaksanaan-Nya. Ya sudahlah, aku muak dengan tulisan gila di internet mengenai percekcokan antar dogma. Aku mau tidur.

Selasa, 13 Oktober 2015

Negeri di Atas Awan

Belakangan ini aku sering menatap kembali buku tua dari masa kecilku, Jack & Kacang Polong. Sebuah cerita klasik dimana Jack menanam kacang polong yang tumbuh menyentuh langit, membawa dirinya ke petualangan di sebuah negeri dibalik awan. Aku membawa buku itu kedepan layar kecil televisi berukuran 16 inchi yang sudah selusin umurnya di kamar mama. Nun jauh di negeri yang konon disebut sebagai “Zamrud Khatulistiwa” terdapat sebuah negeri yang hidupnya diselimuti awan abadi. Awan tersebut begitu nista dan licik. Banyak anak yang bahkan belum bisa mengingat tidak berhasil membuka matanya. Sang ayah mengelus pipi kecil yang lugu itu dengan mata yang sembab. Aku melihat sang ibu mengambil air hangat untuk mendandani gadis kecilnya untuk menghadiri pesta yang meriah. Ya, pesta yang kemeriahan dan gemerlapnya mengalahkan seluruh pesta di bumi. Pesta yang bahkan dihadiri langsung oleh Maharaja Semesta yang kami panggil sebagai Tuhan. Ya, sebuah pesta yang dijaga ribuan malaikat terang. Sebuah pesta di negeri dongeng yang kita sebut Surga.
Di negeri itu, terdapat seorang raja. Badannya kecil, namun dandanannya mewah. Wajahnya penuh senyum, namun matanya menunjukkan dusta. Raja kecil itu terlihat seperti manusia, namun bayangannya bagaikan kera. Sang raja mahir dalam meniup sangkakala di negeri itu. Dalam satu hembusan sangkakala, api akan berkobar menyelimuti tanah lapang. Bagaikan dewa yang tidak tahu diri, ia melahap semua yang ada di hadapannya. Setelah api tersebut padam, ia mulai berlaga. Bagai malaikat tak bersayap ia mulai menyebar benih pohon. Buahnya kecil, namun berminyak dan harganya mengalahkan permata. Buahnya bulat berinti putih. Sawit namanya. Nama eksotis yang lahir dari nyawa segelintir manusia tak berdaya.
Raja zaman sekarang memang edan! Ia menambbah kekayaan negerinya dengan menggunakan tumbal. Demi segudang emas, satu nyawa manusia menjadi taruhan. Bagaikan nyamuk, manusia di negeri itu dibunuh satu persatu dengan cara menghisap asap hasil kobaran api sangkakala gila itu. Semakin sedikit penduduk negeri itu. Anak bayi tidak pernah bisa bertahan hidup karena menghirup kabut hitam itu. Celakalah! Celakalah sang raja! Suatu ketika ia meniup sangkakala terlalu lama hingga api tak kunjung padam. Celakalah! Seluruh umat manusia direnggut kehidupannya!
Kini sang raja pergi mengungsi. Ia tersenyum girang. Meski negerinya terbakar tanpa penduduk, ia tetap akan kaya. Ya, karena lahan yang hangus akan menjadi tanah terbaik tanaman Sawit. Negerinya kini dibalut oleh awan yang tak kunjung hilang. Negeri itu tenggelam dalam kesendirian daan kegelapan. Negeri itu menjadi saksi bahwa manusia adalah iblis sejati di muka bumi. Sang raja kini tinggal di negeri orang, dan ia bertemu dengan seorang penyair kumal. Sang penyair ini bersenandung girang saat ia melihat sang raja kecil nan gila.

“Wahai raja yang kaya, lihatlah mahkota emas bertabur berlian di atas tengkorak itu, bersinar bagai sinar pintu neraka. Hai raja yang dusta, tengoklah jubah ungu bersulam intan itu, menempel di dada yang penuh lubang dan darah. Hai raja yang licik, lihatlah pohon Sawit yang kau tanam di atas belulang. Hai raja yang buruk budinya, lihatlah kini Sawit menyerap darah. Dahulu putih intinya, sekaram legam bagai batu rubi yang menyala. Hai engkau raja bodoh berbalut darah kirmizi, hiduplah engkau dengan memakan derita. Minumlah engkau dengan cawan air mata. Pada akhirnya ketika engkau meniup sangkakala kembali, lidah api akan membakar jiwamu tanpa menghanguskan tubuhmu.”

