Voice of The World

Voice of The World
"Merengkuh langit dan memeluk awan memang mustahil. Namun mimpi adalah hak setiap anak di muka bumi."

Selasa, 31 Mei 2016

Ironi Palu Arit : Pemberontakan Nurani

Belakangan ini Jogja cukup sering gerimis. Bangun pagi sudah gerimis. Keluar makan siang juga gerimis. Pulang kuliah, masih gerimis. Entah kenapa langit mengerti bahwa hatikupun dirundung gerimis. Kurang ajar sekali alam, dia mengerti anaknya lebih baik dari siapapun. Namun disitulah rumah. Tempat dimana engkau dapat menangis sambil menertawakan kehidupan.

Genangan air dan lumpur terlihat saat aku berjalan melewati kampus. Cukup dalam dan kelam bagai coklat Snickers. Terkadang akan ada masa dimana engkau merasa bahwa waktu berhenti, dan kelopak bunga berwarna kuning akan mengambang bagai mentari. Berkawan dengan alam mungkin sesuatu yang tidak diminati sebagian orang. Aku dapat berkata bahwa aku hanyalah anak singkong di kerak bumi. Yah, untuk seorang pemimpi, mungkin aku yang teraneh.

Mimpi terindah bagiku adalah saat terbangun dan jutaan bintang bersinar terang di pelupuk mata. Beralaskan rumput ilalang, diselimuti awan, dan diterangi rembulan. Dapat kukatakan dengan jelas memang, kalau aku ini orang gila. Aku menulis kisah ini dalam keadaan gerimis. Kau bahkan bisa mendengar riaknya bergemuruh bagai ombak laut selatan. Hidup ini memang aneh.

Terlahir dengan mata yang berbeda dari anak kebanyakan mungkin membuat diriku dijauhi anak seusia. Aku memandang segala sesuatu dengan konsep kefanaan yang aneh. Aku jatuh cinta terhadap Indonesia. Ya, aku jatuh cinta dengan cara membencinya. Sebagai golongan minoritas, aku menaruh perhatian lebih terhadap mayoritas. Dapat kulihat bahwa anarki yang mereka sebut demokrasi bergelora bagai lidah api yang siap mengoyak langit. Memandang kebelakang, aku menyadari bahwa aku berdiri diantara genangan darah. Terdapat dua ironi dan kisah yang terdapat di air berwarna kirmizi. Dimana yang satu menceritakan kegagahan pejuang kemerdekaan, dan sisanya menceritakan kaum yang dibantai dengan hina terkeji yang membuatku ingin muntah.

Ada 2 hal yang kupelajari dari buku sejarah dan PPKN bahwa negara itu muncul dari seorang diktator. Diktator ini awalnya didukung secara bulat oleh kawanannya sebelum akhirnya dijatuhkan oleh rezim yang disebut militer. Coup d'etat, sebuah falsafah dari negeri Eiffel dimana sebuah rezim digulingkan dengan modal pangkat dan peluru. Hal yang menjadi lucu adaalah ketika rezim militer mulai tidak disukai rakyat dan pada akhirnya digulingkan untuk satu kata yang disebut demokrasi. Kau tahu kawan? Demokrasi adalah manusiawi namun merupakan mimpi yang tidak pasti. Bayangkan ketika semua rakyat yang bersatu kin terpecah menjadi beberapa kelompok. Bagai kawanan liar, mereka akan mengoyak dan mencabik kelompok lainnya. Inilah hakikat dari demokrasi, dimana yang terjadi bukanlah kedamaian namun peperangan ideologi. Berbekal kata "bebas berpendapat", kau akan menemukan serigala diantara kawanan domba. Berbekal kata "hak asasi" maka akan ada kaum yang mejadi superior karena supremasinya dalam kelompok tersebut.

Mama mengajariku bahwa pedang tertajam di muka bumi adalah lidah. Sebuah benda tak bertulang ini awalnya diciptakan Tuhan untuk menyatakan kasih dan cinta sebelum mereka memberontak dan menjadi pedang karena buah pengetahuan. Kau tahu kenapa aku tidak menyukai pertandingan bola? Karena itu mengingatkanku pada tragedi berdarah yang terjadi setiap pemberontakan di negeri indah kita. Budaya anarki, main hakim sendiri seperti sudah menjadi akar yang menyangga kehidupan beberapa lapisan masyarakat. Pernahkan engkau mengingat kawan? Partai Komunis Indonesia yang dibantai atas dasar pemberontakan lalu dibunuh secara keji pada tahun-tahun terakhir Rezim Nasakom? Nasionalis, Agama, Komunis. Aku ingin bertanya pada guruku di sekolah. Apakah halal hukumnya bagi manusia untuk saling membunuh atas dasar kata "memberontak"? Kalau iya jawabnya, maka aku menanyakan keberadaan Tuhan. Namun di satu sisi, bila iya menjawab tidak, aku akan bertanya kenapa aku hidup dengan akal dan budi pekerti.

