Belakangan ini Jogja cukup sering gerimis. Bangun pagi sudah gerimis. Keluar makan siang juga gerimis. Pulang kuliah, masih gerimis. Entah kenapa langit mengerti bahwa hatikupun dirundung gerimis. Kurang ajar sekali alam, dia mengerti anaknya lebih baik dari siapapun. Namun disitulah rumah. Tempat dimana engkau dapat menangis sambil menertawakan kehidupan.
Genangan air dan lumpur terlihat saat aku berjalan melewati kampus. Cukup dalam dan kelam bagai coklat Snickers. Terkadang akan ada masa dimana engkau merasa bahwa waktu berhenti, dan kelopak bunga berwarna kuning akan mengambang bagai mentari. Berkawan dengan alam mungkin sesuatu yang tidak diminati sebagian orang. Aku dapat berkata bahwa aku hanyalah anak singkong di kerak bumi. Yah, untuk seorang pemimpi, mungkin aku yang teraneh.
Mimpi terindah bagiku adalah saat terbangun dan jutaan bintang bersinar terang di pelupuk mata. Beralaskan rumput ilalang, diselimuti awan, dan diterangi rembulan. Dapat kukatakan dengan jelas memang, kalau aku ini orang gila. Aku menulis kisah ini dalam keadaan gerimis. Kau bahkan bisa mendengar riaknya bergemuruh bagai ombak laut selatan. Hidup ini memang aneh.
Terlahir dengan mata yang berbeda dari anak kebanyakan mungkin membuat diriku dijauhi anak seusia. Aku memandang segala sesuatu dengan konsep kefanaan yang aneh. Aku jatuh cinta terhadap Indonesia. Ya, aku jatuh cinta dengan cara membencinya. Sebagai golongan minoritas, aku menaruh perhatian lebih terhadap mayoritas. Dapat kulihat bahwa anarki yang mereka sebut demokrasi bergelora bagai lidah api yang siap mengoyak langit. Memandang kebelakang, aku menyadari bahwa aku berdiri diantara genangan darah. Terdapat dua ironi dan kisah yang terdapat di air berwarna kirmizi. Dimana yang satu menceritakan kegagahan pejuang kemerdekaan, dan sisanya menceritakan kaum yang dibantai dengan hina terkeji yang membuatku ingin muntah.
Ada 2 hal yang kupelajari dari buku sejarah dan PPKN bahwa negara itu muncul dari seorang diktator. Diktator ini awalnya didukung secara bulat oleh kawanannya sebelum akhirnya dijatuhkan oleh rezim yang disebut militer. Coup d'etat, sebuah falsafah dari negeri Eiffel dimana sebuah rezim digulingkan dengan modal pangkat dan peluru. Hal yang menjadi lucu adaalah ketika rezim militer mulai tidak disukai rakyat dan pada akhirnya digulingkan untuk satu kata yang disebut demokrasi. Kau tahu kawan? Demokrasi adalah manusiawi namun merupakan mimpi yang tidak pasti. Bayangkan ketika semua rakyat yang bersatu kin terpecah menjadi beberapa kelompok. Bagai kawanan liar, mereka akan mengoyak dan mencabik kelompok lainnya. Inilah hakikat dari demokrasi, dimana yang terjadi bukanlah kedamaian namun peperangan ideologi. Berbekal kata "bebas berpendapat", kau akan menemukan serigala diantara kawanan domba. Berbekal kata "hak asasi" maka akan ada kaum yang mejadi superior karena supremasinya dalam kelompok tersebut.
Mama mengajariku bahwa pedang tertajam di muka bumi adalah lidah. Sebuah benda tak bertulang ini awalnya diciptakan Tuhan untuk menyatakan kasih dan cinta sebelum mereka memberontak dan menjadi pedang karena buah pengetahuan. Kau tahu kenapa aku tidak menyukai pertandingan bola? Karena itu mengingatkanku pada tragedi berdarah yang terjadi setiap pemberontakan di negeri indah kita. Budaya anarki, main hakim sendiri seperti sudah menjadi akar yang menyangga kehidupan beberapa lapisan masyarakat. Pernahkan engkau mengingat kawan? Partai Komunis Indonesia yang dibantai atas dasar pemberontakan lalu dibunuh secara keji pada tahun-tahun terakhir Rezim Nasakom? Nasionalis, Agama, Komunis. Aku ingin bertanya pada guruku di sekolah. Apakah halal hukumnya bagi manusia untuk saling membunuh atas dasar kata "memberontak"? Kalau iya jawabnya, maka aku menanyakan keberadaan Tuhan. Namun di satu sisi, bila iya menjawab tidak, aku akan bertanya kenapa aku hidup dengan akal dan budi pekerti.
Komunisme dan Sosialisme adalah dua paham yang kini hilang dari bumi pertiwi. Namun aku tertawa bahwa sistem ekonomi Kerakyatan yang dianut bumi pertiwi adalah penggabungan Kapitalisme Kanan dan Komunisme Kiri. Indonesia, apakah engkau sadar akan ke-egoisanmu? Berpegang teguhlah pada pendirianmu yang menyatakan bahwa engkau terbaik diantara yang lain. Aku tidak pernah mau peduli. Namun ingatlah ibunda pertiwi, bahwa engkau lahir dari 2 darah. Darah mereka yang mempertahankan negaramu dengan kebanggaan di dada, dan darah mereka yang menjerit diatas penistaan hina yang ditimpakan kepada mereka yang tidak bersalah.
Politik adalah sesuatu yang memang tidak pernah kusukai, namun bacaan paling menarik di muka bumi. Aku memandang Indonesia sebagai bumi pertiwi yang tiada duanya. Kampung halamanku tercinta. Namun dibalik senyuman, aku menjerit dalam hati. Aku sadar bahwa bendera palu arit sudah menjadi ancaman di bumi yang saat ini kupijak. Namun, apakah salahnya bagiku untuk mengakui bahwa mereka yang mati adalah sesamaku manusia?