Sebuah syair kejam bagai cenayang gila.Sang penyair kumal bernama Karma, yang rupanya dilahirkan di negeri sang raja. Kini ia sebatang kara. Keluarganya menjadi tumbal bagi emas sang raja durjana. Dendam membawanya mengikuti sang raja demi mengikatnya dan melemparkannya kedalam lidah api neraka. Sang raja kecil tertegun. Hendaklah ia bertanya kepada sang penyair. Namun sang penyair kumal menghilang, meninggalkan sebuah pesan bertulisan.

“Senandung sedihku untuk negeriku tercinta. Sebuah negeri yang berwarna Zamrud di bagian tengah Khatulitiwa. Ia berteriak kejam. Negeri kecilku berwarna Kirmizi. Ia membentang diantara Lazuardi. Negeri kecilku berdiri diatas belulang dan air mata. Merahlah ia bagai darah dan kelabu menyelimutinya. Kutukan kejam kami yang mati sia-sia bagi emas sang raja durjana yang penuh nista. Matilah engkau dengan paru-paru penuh darah. Dengan dada tercekik dan napas sengal engkau akan meminta pertobatan. Siaplah engkau menerima penghakiman. Raja Surga mencatat namamu dalam buku diari kecilnya. Menyiapkan dongeng baru bagi kehidupan manusia yang mati tak berdaya. Engkau akan mati tanpa air mata bercucuran. Dengan senyuman orang akan menguburmu. Hai engkau daging bernyawa, ingatlah kepada siapa engkau berpunya. Terlahir dari tanah, engkau mengorbankan tanah. Kembalilah engkau diantara tanah penuh darah bernoda. Sampai sangkakalamu bertiup dengan sendirinya. Aku Karma, putra sang waktu. Aku akan mengikuti engkau, menyaksikan kematianmu yang dipenuhi teriakan karena kebodohanmu sendiri. Sampai pada akhirnya jiwamu sendiri akan tersesat di sebuah negeri antah berantah, dimana kami menyebutnya sebagai Negeri di Balik Awan.”


Dongeng yang memuakkan namun penuh kejujuran. Sebuah cerita sedih yang aku temukan memang. “Negeri di Balik Awan”, sebuah nama yang penuh air mata. 

Kamis, 08 Oktober 2015

Dendam Bertabur Gula

Belum lama ini aku membaca sebuah kisah yang tajam, Hamlet. Pernahkah kalian membaca tragedi legendaris ini? Sebuah romansa penuh tragedi dimana balas dendam adalah maut yang membahagiakan?
Alkisah, ada sebuah keluarga kecil yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sang ayah memiliki 4 orang saudara, 1 perempuan dan 3 lelaki. Sang ayah adalah orang yang hanya bisa berjuanng keras demi memberi makan saudara dan keluarganya. Sang kakak perempuan adalah orang yang miskin sehingga dipinjamkan sang ayah peti emas yang sangat mahal agar sang kakak perempuan tidak diusir dari rumahnya. Namun naas, uang sang ayah tidak dikembalikan dan sang kakak perempuan tidak mau membayarnya dengan alasan tidak ada surat perjanjian. Kini, sang kakak perempuan hidup berkecukupan.
Kakak lelaki sang ayah yang kaya menitipkan putranya yang sulung padanya. Anak itu dibesarkan dengan baik, namun naas karena sikap anak itu yang rusak, ia meminta untuk dikembalikan pada keluarga aslinya. Anak yang keras kepala tersebut mengatakan hal yang buruk mengenai sang ayah. Kini, sang ayah harus menanggung malu akibat dusta yang kejam.
Ayah satu ini sangatlah baik, dipinjamkannya sebuah rumah untuk adiknya lelaki untuk memulai usaha. Namun karena sang adik sangat bodoh, ia membuat usaha ilegal tanpa sepengetahuan kakaknya. Saat usaha busuk itu tercium polisi, sang ayah menanggung beban lebih berat karena ketidaktahuannya akan kebodohan adiknya. Ia mendekam 9 bulan dibalik jeruji hingga keluarganya cukup sekarat.
Kakak lelaki kedua sang ayah hanyalah pemabuk dan penjudi. Ia adalah tanaman merambat yang membunuh pohon tempat hidupnya. Dia ditampung hidup oleh sang ayah sehingga memberatkan kehidupan dirinya dan keluarganya.
Karena kebaikan dan ketulusan hatinya, sang ayah hidup penuh derita. Anaknya yang sulung harus terseok-seok dalam pendidikannya. Anaknya yang wanita kini hidup dalam kesederhanaan yang memprihatinkan. Sang istri kini mau tidak mau harus pergi dan tinggal di pinggiran kota bersama kedua anaknya agar biaya makan lebih murah. Usia tua sang ayah mulai menjadi penghalang. Setelah dipisahkan hidupnya dari istrinya, ia mulai sakit-sakitan karena pola hidup dan tempat tinggal yang tidak layak di kota. 3 bulan sekali ia mengunjungi keluarga kecilnya hanya untuk melepas rindu selama seminggu.
Sang anak lelaki adalah orang yang pendendam. Ia dendam akan ulah orangtua sepupunya yang tidak tahu malu dan amoral. Namun sang ayah berkata pada anaknya.