Komunisme dan Sosialisme adalah dua paham yang kini hilang dari bumi pertiwi. Namun aku tertawa bahwa sistem ekonomi Kerakyatan yang dianut bumi pertiwi adalah penggabungan Kapitalisme Kanan dan Komunisme Kiri. Indonesia, apakah engkau sadar akan ke-egoisanmu? Berpegang teguhlah pada pendirianmu yang menyatakan bahwa engkau terbaik diantara yang lain. Aku tidak pernah mau peduli. Namun ingatlah ibunda pertiwi, bahwa engkau lahir dari 2 darah. Darah mereka yang mempertahankan negaramu dengan kebanggaan di dada, dan darah mereka yang menjerit diatas penistaan hina yang ditimpakan kepada mereka yang tidak bersalah. 

Politik adalah sesuatu yang memang tidak pernah kusukai, namun bacaan paling menarik di muka bumi. Aku memandang Indonesia sebagai bumi pertiwi yang tiada duanya. Kampung halamanku tercinta. Namun dibalik senyuman, aku menjerit dalam hati. Aku sadar bahwa bendera palu arit sudah menjadi ancaman di bumi yang saat ini kupijak. Namun, apakah salahnya bagiku untuk mengakui bahwa mereka yang mati adalah sesamaku manusia?

Jumat, 20 Mei 2016

Tiong Hoa : Pohon Sang Raja

Hidup memang indah meskipun engkau tidak tahu kemana waktu mengajak. Masa kecil telah kami lewati dengan senda gurau diantara rawa-rawa dan kerimbunan pohon ara. Andaikata rembulan diam di tempat, sudah pasti kami tidak pernah beranjak. Di usia yang sangat labil, dimana kami terlalu besar untuk menangis namun terlalu kecil untuk mengenyam cinta dan memetik buah mimpi. Terkadang desiran angin menghampiri diantara semak kecil di kalbu hati.

Kami berlima dibesarkan oleh naungan masa lalu yang hampir tidak diceritakan orang tua. Ketika seorang kecil bermain ria diantara pohon cempaka, kami dihadapkan pada sebuah kekalutan yang tidak terbendung oleh mata. Diantara kerimbunan pepohonan, kupikir kami adalah putra dari bunda alam; buah kehidupan. Jikalau engkau menyangkal bahwa dirimu tidak dirawat pertiwi, kupikir bahwa bahkan dirimu hanyalah ilusi di dunia ini. Ada masanya ketika sesuatu yang tidak nyata akan mengajarkan dirimu tentang kenyataan. Duduk di atas ayunan sembari melihat matahari menghilang di balik rerumputan ilalang memberikan kami pelajaran bagai mimpi. Kami berlima terpana. Hampir 12 tahun sudah masa itu, namun masih segar di pelupuk mata.

Saat ketika engkau masih melihat mobil bemo, itulah masa dimana kami masih bermain diantara semak rerumputan ilalang. Suatu masa, di sore yang berembun basah, kami berkumpul seperti biasa. "Titik balik matahari, dibalik awan", sebuah kode gila yang kami ucapkan bila ingin bergumul. Ya, kawanku, seperti namanya, kode itu merujuk pada sore hari dimana langit siap kembali gemerlap dengan rembulan mulai muncul diantara riak air dalam telaga.

"Kau membawa apa?", tanya Hong. "Kalau engkau membawa jajanan, apa ada manisan semboi merah?"

"Ya ampun, bahkan matahari belum melintasi ilalang dan kau sudah lapar lagi?", Lin bergumam. "Nih, aku mencuri 1 sarang dari walet papa."

"Hei, tahan dulu makananmu. Kita datang hari ini bukan untuk itu", balas Ma.

"Ayolah kawan, jangan kau kotori tempat ini. Dia akan sedih jika tempat ini tidak kembali seperti sedia kala.", kataku mengulang hampa.

"Tempatnya sudah dekat. Ya, dibalik pohon tumbang itu", jawab Tan. "Kita sudah sampai di tempat Wang meninggal."

Wang, sebuah kata dalam bahasa Mandarin yang berarti raja. Ya, dia adalah raja pada cerita kami. Dibalik pohon ini, tahun lalu, kami bertemu seorang pemuda yang dengan riangnya memanjat pohon setinggi 5 meter itu. Wang, dialah pemimpin grup ini. Seorang anak muda penuh gairah atau bisa kubilang libido? Setahun yang lalu, ditempat ini, diantara ilalang, dan pantulan rembulan. Raja kami akhirnya bisa pulang dan menemui kedua orang tuanya di surga. Siapa sangka, bahwa kami, 5 ksatria yang dianggap pelindungnya bahkan tidak dapat menyelamatkan nyawanya.