“Benih kebajikan ini kutanam untukmu, putra dan putri kecilku. Buahnya yang begitu manis akan menghidupimu kelak.’”

Sang anak lelaki kini hanya menatap nanar tanpa emosi. Dilihatnya kini, sang kakak perempuan terkena penyakit hingga tidak bisa menikmati harta kekayaannya. Lihatlah kedua anaknya berjuang bagai primata yang tau induknya sekarat. Adalagi sang adik lelaki yang kini dirundung hutang dan tak memiliki anak dari istri yang mandul dan cabul. Belum lagi sang kakak yang kini menjadi miskin karena ulah anak lelakinya yang rusak moral dan hidupnya. Kakaknya yang lain, kini sudah berada di dalam sebuah peti.
Kebajikan sang ayah adalah benih buah surga bagi anaknya. Sang anak yang dendam hatinya kini tahu, bahwa dunia ini penuh keanehan. Dalam kesusahan orang lain, ia menemukan kesenangan. Manusia memang tidak sempurna, lemah dan banyak kekurangan. Kadang mereka tidak perlu membalas dendam. Sang waktu yang tak berujung membuat dendam bertabur gula. Sang anak tahu bahwa dendam adalah hal yang salah. Namun alangkah susahnya, bahkan bagi orang beriman untuk melupakan rasa pahit kopi di dasar lidah.

Kupikir William Shakespeare adalah seorang filsuf yang baik. Dia tidak mendongeng laiknya penulis lain. Dalam tulisannya yang dingin ia berteriak. Sang Khalik tidaklah munafik. Dia yang Maha Tahu menulis semuua cerita dalam diari, menunggu waktu untuk terjadi. Hamlet, tidak ada kebahagiaan dalam sebuah dendam. Gula hanya menaburi dendam, menyembunyikan kisahnya diantara bulir salju semesta alam.

Ice Cream

“Ice Cream” sebuah makanan manis yang sangat digandrungi jutaan orang dari segala usia. Adalah suatu kali aku membaca dari buku novel Jepang, dimana kata ini menjadi lelucon yang menyakitkan. Sesuatu yang terbilang manis dan membahagiakan memiliki makna tersirat di dalamnya. Apalah hal itu?
Ice Cream - I Scream
Indra kecil sangatlah penyendiri. Ia anak yang bawel, periang, keras kepala, dan mau menang  sendiri. Dalam beberapa hal, lidahnya yang tajam bahkan dapat membuat burung menangis. Sebagai pelajar di sekolah usang itu, ia dijauhi oleh temannya. Banyak hal yang membuatnya mendapat puluhan mata yang tajam. Hatinya sekeras batu hingga ia tidak peduli dengan manusia di sekitarnya.

“Jika orang bodoh memiliki otak di dengkul, maka otak kalian ada di telapak kaki,” jawabku pada setiap mata tajam itu. “Kalian menatap nanar saat kalian tidak menyadari kebodohan kalian sendiri”.

“Apa maksudmu? Kau mengatakan kami orang tak berotak?”, sahut seniorku.

“Ya, hanya manusia berotak kera yang mengandalkan tubuh besarnya. Hanya manusia berotak monyet yang mengancam adik kelasnya.”