Wang tidak pernah melihat kedua orang tuanya. Mereka hilang ketika kerusuhan tahun 1998 terjadi di Medan. Ia dibawa ke Jakarta untuk tinggal dengan keluarga pamannya. Sang Raja, setelah menaklukkan benteng lawannya, jatuh tersungkur, tanpa kami sadari bahwa ada sebilah pisau menembus dadanya. Sang Raja mati dengan hormat, meninggalkan istana kosong dan setumpuk emas berlian tanpa membuat prajuritnya terluka, atau bahkan, menitikkan air mata. Terdengar puitis, namun kukira hal itu pantas disebut kebohongan yang dipakai orangtua untuk menghibur para ksatria muda. Wang memang sudah tiada, tapi sebuah kisah baru saja bermula, baik itu prolog maupun akhirnya. Ia memberi kami kuas dan kertas. Lalu apa yang akan kami lukis? Ya, Wang mengajarkan kami untuk melukis hal yang paling berharga untuk kami saat ini. Mimpi.

Minggu, 15 Mei 2016

Seribu Warna Pelangi

Hal yang paling kusukai dalam hidup ini adalah bermimpi. Ya, ada masa dimana kau akan berlari mengejar asa yang kau sebut mimpi. Orang akan berkata bahwa hidup adalah kenyataan. Namun bagiku, hidup ini adalah mimpi. Ya, sebuah mimpi dimana engkau terjebak di dalamnya dan tak akan pernah kembali. 

Jikalau dirimu bertanya, apa yang terjadi? Aku akan menyebut itu mimpi. Hidup memang singkat dan tidak banyak berulang. Dua buah kelereng berwarna cokelat menggeliat diantara pelupuk mata dan melihat diantara relung kehidupan jikalau aku masih bernapas. Aku sedang patah hati, kawanku yang baik. Jika kubalik kembali naskah cerita yang sudah terjadi, aku selalu berjalan meningggalkan mereka yang kukasihi. Semua orang berjalan, dan aku adalah satu dari sebagian kecil dari kehidupan. Hidup memang sulit diterjemahkan layaknya sekumpulan cerita yang ditulis oleh William. 

Jikalau aku memandang ke sudut jendela, kupikir hanya ada seorang gadis yang ada disana. Namun kau tahu, kawan? Saat aku hendak menemuinya, ia telah berlalu dan menghilang diantara kesyahduan angin. Ya, mereka berjalan, semua orang memang berjalan. Hanya ada 3 pilihan, untuk ditinggalkan, meninggalkan, atau mengejar tanpa arah. Hidup memang memiliki keajaiban, mungkin itu yang akan engkau katakan untuk menghibur hati yang gundah. Ya, mungkin disaat dirimu yang bergejolak melihat paras muda yang memang engkau dambakan terlihat begitu dekat.

Matahari memang bersinar di atas relung langit, namun tahukah engkau jika ia dapat bersinar di dalam hati? Aku menemukan matahari dalam hidupku, namun sayang, ia bersinar begitu terang dimana kantung pelangi yang ada bersamaku tak kuasa menangkapnya. Di saat orang lain begitu giat mendapatkan kasih seorang gadis, yang dapat aku lakukan hanyalah memandang matahari itu dari kejauhan. Begitu cerah dan benderang sehingga aku dapat berbisik tanpa kesadaran.

"Tunggu aku, disaat aku kembali dengan kantung yang lebih layak."

Hidup memang penuh dengan kekonyolan kawan, dan aku bertaruh bahwa engkau harus menikmatinya. Jikalau ketujuh warna dari pelangi tidak dapat memuaskan birahimu akan keagungan Tuhan, maka kau harus membuat seribu warna dari tujuh yang ada. Kupikir apabila aku dapat bersenda gurau dengan Tuhan, maka Ia akan menegurku dengan keras bahwa aku seharusnya tidak bermain dengan ketujuh warna yang Ia buat sebagai perjanjian kekal di atas alam semesta. Namun Ia akan mengusap kepalaku dan dengan tawa yang lebar menasihatiku untuk bertangggung jawab atas seribu warna pelangi yang aku buat sedemikian rupa sebagai hadiahku kepada-Nya.

Seribu warna pelangi mungkin tidak cukup untuk mewarnai kehidupan ini. Namun, ia sudah cukup untuk membuatku bahagia menggunakannya sebagai alasan mewarnai mimpi. Hujan mungkin sedang turun di dalam hati kecil ini. Namun kawanku yang baik, apakah menurutmu jikalau matahari yang kuinginkan ini akan bersinar kembali dan memancarkan seribu warna pelangi? Hati seorang muda memanglah banyak berawan. Tidakkah ia ingat bahwa dibalik awan pasti ada matahari yang menunggu untuk bersinar? Jikalau demikian adanya, apa guna gundah sang awan? Ia hanya perlu mengurai air mata dan menghilang dibalik seribu warna sinar yang memancar. 

Buku cerita mengatakan bahwa pelangi terdiri dari 3 warna. Buku sekolah menyatakan bahwa pelangi memiliki 7 warna. Tapi hanya di kantung yang kumiliki, engkau akan tahu, bahwa pelangi memiliki seribu warna.