Sebagai korban school bullying, aku sudah tahan banting dengan ancaman manusia. Jika kuingat kembali, kakak kelasku di SMA sangat mudah ditipu. Ya, bahkan dengan muslihat sekecil apapun. Dapat kukatakan bahwa aku hidup diantara belalang sembah yang siap menerkam bahkan pasangannya sendiri. Aku berkaca kembali pada lingkungan tempatku tumbuh. Aku hidup di tanah gersang yang kekurangan air meskipun angin kencang selalu menyelimuti diantara terik matahari.
Okelah kalau secara ekonomi aku kalah dari banyak orang di sekolah bobrok moral itu. Namun dalam hal filsafat dan sastra, kupikir aku jauh melampaui mereka. Manusia menjadi dewasa oleh asahan pisau kebohongan dan nista, sedangkan mereka yang diasah dengan minyak jelantah selalu ditutupi jelaga dusta. Sebuah ironi dimana aku menemukan bahwa manusia hidup diatas ego manusia lain. Lihatlah mereka yang dengan otak tumpulnya berkata bisa membeli sekolah padahal usaha saja masih tersendat. Mulut manis memang mengandung kebohongan, karena itulah aku memiliki lidah bagaikan pedang, yang penuh keterus-terangan dan tanpa muslihat.

“Ice Cream”, sebuah nama yang manis saat kubaca, namun kau tahu apa yang kudengar? “I Scream”

Senin, 05 Oktober 2015

Kabut Putih

Tangan yang gemetar menyembunyikan hal yang ia sayangi dalam saku celana. Yah, untuk beberapa hal, kalimat tersebut sangatlah benar. Hai kawan, tahukah dirimu bahwa langit malam kota Magelang sangat kurindukan? Malam di kota sunyi ini sangat kurindukan. Aku masih ingat bulan Agustus 2012, bulan pertamaku di kota kecil yang tenang ini. Saat itu masih kutemukan ikan cupang berwarna pelangi bersenda gurau di antara tanaman semanggi di dasar sungai Kali Bening. Masih jelas dalam benakku saat aku mencelupkan kakiku ke dalamnya diantara kerimbunan nyiur sambil menatap lembah Sumbing. Ingatlah mereka mengenai wangi angin dan kabut di senja bukit. Jelaslah diantara mereka deras Kali Progo yang membelah kota kecil itu.
Di kota kecil ini aku menemukan diriku, manusia biasa. Aku tidak pernah peduli dengan persoalan agama. Bagiku tidak ada kebenaran yang mutlak dalam doktrin apapun. Aku berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kesempurnaan Tuhan hanya dijadikan bahan olok-olok manusia demi mendapatkan koin berwarna keemasan. Dalam beberapa hal, aku berkaca, kalau aku bisa duduk bersama Tuhan dan bersenda gurau mengenai dunia, apa tanggapannya mengenai perang dogmatis ini?

Kabut Putih
“Ayahanda di Surga, apa pendapatmu mengenai kami? Yang penuh kelemahan dan sangat mengecewakan ini?”

“Kau tahu anak-Ku, kalian lebih penting dari Perjamuan Kudus, lebih berharga dari kobaran Lembar Kertas Kuning, tidak bisa digantikan”, jawab-Nya padaku.

“Bapa, semua orang menganggap dirimu sebagai pemulung! Mengapa Engkau menodai tangan-Mu yang agung dengan lumpur dan debu dosa manusia?”

“Hai anak-Ku, tahukah dirimu bahwa Aku ini pendaur ulang terbaik di alam semesta? Tahukah kamu bahwa Aku dapat membuat sampah menjadi permata?”, tambah-Nya.

“Papa Agung, siapakah kami ini? Sehingga kami begitu berharga?”, bingungku.

“Anak-Ku, ingatkah kamu bahwa ada tertulis dalam buku bacaanmu itu bahwa satu nyawa manusia sangat berharga di hadapan-Ku?”, tanya-Nya padaku.

Kupikir aku ini seorang ateis pada mulanya. Ada hal yang lucu dimana aku ingin hidup sesuai keinginanku tetapi masih memiliki rumah untuk kusinggahi. Di pinggir Kali Bening aku sering sekali melamun, menghadap hamparan sawah hijau yang menari menghiburku. Tahun 2012, di masa ini masih kuingat bahwa ikan cupang bermain di sela kaki yang pucat ini. Air ini bening, mengalir dingin melewati sela jari. Rumput ilalang gemerisik mencoba mengajakku terlelap dalam mimpi. Dibuai dalam ilusi, surya memancarkan sinar hangat berwarna jingga dengan awan putih sebagai kencana. Aku ingat senja itu, dimana batu cadas tempatku duduk di pinggir sungai masih kelabu. Aku ingat mega di langit begitu menggodaku. Aku hanya seonggok debu yang memiliki kehendak. Tak ayal ketika seorang mati kembali bersatu dengan bumi.

Aku seorang ateis yang sangat religius. Namaku Indra, diperanakkan langit dan dibesarkan bumi diantara kabut putih senja hari.